Rabu, 09 Januari 2008


Sajak AFRIZAL MALNA

HARI LIBUR KOLAM RENANG

Potretmu bersama keluargamu masih terbayang di kolam renang, seperti kamar berisi air.
Kenapa kamar berisi air dan ada potretmu di situ. Ibumu yang mengenakan kebaya tersenyum lebar sambil menggendongmu waktu bayi. Kenapa ada bayi yang digendong di kamar yang penuh berisi air. Riak air membuat gambar-gambar baru di sekeliling potretmu. Lalu orang-orang lain berenang-renang di atasnya. Riak-riak air tidak menggambar lagi. Riak-riak air membelah-belah tubuh mereka, membuat kolam seperti penuh dengan tubuh mereka yang telah menjadi air. Kenapa ada air seperti pisau dalam kolam renang. Air membuat warna biru pada potongan punggungku. Matahari melayang-layang seperti penyu di dasar kolam. Penyu yang kepalanya tidak berani keluar dari tubuhnya. Dasar kolam membungkus kakiku dengan warna hijau seperti kepala anjing berwarna hijau. Air seperti kepala anjing yang keluar dari dasar sungai. Aih, hari libur di kolam renang, hari libur untuk tubuh-tubuh di kolam renang. Bekas ciuman masih berhari libur juga di kolam renang. Bekas ciuman masih berhari libur juga di kamar mandi. Aih, orang itu bisa masuk ke dalam air dan bisa keluar dari air di hari libur. Aku mencium bau kaporit. Ada bayang-bayang awan di atas dengkulmu, di antara 5 detik dari tumitku. Aih, kepala anjing, kepala penyu tidak sama dengan kepalaku di hari libur.


SUMBU KOMPOR DI LUBANG TELINGA

Ada warna kuning memancar di jangungku. Kenapa kau datang terlalu cepat, dan menggunakan kuping berwarna kuning ? Tidak. Aku tidak datang dan tidak terlalu cepat dan tidak menggunakan kuping berwarna kuning. Aku hanya warna kuning di jantungmu. Kenapa kau memanggilku seperti itu, seperti membiarkan jarum waktu memasukkan sumbu kompor ke dalam lubang telingaku. Beri aku waktu satu menit lagi untuk menyalakan korek api. Beri aku waktu untuk membersihkan kakiku sebelum pergi. Sebentar saja untuk membeli satu botol minyak tanah. Sebentar saja untuk melihat api menerangi lubang telingaku yang gelap. Biar aku melihat jarum waktu yang jatuh dalam lubang yang gelap. Tidak. Aku tidak membiarkan kamu pergi. Aku juga tidak membiarkan kamu datang. Aku hanya sedang melihat sumbu kompor yang terbakar di lubang telingamu. Cahayanya menerangi seluruh ketakutan yang membuat 100 tahun dalam lubang gelap.


DUA BUAH LAMPU NEON

Aku bergerak cepat. Telapak tanganku, jari-jari tanganku, obeng, kabel listrik untuk menerangi lorong di samping rumah. Dua buah lampu neon aku pasang. Kabelnya masih menjuntai seperti usus babi berwarna merah. Beberapa kali aku hilang di lorong itu. Tetangga-tetangga mencariku. Mereka pikir aku sedang pergi keluar pergi. Mereka tidak berpikir begitu. Mereka pikir aku ada dalam selimut mahluk halus. Mereka tidak berpikir begitu. Mereka tidak berpikir apa-apa tentang diriku. Tapi mereka masih mencium bau tubuhku di dinding tembok rumah bercampur bau santan. Mereka pikir aku pohon kelapa yang tumbuh di tembok tumah. Ya, mereka berpikir. Berpikir tentang tembok yang dibuat dari santan kelapa. Dan dua buah lampu neon di pasang untuk menerangi lorong itu. Kabelnya berjuntai seperti usus babi berwarna merah. Tapi dua lampu neon itu tidak bisa menerangi isi tembok, tempat orang-orang hilang tak pernah ditemukan lagi. Tembok yang lembab seperti bibir gelas minummu.


PENARI TOPENG

Penari topeng itu membuat topeng dari wajahnya sendiri. Dan menunggu hingga siang hari wajahnya berubah menjadi topeng. Dan menunggu lagi hingga sore hari topeng itu memiliki mata untuk melihat anjing dan ayam berlarian. Topeng itu memandang isi perut anjing dan ayam. Penonton tak tahu kalau penari topeng itu melihat isi perut anjing dan ayam. Penonton tak tahu kalau di balik topeng itu ada yang bermain judi mempertaruhkan tanahnya hingga sore hari. Dan menunggu lagi hingga malam hari tanahnya berubah menjadi topeng. Musik tariannya ribut sekali dalam isi perut anjing dan ayam. Pukul 8 malam penari topeng itu akan menari di Denpasar. Sesajen telah disiapkan untuk membuka topeng itu menjelang pukul 8 malam. Pukul 8 malam anjing dan ayam mulai membenturkan kepala mereka ke dinding belakang panggung pertunjukan. Pukul 8 malam mesin cetak begitu bising di atas panggung pertunjukan. Mencetak pantai, mencetak pura, mencetak dewa, . Penari topeng menunggu lagi hingga para tamu tertidur nyenyak. Dan berjaga lagi di depan pintu hingga pagi hari. Aduh, Jepang, Itali, aduh, Australi, Amerika, Korea, aduh, Jerman, Indonesia, Prancis, aduh, jangan membuat pesta makan malam dalam topengku. Aku hanya menari untuk para dewa.


DI HALAMAN BELAKANG

Pagi ini aku memijat punggungmu. Minyak kayu putih dan balsem juga. Halaman belakang tubuhmu yang hanya melihat bagian belakang dari dunia yang dilalui. Bagian belakang yang diciptakan dari seluruh perjalanan mundur. Punggungmu, balsem dan minyak kayu putih juga tak tahu, perjalanan mundur ke belakang atau ke depan. Dunia di belakang selalu menjauh dan mengecil. Detail-detailnya kemudian menjelma lagi saat hujan turun. Saat kebun kacang mulai berdaun. Tapi aku pusing, katamu. Pusing yang tak berdaun. Dan aku herus kembali ke halaman belakang dari leher dan kepalamu. Tak pernah ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur, katamu. Kebun kacang juga tidak berjalan mundur. Tidak meninggalkan tanah dan mencari kursi di taman. Hayo, sayangku, kita membuat hari esok di halaman belakang. Kita melihat waktu bergerak seperti kebun kacang di halaman belakang.


AFRIZAL MALNA, penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957. Dia pernah membacakan puisi-puisinya di berbagai kota di daratan Eropa, sambil memberikan ceramah-ceramah kebudayaan. Selain bergabung dengan berbagai grup kesenian, juga pernah bergabung dengan Urban Poor Concortium (UPC). Kini dia menetap di Yogjakarta.

Sajak Heru Emka

ailia + matahariku

ailia, ailia, matahariku pergi mengembara dan aku tertinggal............ di sudut stasiun-stasiun kujenguk ruang di sibuk pelabuhan-pelabuhan kusapa diam di puncak malam, kulemparkan kegundahanku padamu
rinduku memancar deras, ailia, dari mata air dihatiku. akulah layang-layang berpusing di lidah topan, biar putus benang biar terhempas hilang, kukejar kamu matahariku
kukayuh perahu, ailia, kurengkuh dayung nestapaku ayo laju perahu laju, beranjaklah dari lubuk-lubuk yang tak punya makna. ayo laju perahu laju, jangan karam karena rindu, jangan kandas di awal duka, lajulah laju perahuku, hidupku
perahuku melewati kota-kota, ailia, singgah di sekian ribu asrama, perahuku bertolak dari kampung-kampung dan berlabuh di sepanjang jalan. tergeletak di hari-hari penat, mengenang kemarin kupinjam hangatmu, ailia, pengusir sisa dingin semalam lalu pagi datang lagi, fajar lahir lagi kau bersorak, ailia, bersama hanyut ke bisik kagum tapi bukan aku, ailia, matahariku tak pernah nampak wajar, selalu tersamar. hanya hangatnya meraayap ke sudut jauh hatiku.
dari mata air rinduku perahuku menuju muara MU ailia + Matahariku



Jejak kenangan

tak cuma waktu -
benua pun telah memisahkan
potret suram di album
hanya macet pada saluran ingatan
pada hari lamban
dan hilang warna

pada jam-jam biasa
aku sering mencarimu
di antara sibuk jalanan
atau menengok di sela waktu
yang meletakkanmu pada kapal
yang melaju

aku yakin
kau bagai kembang api
di malam tahun baru
melimpah riang bagai busa sampanye
di tengah pesta
hari-hari mu di negeri salju
akan penuh boneka, ucapan selamat
dan karangan bunga

sedikit sunyi tersisa
di kartu pos berwarna :
Museum nelson di Buckler’s Hard

lalu kalimat yang jadi asing
bagai sajak yang gagal memanggil kenangan.




Jurnal Kumandang Sastra 01
media bagi budaya alternatif dan pemikiran merdeka

Diterbitkan secara independen oleh Kumandang Sastra.
Redaksi menerima sumbangan tulisan, foto, sketsa, atau materi apa saja yang bisa dimuat dan bersifat tidak mengikat.
Naskah bisa dialamatkan pada Sanggar Kumandang Sastra : Jalan Widoharjo 19. Semarang.





Atie Krisna – Remy Sylado – Salman Rushdie – Nadine Gordimer


Para Bentara nomor ini :
Ant Sogiarto
Chaterina Rinawati
Didiek
Heru Emka
Heru Mugiarso
Victor Roesdiyanto
Galih Asmaradana


Daftar Isi

1. Potret :

Atie Krisna

2 Wawancara :

Remy Sylado : “ Kita masih membebek asing “

3 Esai : Post Human dan Tubuh yang Usang

4 Esai : Dongeng Perlawanan Salman Rushdie

5 Puisi : Afrizal Malna - Heru Emka

6 Studi Perempuan : Kecantikan. Mantera yang abadi

7. Cerpen : Kejahatan Hati Nurani – Nadine Gordimer
Catatan Kecil : Nadine Gordimer dan Kelembutan yang Membadai

8 Budaya Pop : Jagoan bagi si Kulit Hitam

9 Komik Indie :
Old Skull - Atonk

10 Film :
Bush dalam incaran.
Dongeng Fantastik Pan's Labyrinth




Potret :

Atie Krisna :
Menyatukan kebahagiaan dengan lukisan


You have the power to choose life, so make the best of it.” - Gandhi

Seperti saat memasuki jenjang rumah tangga, sering muncul semcam pertanyaan, apakah kita bakal menemukan kebahagiaan di dalamnya ? Apakah yang selama ini menjadi angan-angan, apakah menjadi kenyataan ? Kemudian, setelah berhasil melewatkan beberapa puluh tahun hidup berumah tangga, dan kita beranjak memasuki usia senja, seringkali muncul pertanyaan : “ Apakah kita sudah menemukan yang terbaik dan membahagiakan dalam hidup ini ? “

Memasuki hari tua memang ibarat memasuki suatu babak berikutnya dalam kehidupan kita. Tak heran ada yang menyikapinya dengan harapan dan rasa syukur, di samping ada yang mentikapinya dengan perasaan cemas dan pesimis. Namun buat apa kita mencemaskan yang sudah berjalan sedemikian lama ? Apalagi dalam kata bijaknya yang tertera di atas, Gandhi mengatakan dalam hidup ini kita punya kekuatan untuk memilih. Jadi kenapa tidak memilih yang terbaik dari diri kita ?

Atie Krisna, ibu dari sepasang anak yang sudah beranjak dewasa, berhasil membuktikan bahwa di usia senja pun kita masih bisa menggali potensi yang terbaik dari diri kita sendiri. Pada saat Atie menemukan uban tumbuh di antara helai rambutnya, dia justru diwisuda sebagai seorang Arsitek. Pada saat perempuan berbintang Aries ini akan segera menjadi seorang nenek ( puteri sulungnya, penyanyi jazz Peppy Kamadhatu, baru saja menikah bulan lalu ) dia semakin memantapkan diri sebagai seorang pelukis. Uniknya, Atie Krisna mencapai keberhasilan ini justru dengan jalan yang menyimpang jauh dari jalur sukses yang ditempuh para perempuan pada umumnya : menjadi wanita karir dan menjauh dari segala kegiatan rumah tangga sehari-hari.

Atie justru meraih keberhasilan ini dari semangatnya untuk tidak meninggalkan dunia sebagai perempuan domestik, tetap menjadi ibu rumah tangga. “ Kalau kita mau berarti, kita bisa melakukannya di mana saja. Tergantung bagaimana cara kita menggali potensi yang ada dalam diri kita. Karena itu kalau ketemu sama yang muda-muda, saya
Selalu berkata menyemangati mereka, “ Ayo, jangan sampai kalah sama orang tua seperti saya.”

Ucapan yang penuh daya dorong ini hanyalah agar mereka yang lebih muda usianya pun ikut bergerak mengoleh potensi yang ada dalam dirinya ini, sebenarnya pantas juga disikapi sebagai sebagai motivasi, yang melecut seseorang untuk mengalahkan tantangan dalam hidupnya. Dalam blantika seni rupa di Semarang misalnya, lukisan Atie Krisna dianggap sebagai bentuk eksistensi kreatifitas dengan pencapaian teknis yang cukup menggembirakan. Ungkapan visual-artistiknya seringkali memberi penafsiran baru pada dunia domestik perempuan, seperti yang juga ditemukan pada karya pelukis Bunga Jeruk, namun dalam tema dan nafas yang berbeda.

Kompromi dengan realitas
Mungkin banyak yang setuju dengan pendapat ini : Semua orang punya sisi terbaik, dengan bentuk dan penjabaran yang paling sederhana, yaitu hal-hal apapun yang menurut pribadi masing-masing bisa dilakukan dengan baik. Baik itu berupa kemampuan, keahlian, sisi entelektual, sikap atau kepribadian yang positif. Sayangnya memang ada juga yang kurang menyadari sisi terbaik yang ada dalam dirinya. Pencapaian yang telah diraih oleh Atie Krisna mungkin hanya salah satu contoh dari sekian banyak langkah yang bisa ditempuh, karena Audrey C. Daniels dalam bukunya yang berjudul ; Bringing Out Ther Best in People : How to Apply the Astonishing Power for Positive Reinforcement, menjelaskan bahwa sisi terbaik seseorang juga bisa dimunculkan justru dari hal yang sebelumnya bermakna negatif. Misalnya orang yang tadinya penakut, bisa belajar menekan rasa takutnya dan menjadikan rasa takut itu sebagai tantangan yang harus ditaklukkan.

Sebenarnya kalau kita bisa mencapai keseimbangan antara realitas dan keinginan, tidaklah sukar untuk menemukan sisi yang baik dalam hidup kita. “ Saya bisa merasakan kebahagian bukan saja karena saya merasa dalam hidup ini ada tujuan yang harus dicapai, dalam rumah tangga misalnya ketenteraman, semuanya saling sayang satu sama lain. Namun juga perasaan bahwa kita berhasil melakukan apa yang kita inginkan, “ ujar Atie yang lukisannya mendapat apresiasi yang baik dari beberapa kritikus senirupa ibukota.

“ Mungkin kuncinya sederhana saja, kita kadang harus melakukan kompromi dengan realitas yang terjadi dalam hidup kita. Sebelum melukis saya juga sudah ‘taren’ (konfirmasi) sama keluarga. Karena semua dari kami ini kan melakukan segalanya atas dasar kompromi bersama. Seperti waktu saya mau kuliah lagi, saya tanya suami dan anak-anak, mama boleh kuliah lagi nggak ? Mama boleh melukis ? Ternyata mereka malah senang , karena dengan melukis, saya kesibukan yang bermanfaat.”

Kompromi itu juga yang membuat semua aktifitas Atie mengalir begitu saja di antara kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Bentuk pemberdayaan dirinya sebagai ibu dengan begitu tetap terasah, karena intelektualitasnya pun otomatis terangsang oleh berbagai wacana baru yang tercipta saat dia menuangkan warna-warna ke dalam kanvasnya.
“ Jadi semua asyik-asyik saja saya lakukan sebagai ibu. Jadi urusan memasak dan melukis bisa terasa seimbang. Di situ tempat masak, di sini tempat melukis. Sambil menunggu masakan matang, saya melukis. Sederhana saja kan ?,” ujarnya.

Dunia dari sudut pandang perempuan
Saat ditanyakan, kenapa dia memilih tema suasana rumah tangga sehari-hari,yang nampak wajar sekaligus lugu, dengan penonjolan bentuk visual benda rumah tangga seperti teko, sepatu dan sebagainya, Atie Krisna menjawab, “ Karena usia saya sudah kepala lima, kan tak mungkin bila saya harus pergi ke mana-mana untuk melukis. Kalau mereka yang masih muda mungkin malah lari dari rutinitas sehari-hari untuk mencari view atau objek lukisan yang bagus. Karena saya lebih senang di rumah, ya saya lukis apa saja yang ada di rumah, dan bagi saya ini merupakan sebuah dunia tersendiri, dengan penafsiran dan sudut pandang saya sebagai seorang perempuan.”

Dan ternyata, walau mengaku hanmya melukis apa yang ada di rumah tangga, lukisan Atie Krisna juga menunjukkan dimensi tafsir sosial yang lembut. Saat pembicaraan ini berlangsung di rumahnya, di dekat kami terletak sebuah lukisan seukuran 1 kali 1,5 meter, yang menampilkan sebuah poci bagus berwarna merah menyala, sementara di dekatnya tergolek tubuh anak jalanan dengan ekspresi yang membatu. Saya menanyakan judul lukisan itu, dan Atiek menjawab bila judulnya ‘Es Teh Gratis’.

Judul lukisan yang terkesan naïf ini ternyata punya wacana yang mencerminkan sikap khas perempuan di tengah isu sosial yang terasa keras, yakni kanvas dengan naluri keibuan, keinginan untuk mengasihi, yang hadir dengan halus, tanpa menjadi sebuah tonjokan kritik sosial.

“ Sebelumnya saya sering berangan-angan, bagaimana bila ada yang memberi perhatian – walau nampaknya sepele – pada mereka yang naibnya kurang beruntung seperti pemulung, gelandangan atau anak jalanan. Walau hanya teh manis gratis yang disediakan sebelum jam makan siang. “

Atie yang nama aslinya Krisnawati dan lahir dalam naungan bintang Aries ini, walau merasa dirinya agak temperamental, juga sekaligus merasa bersikap konsisten terhadap hasrat yang ingin diraihnya. Itulah sebabnya dulu ketika kuliahnya macet di semester kelima – karena ayahnya meninggal dunia -, dia berjanji suatu saat akan melanjutkan lagi.

“ Ketika anak-anak sudah besar, saya kuliah lagi. Saya tak malu jadi mahasiswa tua, dan saya lulus di tahun 1998, dalam usia 47 tahun. Sebelum lulus saya punya kelompok kerja yang berencana membuat perusahaan jasa konsultan. Namun kemudian saya pikir, dengan usia segini saya nggak sanggup bila harus ke sana-sini ikut tender dan sebagainya. Maka saya memilih melukis dan menjadikannya sebagai dunia saya,” ujar isteri seorang pria yang sabar dan penuh rasa humor bernama Sarutomo ini.

Mata hati dan kebahagiaan
Soal kebahagian itu sendiri, Atie merasa bila hal itu sebenarnya tak terlalu jauh dari kehidupan kita, asal kita membuka mata hati pasti bisa melihatnya. “ Terus terang saja, bagi saya hal-hal yang sepele saja bisa membuat saya senang. Dulu begitu ada duit sedikit, beli sepeda, rasanya sudah senang. Sejak awal kehidupan saya memang banyak hal-hal sederhana yang membahagiakan. Waktu pertama kali beli kulkas, senang sekali rasanya, sampai sekarang kulkasnya masih berfungsi lho. Padahal sudah tiga puluh tahun berselang,” katanya riang.
Bicara soal kebahagiaan, Atie percaya bila suka dan duka itu ada beserta kita, dan selalu ada dalam perjalan hidup seseorang. “ Masalahnya tinggal bagaimana cara kita menyikapinya. Bila kita memakai kaca mata hitam, ya semua yang kita lihat nampak suram. Logikanya kan begitu. Kalau soal nggak punya uang, dulu itu jadi persoalan sehari-hari. Dulu misalnya, uang yang ada cuma Rp 100,- untung masih ada beras, telur dan beberapa lagi. Waktu anak-anak minta beli bakso, saya bilang,” Sekarang kita bisa beli bakso, tapi besok kita makan nasi goring, besoknya hanya mie, besoknya lagi mie, mie lagi. Mau ?.” Ternyata anak-anak nggak mau. Jadi kita ajarkan juga agar anak-anak melihat realitas dan tidak memaksakan diri.”

Kini Atie merasa gambaran kebahagiaannya sudah lengkap. Dia punya Sarutomo, pria idaman yang menyayanginya sebagai isteri tercinta. Sedang dua anaknya; Peppy (Pissa Sesara) dan adiknya Gedo Grimaldo, sudah menikah, dengan karir masing-masing. Kini Atie mencoba merangkai kebahagiaan dalam lukisan, dengan menampilkan visinya tentang dunia perempuan. Kadang muncul juga sesuatu yang membuatnya merasa susah, namun Atie Krisna dan suaminya; Sarutomo,- seudah sepakat untuk menyikapi hidup ini dengan riang. Ketika puteri sulungnya lahir, mereka memberinya nama Pissa Sesara. “ Tahu nggak artinya ? Pisanan (pertama kali operasi) Caesar. Peppy memang lahir melalui operasi Caesar,” kata Atie, yang diikuti suara tawa suaminya.

Rumah yang teduh
Yang menarik, pertautan Atie Krisna dengan dunia senirupa Semarang , walau dinikmati secara personal, tidaklah dijalani secara individual. Kedewasaan dan nalurinya sebagai seorang perempuan seringkali membuat Atie tidak muncul sebagai figur seorang seniman yang seringkali menampilan pancaran ego dan ambisi yang kuat. Itulah sebabnya di tengah pro-kontra tentang berbagai pendapat dalam dinamika wacana dan isu senirupa di Semarang, Atie sring dipandang berada dalam posisi yang lebih netral. Dan tak jarang dia menjadi pelimpahan uneg-uneg dan cuerahan isi hati para seniman yang lebih muda usianya.

Hasrat untuk memberi ruang bagi ekspresi seniman muda yang banyak bermunculan akhir-akhir ini di Semarang, Atie merubah sebagian ruangan gerai busananya menjadi sebuah galeri alternatif yang diberi nama Galeri Bu Atie. “ Jangan samakan dengan galeri-galeri lain yang sudah mapan dan punya jaringan kolektor yang kaya. Kami hanya menampung mereka yang ingin memamerkan karyanya, atau membuat agenda kesenian dan kebudayaan lainnya. Bila butuh tempat, silakan. Bagaimanapun akan lebih baik bila selalu tersedia ruang bagi semua bentuk dan ekspresi kebudayaan, kan, “ ujarnya.

Belum banyak memang aktifitas yang terjadi di sana. Baru sebuah pameran lukisan ( Lukisan Awal Auly ) dan diskusi senirupa tentang Neo-Realisme. Namun beberapa agenda kesenian berikutnya telah disiapkan, antara lain Pameran Tunggal Agung Yuliansyah dan beberapa lagi, yang menandakan Galeri Bu Atie ini juga menjadi salah satu motor yang menggerakkan rodfa kesenian di Semarang. “ Bila diumpamakan rumah, mungkin ini bukan rumah yang megah, dengan semua perhiasaannya yang mewah. Ini hanya sebuah rumah sederhana, yang semoga menjadi rumah yang teduh, sehingga siapa pun yang menghuninya bisa merasa nyaman, damai dan bisa berkreasi semaksimal mungkin,’ ujarnya merendah hati.

Sikap mengasuh dan merengkuh yang muncul sebagai kebiasaan sehari-hari Bu Atie (begitu kalangan seniman Semarang memanggilnya ) nampak dari kesabaran dan ketulusannya dengan secara sukarela menjadi ‘juru warta informal’. SMS dari Bu Atie selalu hadir menyampaikan tak saja tiap agenda kebudayaan yang terjadi di Semarang,- namun juga informasi lain : mulai dari berita duka yang mengabarkan meninggalnya seorang seniman atau keluarganya, hingga rencana pertemuan dan sebagainya.
(Tim Kusas )


Wawancara :
Remy Sylado :
“ Kita masih membebek asing “

Pernahkah kita memperhatikan, berapa banyak kata, simbol budaya dan istilah asing singgah dalam hari-hari kita ? Di kantor, bos bicara campur aduk dengan menyebut beberapa kata asing. Di radio penyiar berceloteh sambil menyebutkan idiom dan slang bahasa asing. Cobalah nyalakan televisi, kesannya juga setali tiga uang. Tayangan berita yang dimaksudkan sebagai “ Berita Utama Hari Ini” malah diganti dengan kalimat dalam bahasa Inggris; Headline Today, sepertinya kata asing itu jauh lebih baik daripada kata-kata yang tetap dalam bahasa Indonesia. Setiap hari kata Up Next muncul dilayar kaca Metro TV, dan ditayangkan untuk menggantikan makna aslinya dalam bahasa Indonesia, yakni “ Acara berikutnya.

Itu baru soal bahasa. Belum lagi soal gaya hidup dan sebagainya. Termasuk segala sikap budaya dan bentuk expresinya. Jangan heran bila melihat seorang remaja di daerah pinggiran Kendal malah lebih fasih menyanyikan lagu terbaru Metallica. Bagi Remy Sylado, itu semua adalah bentuk dari identitas kita yang ternyata masih ‘indo’. Serba ‘setengah matang’. Dan menurut Remy, ini bukan gejala baru, namun sudah berusia ratusan tahun. Dia benar. Lihat saja selop yang di pakai para priyayi kraton, itulah bentuk adopsi sepatu (yang dari Eropa) terhadap budaya keraton ( yang mengharuskan copot alas kaki di lingkunganya ).

Sebagai seorang seniman Remy Sylado punya banyak sisi yang menarik, dengan berbagai karir yang beragam. Dia piawai sebagai wartawan, cakap sebagai aktor dan teaterawan, sebagai penyair dia sempat mengharu-biru dunia sastra Indonesia ketika mempelopori Puisi Mbeling. Sebagai seorang musisi dan penyanyi, Remy juga punya jejak yang cukup fenomenal. Album-album yang dihasilkan bersama Remy Sylado Company memang tidak laku keras, namun memberikan terobosan musikal yang berani, hingga kini album musik mereka menjadi incaran kolektor karena dianggap menimbulkan kjecenderungan tersendiri dalam blantika musik pop Indonesia. Galih Asmaradana dari Jurnal Budaya Kumandang Sastra , sempat ngobrol agak lama dengan seniman serba bisa ini, di sebuah petang. Berikut ini adalah petikan hasil obrolan dengan Remy, tentang identitas budaya dan pengaruh budaya pop dalam hidup kita.:

Hampir semua yang ada pada masyarakat kita ini diadopsi dari bangsa dan bangsa asing. Bahkan anda beberkan bila sembilan dari sepuluh kata bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Lantas adakah yang bisa kita nyatakan sebagai orisinalitas kita ?

“ Rasanya kita terpaksa berhadapan dengan kenyataan bahwa yang orisinal dari kita adalah ketidak orisinalan itu. Adakah yang bisa benar-benar di pikirkan sebagai keaslian kita ? Nama Indonesia itu sendiri kan bukan penemuan kita. Itulah sebabnya kita harus menjaga keberagaman ini dalam sebuah harmoni. Ini yang terus dipertahankan sampai kapan pun. Kita harus sama-sama melangkah dalam irama yang sepadan. Bila tidak, ada yang merasa tertinggal, dan akibatnya Indonesia sakit-sakitan. Ini kan problem lama, yang tanpa terasa terus berlangsung hingga era yang disebut reformasi ini.

Kenapa masalah disharmonisasi ternyata masih menjadi ganjalan hingga era reformasi ini ?

“ Era reformasi atau apa pun namanya, ternyata kan sekedar ganti nama saja. Situasinya masih sama. Dulu memang ada di masyarakat kita, yang bila anaknya sakit-sakitan, lalu ganti nama, seolah penyebab sakitnya adalah masalah nama. Anak bangsa kita yang beragam juga butuh kebijakan yang tak bisa di pukul rata. Mungkin kita harus menerima ke Indonesia-an kita dari dua sisi. Di satu sisi ada yang menerima hal ini sebagai karunia Ilahi, sedangkan di sisi lain barangkali ada yang mengangghap keberagaman sebagai kutukan dewata. Tapi bila kita tak mampu merangkai , keberagaman ini malah akan berubah menjadi kecemasan tersendiri.”

Situasinya, apakah ke Indonesia-an kita tak mampu lagi mengikat sebagai kesatuan dari dalam dan tak lagi menjadi suatu keniscayaan?

“ Tidak juga. Perjalanan kebangsaan kita kan harus dilihat sebagai wawasan pencarian dan penemuan. Dari suatu bangsa yang di jajah, kita merdeka karena suatu perlawanan. Kita memang harus mengawali perjalanan kebangsaan seperti itu. Terminologi kebangsaan kita memang harus dilihat sebagai terminologi perjuangan. Bukan terminology antropologis atau etimologis, seperti pada masa awal kata Indonesia di temukan.”

Jadi benar juga ya, bila kata Indonesia tadinya memang bukan sebagai kata nama sebuah bangsa…?

“ Kata Indonesia ditemukan oleh J.R. Logan di tahun 1848, dan secara umum di pakai untuk menyebutkan bangsa-bangsa yang berdiam dari wilayah Campa hingga Melayu-Polynesia, sampai Prof Adolf Bastian menggunakan untuk menyebut daerah seputar kawasan Hindia Belanda. Kemudian mahasiswa kita di Belanda mengunakan kata Indonesia sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.”

Saat di sebutkan, bahwa masih saja ada pejabat dan pemuka masyarakat yang merasa keberatan terhadap pengaruh dari luar terhadap kebudayaan bangsa kita, Remy tertawa, lalu berkata “ Itulah kepicikan sebagian dari kita. Biasanya para birokrat mengunakan isu ini untuk membangkitkan patos nasionalisme yang tak jelas, seakan-akan semua yang ada dalam budaya kita asli milik kita. Padahal jelas bangsa kita sendiri bukanlah bangsa asli tempat ini. Nenek moyang kita adalah imigran yang berdatangan dari Hindia Belakang, Campa dan Vietnam segala, yang lantas kawin-mawin dengan berbagai budaya dari India, Cina, Arab, dan sebagainya. Itulah makna Indo, yang berarti campuran. Kita harus menerima ke Indo-an kita dalam Indonesia sebagai kekayaan yang patut disyukuri.

Termasuk yang Anda uraikan bahwa sembilan dari sepuluh kata kita yang ternyata asing itu ,ermasuk kekayaan yang memperunik bahasa kita ?

“ Benar sekali. Tahukah kita bahwa kata Minggu dalam bahasa Indonesia ternyata berasal dari bahasa Perancis ? Bahkan kata Terwelu dalam bahasa Jawa pun asalnya kata Portugis juga. Kata gedang (pisang) dalam bahasa Jawa, asalnya dari kata Belanda. Ceritanya dalam perang Diponegoro, sekelompok tentara VOC terpisah dari induknya, berhari hari mereka tak makan, saat mereka tiba di sebuah kebun pisang, saking senangnya melihat makanan, spontan saja mereka berucap “ God dank “ , yang artinya terima kasih Tuhan’. Orang Jawa menirukan ucapan ini jadi gedang, lantas menjadi nama pisang.”

Ha…ha…ha kadang lucu juga proses mencari-menemukan dalam, perjalanan sejarah kebudayaan kita. Bagaimana dengan bentuk budaya lainya, seperti musik ? Ada beberapa birokrat dan budayawan Semarang yang ngotot bahwa gambang Semarang itu musik etnis kota Semarang, padahal asalnya dari Huang mei tiauw, musik asal Cina. Begitu juga dengan keroncong, yang sempat di sebut sebagai warisan budaya yang ‘ adi luhung ’. Apa penjelasan Bang Remy?

“ Sebenarnya inilah bentuk kawin-mawin budaya tadi. Gambang kromong itu titi larasnya Cina, tapi dimainkan dengan alat musik yang berkembang di sini. Begitu juga dengan keroncong (langgam Jawa) . Alat musiknya barat, tapi roh musiknya gamelan Jawa. Karena itu unik mendengar cello yang di Eropa digesek, di sini justru di betot untuk menirukan suara kendang”.

Kalau begitu runtutlah pendapat yang menyebutkan bahwa kebudayaan nasional kita merupakan puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah ?

“ Itu pernyataan Ki Hajar Dewantara yang diucapkan beliau saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gajah Mada di tahun 1955. Bagi saya, terminologi puncak ini bisa menimbulkan ketimpangan bila daerah lain ternyata belum mencapai puncak. Kebudayaan itu secara alami berlangsung dalam akulturasi. Yang lebih maju terserap oleh yang kurang maju. Kebudayaan Jawa yang lebih lama berkembang, bisa maju dan mencapai puncak. Tapi bagaimana dengan kebudayaan Papua?.”

Masalah kebudayaan telah lama menjadi bagian dari pergumulan pemikiran Remy Sylado, yang dilahirkan sebagai Yapi Panda Abdiel Tambayong, di Makasar pada 12 Juli 1945. Walau secara formal pendidikannya hanya diselesaikan di Sekolah Tinggi Teologi Baptis di Semarang, Remy adalah seorang pembelajar yang tangguh. Selain dikenal sebagai ahli bahasa (yang menguasai dengan baik bahasa Ibrani, Yunani, Prancis, Inggria, Portugis, Belanda, Spanyol, Arab dan bahasa Cina. Bukunya; Sembilan dari Sepuluh Kata adalah Asing, mendapat perhatian luas dari masyarakat, karena membeberkan begitu banyak data dan fakta dari bahasa kita yang mengadopsi kata asing) dia juga dikenal sebagai seorang novelis jempolan. Beberapa novelnya yang mendapat sambutan hangat di masyarakat antara lain Ca Bau Kan, Sam Po Kong, Paris Van Java, dan beberapa judul lagi. Kini dia baru saja merampungkan novel tentang perdagangan perempuan (trafficking)

Saat ditanyakan apakah kegandrungan kita mengambil banyak hal dari Barat juga tercermin dari lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, yang basah kuyup oleh pengaruh Barat ( lagu ini diciptakan oleh komponis Wage Rudolf Supratman, yang sehari-hari bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, lagu ini digubah dengan menggunakan notasi Barat, direkam oleh sebuah orkestra dan diaransemen oleh J. Kleber, juga orang Eropa – yang tinggal di Jakarta – Bayu ). Remy tersenyum sebelum menjawab, “ Hal inilah yang kadang-kadang tak disadari oleh kebanyakan dari kita.” Setelah meneguk es ronde yang tersaji di depannya, Remy melanjutkan:

“ Sejak tahun 1935, sebenarnya kita sudah menggunakan system pendidikan Barat, ketika di Ambon dibuka sekolah yang pertama oleh Gubernur Antonio Cavalle yang berasal dari Portugis. Kalau anak kita begitu masuk SD sudah menyanyikan lagu Dari Barat ke Timur, dia sudah berkenalan dengan lagu Eropa, karena lagu itu judul aslinya adalah La Mersaille, dari Prancis. Coba cermati, sejak dulu hingga demam American Idol sekarang ini, kita masih menjadi tawanan budaya Barat. Jadi begitu kita bicara soal budaya pop, baik itu soal musik, film atau seni lukis, maka itu 100 % Amerika.”

“ Karena itu saya suka geli bila ada bila ada musisi rock yang berkata mau ikembali ke akar. Di mana akar budaya dia, ila sejak dulu larinya ke Barat ? Bedanya dului kita menghamba pada pengaruh Belanda, sekarang kita menghamba pada pengaruh Amerika. “

Bila kita menoleh kebelakang, akulturasi Jawa dan Cina sebenarnya sudah terjadi sejak jaman kerajaan Demak. Namun kenapa baru akhir-akhir ini saja akulturasi Cina-Jawa bisa bebas berekpresi? Apakah karena keragaman yang bersifat politis atau ekonomi ?

“ Menurut saya, jawabanya adalah masalah ekonomi yang di belokan ke arah politis. Yang merisaukan sebagian besar dari kita kan bukan perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan”.

Mungkin benar juga pendapat yang mengatakan orang muda di Singapura jinak-jinak saja karena semua kebutuhan dan fasilitas mereka telah dipenuhi oleh negara. Jadi semakinb lapar orang semakin kritis ya ?

“Iya “



Esai :

Posthuman - Tubuh yang usang



Ketika orang mulai ‘membongkar pasang’ tubuhnya dengan operasi plastik atau rekayasa medis lainnya, muncul kesimpulan bahwa tubuh manusia mulai terasa usang. Namun ketika peralatan bionik dicangkokkan tubuh kita, dengan serangkaian proyek yang berniat untuk membuktikan bahwa mesin (bionik) bisa menyatu dalam tubuh manusia, maka kita berada dalam kondisi tubuh yang rawan, atau kondisi yang sekarang beken dengan istilah Posthuman
Dalam film Universal Soldier digambarkan eksperimen untuk membuat prajurit cyborg. Film Johnny Mnemonic menggambarkan situasi yang lebih radikal lagi. Data komputer yang amat besar di-download ke dalam ingatan Johnny (melalaui pembedahan salurah syaraf yang direkayasa agar bisa dicangkokkan dengan memori komputer) , yang harus segera disampaikan ke alamat penerima, sebelum data itu merembes ke dalam otaknya.
Semua ini masih sebatas cerita fiksi. Namun yang terjadi pada seorang remaja 14 tahun yang bernama Derek, adalah kisah nyata. Sebuah chip mikro komputer (ukurannya cuma sebesar beras ) dicangkokkan ke lengannya, dan dihubungkan dengan sebuah database ADS (Apllied Digital Solution) sebuah perusahaan hi tech di Florida, AS. Chip itu sendiri bermulti fungsi. Selain bisa memberikan informasi kesehatan Derek pada rumah sakit, juga bisa digunakan sebagai penyimpanan data personal Derek. Dan tentu saja chip itu sekaligus menjadi alat penentu posisi (global positioning device) yang bisa melacak ke manapun Derek berada.
Chip yang tertanam di lengan Derek memang belum menjadikan anak itu sebuah cyborg. Namun dengan sebuah chip yang tertanam di lengannya, Derek sudah menjadi anak yang ‘berbeda’. Tak saja secara fisik semata, karena tubuhnya harus diberi makna yang berbeda. Dia sedang dalam perjalanan menuju kondisi posthuman. Dalam konsep ini, tubuh tak lagi menjadi kunci utama dalam sebuah identitas biologis, namun sudah menjadi identitas ‘yang lain’. Atau dalam penjelasan Foucault, ‘tubuh pun menjadi the sosok tak berdaya (inert mass) yang dikendalikan oleh berbagai wacana yang berpusat pada pikiran’.
Karena kendali wacana-wacana seperti inilah , maka hasrat untuk menjadi tegap perkasa, langsing, cantik atau seksi kadang membuat orang rela menyakiti dirinya sendiri, melaparkan diri di luar kelaziman (diet ekstrim) , atau memacu kerja otot tubuh di luar kewajaran normal (pemakaian doping) . Hasrat untuk melebihi realitas tubuh yang alamiah ini juga membuat orang rela membelah tubuh untuk menggapai tubuh artifisial yang baru (berbagai bentuk bedah plastik). Sekat antara badan dan pikiran semakin samar dengan anggapan bahwa yang berubah bukanlah tubuh material, melainkan hanya pengertian abstrak mengenai tubuh.
Salon-salon kecantikan semakin sibuk menawarkan mantera baru : pelayanan menghilangkan kerut wajah seketika, atau mencegah penuaan dini, seolah-olah mereka bisa menghentikan atau membalikkan laju sang waktu. Berbagai klinik pria juga menawarkan pemasangan protesa yang ditanam dalam kelamin pria, sehingga dia bisa ereksi kapan saja hanya dengan memencet tombol yang mengalirkan cairan ke batang phallus. Bisa on / off semaunya tanpa memikirkan bahayanya bila ‘mesin seks’ yang tertanam di tubuhnya itu mogok bekerja.
Dalam konsep pemikiran posthuman memang tak ada lagi perbedaan penting atau pemisahan mutlak antara eksistendi tubuh dengan simulasi komputer, atau penempelan daging dan pengeratan tulang. Batasan antara organisme biologis dan mekanisme sibernetika sudah jalin menjalin. Orang menjadi bangga merayakan kepalsuannya, dengan menyelenggarakan Miss Artificial Beauty ( Ratu Kecantikan Buatan ), di Beijing , Desember 2004 silam,- di mana para pesertanya secara khusus adalah para perempuan yang sudah mempercantik dirinya dengan operasi plastik. .

Tubuh yang tak bahagia
Di sisi lain kita berhadapan dengan fakta , bahwa sekarang ini merupakan era baru ’kebangkitan tubuh’ sebagai bagian integral dari identitas moderen. Sayangnya gambaran ini kadang tidak tampil sepenuhnya, karena seperti yang dikatakan Foucault dalam The Care of The Self (1986), di mana ‘tubuh-tubuh yang tak bahagia’ (unhappy bodies ) semakin tampil nyata sebagai tubuh yang rawan . Chris Shilling, dalam The Body and Difference, juga mengamati bila sekarang memiliki tubuh sehat saja tidaklah cukup. Karena orang tak saja terhisap ke dalam berbagai aktifitas yang membuat tubuh sehat, tapi juga membentuk tubuh seperti ukiran yang diinginkan dalam sebuah patung, baik dengan bina raga atau operasi plastik.
Bagai Narsisus yang tergila-gila pada dirinya sendiri, kini semakin banyak perempuan yang memandang pantulan dirinya dalam cermin dan menemukan betapa dirinya dikuasai berbagai keinginan tampil secantik model dalam iklan televisi, walau sebenarnya betapa gampang kamera berdusta. Karenanya penampilan, keharusan tampak menawan dan fitness pun menjadi salah satu ‘kewajiban sosial’ demi sebuah citra tunggal kecantikan : ramping dan cantik. Karena itulah mereka berusaha sekeras mungkin, bersenam selama mungkin dan makan sesedikit mungkin.
Ide untuk memiliki tubuh yang prima, akhirnya malah menjajah tubuh itu sendiri, dan faktanya menunjukkan berbagai bentuk hasrat yang serba berlebihan (hyper desire ), setelah bisa mengencangkan lagi pipi yang kempot, semua bagian tubuh pun ingin dirombak : membesarkan - mengecilkan payudara, pinggang, paha, betis,- bahkan hingga restrukturasi virginitas.
Dalam sudut pandang kajian budaya, kita percaya bahwa pola pikiran masyarakat
terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas memang ikut menjelma sebagai persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik
adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Bahkan menurut Marcel Mauss, salah satu cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling naturaldari manusia, yang dapat dipelajaridengan cara yang
berbeda sesuai dengan kultur masing-masing
Mike Featherstone (dalam The Body in Consumer Culture), juga memilah pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar. Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh bagi kepentingan kesehatan dan fisiknya,- sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).
Dalam pandangan Featherstone, kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam ternyata sekaligus menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Karena itu, dalam kebudayaan konsumen tubuh dinyatakan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.
Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen juga didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan televisi sekarang ini merupakan kreator utama bagi pembentukan citra tersebut.
( Heru Emka )

































































































































































































Jurnal Kumandang Sastra 01
media bagi budaya alternatif dan pemikiran merdeka



































Atie Krisna – Remy Sylado – Salman Rushdie – Nadine Gordimer



Para Bentara nomor ini :


Ant Sogiarto
Chaterina Rinawati
Didiek
Heru Emka
Heru Mugiarso
Victor Roesdiyanto
Galih Asmaradana


















Diterbitkan secara independen oleh Kumandang Sastra. Redaksi menerima sumbangan tulisan, foto, sketsa, atau materi apa saja yang bisa dimuat dan bersifat tidak mengikat. Naskah bisa dialamatkan pada Sanggar Kumandang Sastra : Jalan Widoharjo 19. Semarang, E-mail : kumandangsastra@yahoo.com




Daftar Isi

1. Kata Mereka

2. Solilokui:

3. Wacana : Memberdayakan Semarang

4. Potret : Atie Krisna

5. Wawancara Remy Sylado : “ Kita masih membebek asing “

6. Esai : Post Human dan Tubuh yang Usang
Esai 2 : Dongeng Perlawanan Salman Rushdie

7. Puisi :

8. Perempuan : Kecantikan. Mantera yang abadi

9. Cerpen : Kejahatan Hati Nurani – Nadine Gordimer
Catatan Kecil : Nadine Gordimer dan Kelembutan yang Membadai

10. Budaya Pop : Jagoan bagi si Kulit Hitam
Komik Indie : Old Skull - Atonk

11. Film :
Bush dalam incaran.
Dongeng Fantastik Pan's Labyrinth

12. Resensi :

13. Biodata :









Potret : Atie Krisna :
Menyatukan kebahagiaan dengan lukisan


“ You have the power to choose life, so make the best of it.” - Gandhi

Seperti saat memasuki jenjang rumah tangga, sering muncul semcam pertanyaan, apakah kita bakal menemukan kebahagiaan di dalamnya ? Apakah yang selama ini menjadi angan-angan, apakah menjadi kenyataan ? Kemudian, setelah berhasil melewatkan beberapa puluh tahun hidup berumah tangga, dan kita beranjak memasuki usia senja, seringkali muncul pertanyaan : “ Apakah kita sudah menemukan yang terbaik dan membahagiakan dalam hidup ini ? “
Memasuki hari tua memang ibarat memasuki suatu babak berikutnya dalam kehidupan kita. Tak heran ada yang menyikapinya dengan harapan dan rasa syukur, di samping ada yang mentikapinya dengan perasaan cemas dan pesimis. Namun buat apa kita mencemaskan yang sudah berjalan sedemikian lama ? Apalagi dalam kata bijaknya yang tertera di atas, Gandhi mengatakan dalam hidup ini kita punya kekuatan untuk memilih. Jadi kenapa tidak memilih yang terbaik dari diri kita ?
Atie Krisna, ibu dari sepasang anak yang sudah beranjak dewasa, berhasil membuktikan bahwa di usia senja pun kita masih bisa menggali potensi yang terbaik dari diri kita sendiri. Pada saat Atie menemukan uban tumbuh di antara helai rambutnya, dia justru diwisuda sebagai seorang Arsitek. Pada saat perempuan berbintang Aries ini akan segera menjadi seorang nenek ( puteri sulungnya, penyanyi jazz Peppy Kamadhatu, baru saja menikah bulan lalu ) dia semakin memantapkan diri sebagai seorang pelukis. Uniknya, Atie Krisna mencapai keberhasilan ini justru dengan jalan yang menyimpang jauh dari jalur sukses yang ditempuh para perempuan pada umumnya : menjadi wanita karir dan menjauh dari segala kegiatan rumah tangga sehari-hari.
Atie justru meraih keberhasilan ini dari semangatnya untuk tidak meninggalkan dunia sebagai perempuan domestik, tetap menjadi ibu rumah tangga. “ Kalau kita mau berarti, kita bisa melakukannya di mana saja. Tergantung bagaimana cara kita menggali potensi yang ada dalam diri kita. Karena itu kalau ketemu sama yang muda-muda, saya
Selalu berkata menyemangati mereka, “ Ayo, jangan sampai kalah sama orang tua seperti saya.”
Ucapan yang penuh daya dorong ini hanyalah agar mereka yang lebih muda usianya pun ikut bergerak mengoleh potensi yang ada dalam dirinya ini, sebenarnya pantas juga disikapi sebagai sebagai motivasi, yang melecut seseorang untuk mengalahkan tantangan dalam hidupnya. Dalam blantika seni rupa di Semarang misalnya, lukisan Atie Krisna dianggap sebagai bentuk eksistensi kreatifitas dengan pencapaian teknis yang cukup menggembirakan. Ungkapan visual-artistiknya seringkali memberi penafsiran baru pada dunia domestik perempuan, seperti yang juga ditemukan pada karya pelukis Bunga Jeruk, namun dalam tema dan nafas yang berbeda.

Kompromi dengan realitas
Mungkin banyak yang setuju dengan pendapat ini : Semua orang punya sisi terbaik, dengan bentuk dan penjabaran yang paling sederhana, yaitu hal-hal apapun yang menurut pribadi masing-masing bisa dilakukan dengan baik. Baik itu berupa kemampuan, keahlian, sisi entelektual, sikap atau kepribadian yang positif. Sayangnya memang ada juga yang kurang menyadari sisi terbaik yang ada dalam dirinya. Pencapaian yang telah diraih oleh Atie Krisna mungkin hanya salah satu contoh dari sekian banyak langkah yang bisa ditempuh, karena Audrey C. Daniels dalam bukunya yang berjudul ; Bringing Out Ther Best in People : How to Apply the Astonishing Power for Positive Reinforcement, menjelaskan bahwa sisi terbaik seseorang juga bisa dimunculkan justru dari hal yang sebelumnya bermakna negatif. Misalnya orang yang tadinya penakut, bisa belajar menekan rasa takutnya dan menjadikan rasa takut itu sebagai tantangan yang harus ditaklukkan.
Sebenarnya kalau kita bisa mencapai keseimbangan antara realitas dan keinginan, tidaklah sukar untuk menemukan sisi yang baik dalam hidup kita. “ Saya bisa merasakan kebahagian bukan saja karena saya merasa dalam hidup ini ada tujuan yang harus dicapai, dalam rumah tangga misalnya ketenteraman, semuanya saling sayang satu sama lain. Namun juga perasaan bahwa kita berhasil melakukan apa yang kita inginkan, “ ujar Atie yang lukisannya mendapat apresiasi yang baik dari beberapa kritikus senirupa ibukota.
“ Mungkin kuncinya sederhana saja, kita kadang harus melakukan kompromi dengan realitas yang terjadi dalam hidup kita. Sebelum melukis saya juga sudah ‘taren’ (konfirmasi) sama keluarga. Karena semua dari kami ini kan melakukan segalanya atas dasar kompromi bersama. Seperti waktu saya mau kuliah lagi, saya tanya suami dan anak-anak, mama boleh kuliah lagi nggak ? Mama boleh melukis ? Ternyata mereka malah senang , karena dengan melukis, saya kesibukan yang bermanfaat.”
Kompromi itu juga yang membuat semua aktifitas Atie mengalir begitu saja di antara kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Bentuk pemberdayaan dirinya sebagai ibu dengan begitu tetap terasah, karena intelektualitasnya pun otomatis terangsang oleh berbagai wacana baru yang tercipta saat dia menuangkan warna-warna ke dalam kanvasnya.
“ Jadi semua asyik-asyik saja saya lakukan sebagai ibu. Jadi urusan memasak dan melukis bisa terasa seimbang. Di situ tempat masak, di sini tempat melukis. Sambil menunggu masakan matang, saya melukis. Sederhana saja kan ?,” ujarnya.

Dunia dari sudut pandang perempuan
Saat ditanyakan, kenapa dia memilih tema suasana rumah tangga sehari-hari,yang nampak wajar sekaligus lugu, dengan penonjolan bentuk visual benda rumah tangga seperti teko, sepatu dan sebagainya, Atie Krisna menjawab, “ Karena usia saya sudah kepala lima, kan tak mungkin bila saya harus pergi ke mana-mana untuk melukis. Kalau mereka yang masih muda mungkin malah lari dari rutinitas sehari-hari untuk mencari view atau objek lukisan yang bagus. Karena saya lebih senang di rumah, ya saya lukis apa saja yang ada di rumah, dan bagi saya ini merupakan sebuah dunia tersendiri, dengan penafsiran dan sudut pandang saya sebagai seorang perempuan.”
Dan ternyata, walau mengaku hanmya melukis apa yang ada di rumah tangga, lukisan Atie Krisna juga menunjukkan dimensi tafsir sosial yang lembut. Saat pembicaraan ini berlangsung di rumahnya, di dekat kami terletak sebuah lukisan seukuran 1 kali 1,5 meter, yang menampilkan sebuah poci bagus berwarna merah menyala, sementara di dekatnya tergolek tubuh anak jalanan dengan ekspresi yang membatu. Saya menanyakan judul lukisan itu, dan Atiek menjawab bila judulnya ‘Es Teh Gratis’.
Judul lukisan yang terkesan naïf ini ternyata punya wacana yang mencerminkan sikap khas perempuan di tengah isu sosial yang terasa keras, yakni kanvas dengan naluri keibuan, keinginan untuk mengasihi, yang hadir dengan halus, tanpa menjadi sebuah tonjokan kritik sosial.
“ Sebelumnya saya sering berangan-angan, bagaimana bila ada yang memberi perhatian – walau nampaknya sepele – pada mereka yang naibnya kurang beruntung seperti pemulung, gelandangan atau anak jalanan. Walau hanya teh manis gratis yang disediakan sebelum jam makan siang. “
Atie yang nama aslinya Krisnawati dan lahir dalam naungan bintang Aries ini, walau merasa dirinya agak temperamental, juga sekaligus merasa bersikap konsisten terhadap hasrat yang ingin diraihnya. Itulah sebabnya dulu ketika kuliahnya macet di semester kelima – karena ayahnya meninggal dunia -, dia berjanji suatu saat akan melanjutkan lagi.
“ Ketika anak-anak sudah besar, saya kuliah lagi. Saya tak malu jadi mahasiswa tua, dan saya lulus di tahun 1998, dalam usia 47 tahun. Sebelum lulus saya punya kelompok kerja yang berencana membuat perusahaan jasa konsultan. Namun kemudian saya pikir, dengan usia segini saya nggak sanggup bila harus ke sana-sini ikut tender dan sebagainya. Maka saya memilih melukis dan menjadikannya sebagai dunia saya,” ujar isteri seorang pria yang sabar dan penuh rasa humor bernama Sarutomo ini.

Mata hati dan kebahagiaan
Soal kebahagian itu sendiri, Atie merasa bila hal itu sebenarnya tak terlalu jauh dari kehidupan kita, asal kita membuka mata hati pasti bisa melihatnya. “ Terus terang saja, bagi saya hal-hal yang sepele saja bisa membuat saya senang. Dulu begitu ada duit sedikit, beli sepeda, rasanya sudah senang. Sejak awal kehidupan saya memang banyak hal-hal sederhana yang membahagiakan. Waktu pertama kali beli kulkas, senang sekali rasanya, sampai sekarang kulkasnya masih berfungsi lho. Padahal sudah tiga puluh tahun berselang,” katanya riang.
Bicara soal kebahagiaan, Atie percaya bila suka dan duka itu ada beserta kita, dan selalu ada dalam perjalan hidup seseorang. “ Masalahnya tinggal bagaimana cara kita menyikapinya. Bila kita memakai kaca mata hitam, ya semua yang kita lihat nampak suram. Logikanya kan begitu. Kalau soal nggak punya uang, dulu itu jadi persoalan sehari-hari. Dulu misalnya, uang yang ada cuma Rp 100,- untung masih ada beras, telur dan beberapa lagi. Waktu anak-anak minta beli bakso, saya bilang,” Sekarang kita bisa beli bakso, tapi besok kita makan nasi goring, besoknya hanya mie, besoknya lagi mie, mie lagi. Mau ?.” Ternyata anak-anak nggak mau. Jadi kita ajarkan juga agar anak-anak melihat realitas dan tidak memaksakan diri.”
Kini Atie merasa gambaran kebahagiaannya sudah lengkap. Dia punya Sarutomo, pria idaman yang menyayanginya sebagai isteri tercinta. Sedang dua anaknya; Peppy (Pissa Sesara) dan adiknya Gedo Grimaldo, sudah menikah, dengan karir masing-masing. Kini Atie mencoba merangkai kebahagiaan dalam lukisan, dengan menampilkan visinya tentang dunia perempuan. Kadang muncul juga sesuatu yang membuatnya merasa susah, namun Atie Krisna dan suaminya; Sarutomo,- seudah sepakat untuk menyikapi hidup ini dengan riang. Ketika puteri sulungnya lahir, mereka memberinya nama Pissa Sesara. “ Tahu nggak artinya ? Pisanan (pertama kali operasi) Caesar. Peppy memang lahir melalui operasi Caesar,” kata Atie, yang diikuti suara tawa suaminya.

Rumah yang teduh
Yang menarik, pertautan Atie Krisna dengan dunia senirupa Semarang , walau dinikmati secara personal, tidaklah dijalani secara individual. Kedewasaan dan nalurinya sebagai seorang perempuan seringkali membuat Atie tidak muncul sebagai figur seorang seniman yang seringkali menampilan pancaran ego dan ambisi yang kuat. Itulah sebabnya di tengah pro-kontra tentang berbagai pendapat dalam dinamika wacana dan isu senirupa di Semarang, Atie sring dipandang berada dalam posisi yang lebih netral. Dan tak jarang dia menjadi pelimpahan uneg-uneg dan cuerahan isi hati para seniman yang lebih muda usianya.
Hasrat untuk memberi ruang bagi ekspresi seniman muda yang banyak bermunculan akhir-akhir ini di Semarang, Atie merubah sebagian ruangan gerai busananya menjadi sebuah galeri alternatif yang diberi nama Galeri Bu Atie. “ Jangan samakan dengan galeri-galeri lain yang sudah mapan dan punya jaringan kolektor yang kaya. Kami hanya menampung mereka yang ingin memamerkan karyanya, atau membuat agenda kesenian dan kebudayaan lainnya. Bila butuh tempat, silakan. Bagaimanapun akan lebih baik bila selalu tersedia ruang bagi semua bentuk dan ekspresi kebudayaan, kan, “ ujarnya.
Belum banyak memang aktifitas yang terjadi di sana. Baru sebuah pameran lukisan ( Lukisan Awal Auly ) dan diskusi senirupa tentang Neo-Realisme. Namun beberapa agenda kesenian berikutnya telah disiapkan, antara lain Pameran Tunggal Agung Yuliansyah dan beberapa lagi, yang menandakan Galeri Bu Atie ini juga menjadi salah satu motor yang menggerakkan rodfa kesenian di Semarang. “ Bila diumpamakan rumah, mungkin ini bukan rumah yang megah, dengan semua perhiasaannya yang mewah. Ini hanya sebuah rumah sederhana, yang semoga menjadi rumah yang teduh, sehingga siapa pun yang menghuninya bisa merasa nyaman, damai dan bisa berkreasi semaksimal mungkin,’ ujarnya merendah hati.
Sikap mengasuh dan merengkuh yang muncul sebagai kebiasaan sehari-hari Bu Atie (begitu kalangan seniman Semarang memanggilnya ) nampak dari kesabaran dan ketulusannya dengan secara sukarela menjadi ‘juru warta informal’. SMS dari Bu Atie selalu hadir menyampaikan tak saja tiap agenda kebudayaan yang terjadi di Semarang,- namun juga informasi lain : mulai dari berita duka yang mengabarkan meninggalnya seorang seniman atau keluarganya, hingga rencana pertemuan dan sebagainya.
(Tim Kusas )



Wawancara :
Remy Sylado :
“ Kita masih membebek asing “


Pernahkah kita memperhatikan, berapa banyak kata, simbol budaya dan istilah asing singgah dalam hari-hari kita ? Di kantor, bos bicara campur aduk dengan menyebut beberapa kata asing. Di radio penyiar berceloteh sambil menyebutkan idiom dan slang bahasa asing. Cobalah nyalakan televisi, kesannya juga setali tiga uang. Tayangan berita yang dimaksudkan sebagai “ Berita Utama Hari Ini” malah diganti dengan kalimat dalam bahasa Inggris; Headline Today, sepertinya kata asing itu jauh lebih baik daripada kata-kata yang tetap dalam bahasa Indonesia. Setiap hari kata Up Next muncul dilayar kaca Metro TV, dan ditayangkan untuk menggantikan makna aslinya dalam bahasa Indonesia, yakni “ Acara berikutnya.
Itu baru soal bahasa. Belum lagi soal gaya hidup dan sebagainya. Termasuk segala sikap budaya dan bentuk expresinya. Jangan heran bila melihat seorang remaja di daerah pinggiran Kendal malah lebih fasih menyanyikan lagu terbaru Metallica. Bagi Remy Sylado, itu semua adalah bentuk dari identitas kita yang ternyata masih ‘indo’. Serba ‘setengah matang’. Dan menurut Remy, ini bukan gejala baru, namun sudah berusia ratusan tahun. Dia benar. Lihat saja selop yang di pakai para priyayi kraton, itulah bentuk adopsi sepatu (yang dari Eropa) terhadap budaya keraton ( yang mengharuskan copot alas kaki di lingkunganya ).
Sebagai seorang seniman Remy Sylado punya banyak sisi yang menarik, dengan berbagai karir yang beragam. Dia piawai sebagai wartawan, cakap sebagai aktor dan teaterawan, sebagai penyair dia sempat mengharu-biru dunia sastra Indonesia ketika mempelopori Puisi Mbeling. Sebagai seorang musisi dan penyanyi, Remy juga punya jejak yang cukup fenomenal. Album-album yang dihasilkan bersama Remy Sylado Company memang tidak laku keras, namun memberikan terobosan musikal yang berani, hingga kini album musik mereka menjadi incaran kolektor karena dianggap menimbulkan kjecenderungan tersendiri dalam blantika musik pop Indonesia. Galih Asmaradana dari Jurnal Budaya Kumandang Sastra , sempat ngobrol agak lama dengan seniman serba bisa ini, di sebuah petang. Berikut ini adalah petikan hasil obrolan dengan Remy, tentang identitas budaya dan pengaruh budaya pop dalam hidup kita.:

Hampir semua yang ada pada masyarakat kita ini diadopsi dari bangsa dan bangsa asing. Bahkan anda beberkan bila sembilan dari sepuluh kata bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Lantas adakah yang bisa kita nyatakan sebagai orisinalitas kita ?

“ Rasanya kita terpaksa berhadapan dengan kenyataan bahwa yang orisinal dari kita adalah ketidak orisinalan itu. Adakah yang bisa benar-benar di pikirkan sebagai keaslian kita ? Nama Indonesia itu sendiri kan bukan penemuan kita. Itulah sebabnya kita harus menjaga keberagaman ini dalam sebuah harmoni. Ini yang terus dipertahankan sampai kapan pun. Kita harus sama-sama melangkah dalam irama yang sepadan. Bila tidak, ada yang merasa tertinggal, dan akibatnya Indonesia sakit-sakitan. Ini kan problem lama, yang tanpa terasa terus berlangsung hingga era yang disebut reformasi ini.

Kenapa masalah disharmonisasi ternyata masih menjadi ganjalan hingga era reformasi ini ?

“ Era reformasi atau apa pun namanya, ternyata kan sekedar ganti nama saja. Situasinya masih sama. Dulu memang ada di masyarakat kita, yang bila anaknya sakit-sakitan, lalu ganti nama, seolah penyebab sakitnya adalah masalah nama. Anak bangsa kita yang beragam juga butuh kebijakan yang tak bisa di pukul rata. Mungkin kita harus menerima ke Indonesia-an kita dari dua sisi. Di satu sisi ada yang menerima hal ini sebagai karunia Ilahi, sedangkan di sisi lain barangkali ada yang mengangghap keberagaman sebagai kutukan dewata. Tapi bila kita tak mampu merangkai , keberagaman ini malah akan berubah menjadi kecemasan tersendiri.”

Situasinya, apakah ke Indonesia-an kita tak mampu lagi mengikat sebagai kesatuan dari dalam dan tak lagi menjadi suatu keniscayaan?

“ Tidak juga. Perjalanan kebangsaan kita kan harus dilihat sebagai wawasan pencarian dan penemuan. Dari suatu bangsa yang di jajah, kita merdeka karena suatu perlawanan. Kita memang harus mengawali perjalanan kebangsaan seperti itu. Terminologi kebangsaan kita memang harus dilihat sebagai terminologi perjuangan. Bukan terminology antropologis atau etimologis, seperti pada masa awal kata Indonesia di temukan.”

Jadi benar juga ya, bila kata Indonesia tadinya memang bukan sebagai kata nama sebuah bangsa…?

“ Kata Indonesia ditemukan oleh J.R. Logan di tahun 1848, dan secara umum di pakai untuk menyebutkan bangsa-bangsa yang berdiam dari wilayah Campa hingga Melayu-Polynesia, sampai Prof Adolf Bastian menggunakan untuk menyebut daerah seputar kawasan Hindia Belanda. Kemudian mahasiswa kita di Belanda mengunakan kata Indonesia sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.”

Saat di sebutkan, bahwa masih saja ada pejabat dan pemuka masyarakat yang merasa keberatan terhadap pengaruh dari luar terhadap kebudayaan bangsa kita, Remy tertawa, lalu berkata “ Itulah kepicikan sebagian dari kita. Biasanya para birokrat mengunakan isu ini untuk membangkitkan patos nasionalisme yang tak jelas, seakan-akan semua yang ada dalam budaya kita asli milik kita. Padahal jelas bangsa kita sendiri bukanlah bangsa asli tempat ini. Nenek moyang kita adalah imigran yang berdatangan dari Hindia Belakang, Campa dan Vietnam segala, yang lantas kawin-mawin dengan berbagai budaya dari India, Cina, Arab, dan sebagainya. Itulah makna Indo, yang berarti campuran. Kita harus menerima ke Indo-an kita dalam Indonesia sebagai kekayaan yang patut disyukuri.

Termasuk yang Anda uraikan bahwa sembilan dari sepuluh kata kita yang ternyata asing itu ,ermasuk kekayaan yang memperunik bahasa kita ?

“ Benar sekali. Tahukah kita bahwa kata Minggu dalam bahasa Indonesia ternyata berasal dari bahasa Perancis ? Bahkan kata Terwelu dalam bahasa Jawa pun asalnya kata Portugis juga. Kata gedang (pisang) dalam bahasa Jawa, asalnya dari kata Belanda. Ceritanya dalam perang Diponegoro, sekelompok tentara VOC terpisah dari induknya, berhari hari mereka tak makan, saat mereka tiba di sebuah kebun pisang, saking senangnya melihat makanan, spontan saja mereka berucap “ God dank “ , yang artinya terima kasih Tuhan’. Orang Jawa menirukan ucapan ini jadi gedang, lantas menjadi nama pisang.”

Ha…ha…ha kadang lucu juga proses mencari-menemukan dalam, perjalanan sejarah kebudayaan kita. Bagaimana dengan bentuk budaya lainya, seperti musik ? Ada beberapa birokrat dan budayawan Semarang yang ngotot bahwa gambang Semarang itu musik etnis kota Semarang, padahal asalnya dari Huang mei tiauw, musik asal Cina. Begitu juga dengan keroncong, yang sempat di sebut sebagai warisan budaya yang ‘ adi luhung ’. Apa penjelasan Bang Remy?

“ Sebenarnya inilah bentuk kawin-mawin budaya tadi. Gambang kromong itu titi larasnya Cina, tapi dimainkan dengan alat musik yang berkembang di sini. Begitu juga dengan keroncong (langgam Jawa) . Alat musiknya barat, tapi roh musiknya gamelan Jawa. Karena itu unik mendengar cello yang di Eropa digesek, di sini justru di betot untuk menirukan suara kendang”.

Kalau begitu runtutlah pendapat yang menyebutkan bahwa kebudayaan nasional kita merupakan puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah ?

“ Itu pernyataan Ki Hajar Dewantara yang diucapkan beliau saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gajah Mada di tahun 1955. Bagi saya, terminologi puncak ini bisa menimbulkan ketimpangan bila daerah lain ternyata belum mencapai puncak. Kebudayaan itu secara alami berlangsung dalam akulturasi. Yang lebih maju terserap oleh yang kurang maju. Kebudayaan Jawa yang lebih lama berkembang, bisa maju dan mencapai puncak. Tapi bagaimana dengan kebudayaan Papua?.”

Masalah kebudayaan telah lama menjadi bagian dari pergumulan pemikiran Remy Sylado, yang dilahirkan sebagai Yapi Panda Abdiel Tambayong, di Makasar pada 12 Juli 1945. Walau secara formal pendidikannya hanya diselesaikan di Sekolah Tinggi Teologi Baptis di Semarang, Remy adalah seorang pembelajar yang tangguh. Selain dikenal sebagai ahli bahasa (yang menguasai dengan baik bahasa Ibrani, Yunani, Prancis, Inggria, Portugis, Belanda, Spanyol, Arab dan bahasa Cina. Bukunya; Sembilan dari Sepuluh Kata adalah Asing, mendapat perhatian luas dari masyarakat, karena membeberkan begitu banyak data dan fakta dari bahasa kita yang mengadopsi kata asing) dia juga dikenal sebagai seorang novelis jempolan. Beberapa novelnya yang mendapat sambutan hangat di masyarakat antara lain Ca Bau Kan, Sam Po Kong, Paris Van Java, dan beberapa judul lagi. Kini dia baru saja merampungkan novel tentang perdagangan perempuan (trafficking)

Saat ditanyakan apakah kegandrungan kita mengambil banyak hal dari Barat juga tercermin dari lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, yang basah kuyup oleh pengaruh Barat ( lagu ini diciptakan oleh komponis Wage Rudolf Supratman, yang sehari-hari bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, lagu ini digubah dengan menggunakan notasi Barat, direkam oleh sebuah orkestra dan diaransemen oleh J. Kleber, juga orang Eropa – yang tinggal di Jakarta – Bayu ). Remy tersenyum sebelum menjawab, “ Hal inilah yang kadang-kadang tak disadari oleh kebanyakan dari kita.” Setelah meneguk es ronde yang tersaji di depannya, Remy melanjutkan:

“ Sejak tahun 1935, sebenarnya kita sudah menggunakan system pendidikan Barat, ketika di Ambon dibuka sekolah yang pertama oleh Gubernur Antonio Cavalle yang berasal dari Portugis. Kalau anak kita begitu masuk SD sudah menyanyikan lagu Dari Barat ke Timur, dia sudah berkenalan dengan lagu Eropa, karena lagu itu judul aslinya adalah La Mersaille, dari Prancis. Coba cermati, sejak dulu hingga demam American Idol sekarang ini, kita masih menjadi tawanan budaya Barat. Jadi begitu kita bicara soal budaya pop, baik itu soal musik, film atau seni lukis, maka itu 100 % Amerika.”

“ Karena itu saya suka geli bila ada bila ada musisi rock yang berkata mau ikembali ke akar. Di mana akar budaya dia, ila sejak dulu larinya ke Barat ? Bedanya dului kita menghamba pada pengaruh Belanda, sekarang kita menghamba pada pengaruh Amerika. “

Bila kita menoleh kebelakang, akulturasi Jawa dan Cina sebenarnya sudah terjadi sejak jaman kerajaan Demak. Namun kenapa baru akhir-akhir ini saja akulturasi Cina-Jawa bisa bebas berekpresi? Apakah karena keragaman yang bersifat politis atau ekonomi ?

“ Menurut saya, jawabanya adalah masalah ekonomi yang di belokan ke arah politis. Yang merisaukan sebagian besar dari kita kan bukan perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan”.

Mungkin benar juga pendapat yang mengatakan orang muda di Singapura jinak-jinak saja karena semua kebutuhan dan fasilitas mereka telah dipenuhi oleh negara. Jadi semakinb lapar orang semakin kritis ya ?

“Iya “


Esai : Posthuman - Tubuh yang usang


Ketika orang mulai ‘membongkar pasang’ tubuhnya dengan operasi plastik atau rekayasa medis lainnya, muncul kesimpulan bahwa tubuh manusia mulai terasa usang. Namun ketika peralatan bionik dicangkokkan tubuh kita, dengan serangkaian proyek yang berniat untuk membuktikan bahwa mesin (bionik) bisa menyatu dalam tubuh manusia, maka kita berada dalam kondisi tubuh yang rawan, atau kondisi yang sekarang beken dengan istilah Posthuman
Dalam film Universal Soldier digambarkan eksperimen untuk membuat prajurit cyborg. Film Johnny Mnemonic menggambarkan situasi yang lebih radikal lagi. Data komputer yang amat besar di-download ke dalam ingatan Johnny (melalaui pembedahan salurah syaraf yang direkayasa agar bisa dicangkokkan dengan memori komputer) , yang harus segera disampaikan ke alamat penerima, sebelum data itu merembes ke dalam otaknya.
Semua ini masih sebatas cerita fiksi. Namun yang terjadi pada seorang remaja 14 tahun yang bernama Derek, adalah kisah nyata. Sebuah chip mikro komputer (ukurannya cuma sebesar beras ) dicangkokkan ke lengannya, dan dihubungkan dengan sebuah database ADS (Apllied Digital Solution) sebuah perusahaan hi tech di Florida, AS. Chip itu sendiri bermulti fungsi. Selain bisa memberikan informasi kesehatan Derek pada rumah sakit, juga bisa digunakan sebagai penyimpanan data personal Derek. Dan tentu saja chip itu sekaligus menjadi alat penentu posisi (global positioning device) yang bisa melacak ke manapun Derek berada.
Chip yang tertanam di lengan Derek memang belum menjadikan anak itu sebuah cyborg. Namun dengan sebuah chip yang tertanam di lengannya, Derek sudah menjadi anak yang ‘berbeda’. Tak saja secara fisik semata, karena tubuhnya harus diberi makna yang berbeda. Dia sedang dalam perjalanan menuju kondisi posthuman. Dalam konsep ini, tubuh tak lagi menjadi kunci utama dalam sebuah identitas biologis, namun sudah menjadi identitas ‘yang lain’. Atau dalam penjelasan Foucault, ‘tubuh pun menjadi the sosok tak berdaya (inert mass) yang dikendalikan oleh berbagai wacana yang berpusat pada pikiran’.
Karena kendali wacana-wacana seperti inilah , maka hasrat untuk menjadi tegap perkasa, langsing, cantik atau seksi kadang membuat orang rela menyakiti dirinya sendiri, melaparkan diri di luar kelaziman (diet ekstrim) , atau memacu kerja otot tubuh di luar kewajaran normal (pemakaian doping) . Hasrat untuk melebihi realitas tubuh yang alamiah ini juga membuat orang rela membelah tubuh untuk menggapai tubuh artifisial yang baru (berbagai bentuk bedah plastik). Sekat antara badan dan pikiran semakin samar dengan anggapan bahwa yang berubah bukanlah tubuh material, melainkan hanya pengertian abstrak mengenai tubuh.
Salon-salon kecantikan semakin sibuk menawarkan mantera baru : pelayanan menghilangkan kerut wajah seketika, atau mencegah penuaan dini, seolah-olah mereka bisa menghentikan atau membalikkan laju sang waktu. Berbagai klinik pria juga menawarkan pemasangan protesa yang ditanam dalam kelamin pria, sehingga dia bisa ereksi kapan saja hanya dengan memencet tombol yang mengalirkan cairan ke batang phallus. Bisa on / off semaunya tanpa memikirkan bahayanya bila ‘mesin seks’ yang tertanam di tubuhnya itu mogok bekerja.
Dalam konsep pemikiran posthuman memang tak ada lagi perbedaan penting atau pemisahan mutlak antara eksistendi tubuh dengan simulasi komputer, atau penempelan daging dan pengeratan tulang. Batasan antara organisme biologis dan mekanisme sibernetika sudah jalin menjalin. Orang menjadi bangga merayakan kepalsuannya, dengan menyelenggarakan Miss Artificial Beauty ( Ratu Kecantikan Buatan ), di Beijing , Desember 2004 silam,- di mana para pesertanya secara khusus adalah para perempuan yang sudah mempercantik dirinya dengan operasi plastik. .

Tubuh yang tak bahagia
Di sisi lain kita berhadapan dengan fakta , bahwa sekarang ini merupakan era baru ’kebangkitan tubuh’ sebagai bagian integral dari identitas moderen. Sayangnya gambaran ini kadang tidak tampil sepenuhnya, karena seperti yang dikatakan Foucault dalam The Care of The Self (1986), di mana ‘tubuh-tubuh yang tak bahagia’ (unhappy bodies ) semakin tampil nyata sebagai tubuh yang rawan . Chris Shilling, dalam The Body and Difference, juga mengamati bila sekarang memiliki tubuh sehat saja tidaklah cukup. Karena orang tak saja terhisap ke dalam berbagai aktifitas yang membuat tubuh sehat, tapi juga membentuk tubuh seperti ukiran yang diinginkan dalam sebuah patung, baik dengan bina raga atau operasi plastik.
Bagai Narsisus yang tergila-gila pada dirinya sendiri, kini semakin banyak perempuan yang memandang pantulan dirinya dalam cermin dan menemukan betapa dirinya dikuasai berbagai keinginan tampil secantik model dalam iklan televisi, walau sebenarnya betapa gampang kamera berdusta. Karenanya penampilan, keharusan tampak menawan dan fitness pun menjadi salah satu ‘kewajiban sosial’ demi sebuah citra tunggal kecantikan : ramping dan cantik. Karena itulah mereka berusaha sekeras mungkin, bersenam selama mungkin dan makan sesedikit mungkin.
Ide untuk memiliki tubuh yang prima, akhirnya malah menjajah tubuh itu sendiri, dan faktanya menunjukkan berbagai bentuk hasrat yang serba berlebihan (hyper desire ), setelah bisa mengencangkan lagi pipi yang kempot, semua bagian tubuh pun ingin dirombak : membesarkan - mengecilkan payudara, pinggang, paha, betis,- bahkan hingga restrukturasi virginitas.
Dalam sudut pandang kajian budaya, kita percaya bahwa pola pikiran masyarakat
terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas memang ikut menjelma sebagai persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik
adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Bahkan menurut Marcel Mauss, salah satu cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling naturaldari manusia, yang dapat dipelajaridengan cara yang
berbeda sesuai dengan kultur masing-masing
Mike Featherstone (dalam The Body in Consumer Culture), juga memilah pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar. Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh bagi kepentingan kesehatan dan fisiknya,- sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).
Dalam pandangan Featherstone, kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam ternyata sekaligus menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Karena itu, dalam kebudayaan konsumen tubuh dinyatakan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.
Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen juga didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan televisi sekarang ini merupakan kreator utama bagi pembentukan citra tersebut. ( Heru Emka )


Esai 2 : Dongeng Perlawanan Salman Rushdie

Di balik berbagai dongeng ternama yang sarat dengan jalinan fantasi yang membahagiakan kanak-kanak, kadang membayang kenyataan pahit dari peristiwa yang tak mebahagiakan penulisnya. Kisah para binatang dalam dongeng karya Beatrix Potter, yang berjuang melepaskan diri dari claustrophobia petaka lingkungan, ternyata merupakan cerminan kegelisahannya untuk melepaskan diri dari perilaku represif orang tua di era Viktorian. Tak heran bila karakter Peter Pan ciptaan J. M. Barrie tampil sebagai alter ego penulisnya, yang diam-diam ‘menolak dewasa’ sebagai aksi protes karena berbagai tindakan pengekangan yang dilakukan oleh orang tuanya dulu.
Begitu juga dengan Haroun and the Sea of Stories ( Harun dan Samudera Dongengan) karya Salman Rushdie yang memiliki semua sisi dari dongeng fantasi, sebelum menyadari bahwa sebelumnya seorang pemimpin spiritual yang memiliki pengikut di berbagai penjuru dunia menghalalkan darah si pengarang untuk dialirkan. Di permukaan,. Haroun and the Sea of Stories adalah kisah yang hidup dengan denyut fantasi yang tak henti membukakan wilayah baru bagi penjelajahan imajinasi yang mengasyikkan. Latar belakang plot yang bisa jadi merupakan penafsiran ulang tema Kisah Seribu Satu Malam, di mana Sinbad terbawa nasib untuk melakukan berbagai penjelajahan yang mendebarkan ke berbagai wilayah yang asing dan ajaib, tempat di mana dia menemukan sekutu gaib untuk melawan mahluk aneh yang jahat.
Namun kehidupan ini seakan ditakdirkan untuk dipenuhi oleh berbagai hal yang berlawanan. Kisah fiksi yang muncul dari kebebasan imajinasi, terkadang berbenturan dengan sensor, yang ironisnya sering terperangkap dalam penafsiran kebenaran yang juga digambarkan oleh imajinasi secara metaforis. Karena itulah Jorge Louis Borges juga menyebut sensora sebagai sumber segala metafora ( Cencorship is mother of all metaphors ) seraya menawarkan strategi literer untuk hal yang sama, bisa pula menggunakan metafora untuk melawannya.
Salman Rushdie agaknya memilih jalan yang serupa, setelah novelnya, The Satanis Verses diharamkan oleh Ayatulah Khomeni dan membuat Rushdie hidup dalam labirin persembunyian di bawah ancaman hukuman mati. Dan Rushdie ternyata tak berdiam diri, dia menjawab sensor ini dengan novelnya, karena bukankah esksistensi seorang sastrawan terletak pada karya sastra yang dihasilkannya ?
Dalam konteks inilah Rushdie menulis Haroun and the Sea Stories 1) selanjutnya disebut HatSS ) dan memilih menggunakan metafora sebagai perlawanan, sebagai ‘pasemon’ terhadap sensor dan kekuasaan. Bila membaca HatSS, maka bisa disimpulkan bila Rushdie menggunakan ide narasi dasar dalam Kisah Seribu Satu Malam 2).
Keterkaitan HatSS dengan Kisah Seribu Satu Malam tak saja nampak pada pemilihan nama dua tokoh utama dalam HatSS; yakni pendongeng Rashid Khalifa dan anaknya Harun, yang mirip dengan nama figur penting di balik penciptaan kisah Kisah Seribu Satu Malam, yakni Khalifah Harun Al-Rasyid, namun juga dalam konsep narasi utama tentang bagaimana pesona penuturan berbagai kisah mampu menggagalkan sebuah eksekusi.

Kontradiksi yang saling melengkapi
HatSS, secara tersirat ditujukan sebagai dongeng bagi anak lelaki Rushdie; Zafar,-sebagai sebuah kisah fantasi yang plastis, di mana dunia jin membaur dengan dunia robotik ( sesuatu yang secara logis seharusnya bertolak belakang ) namun dalam novel ini ternyata malah saling melengkapi. Cermin dari sifat kontradiktif yang justru terengkuh dalam harmoni, juga nampak dalam penggambaran Kahani, sebagai bulan kedua dari bumi, yang selama ini ‘tersembunyi’. Saya menafsirkan Kahani ini sebagai bentuk representasi Rushdie akan ‘dunia kisah dan imajinasi’ yang berlawanan dengan citra bulan sejati, yang kini telah menjadi lambang eksplorasi teknologi.
Dalam HatSS, Rushdie mengawali perlawanan simbolisnya dengan kalimat memikat, “ There was once, in the country of Alifbay, a sad city, the saddest of cities, a city so ruinously sad that it had forgotten it name.” ( Adalah sebuah negeri di Alifbay, sebuah kota yang sedih, kota yang tersedih, begitu terpuruknya kota itu dalam dukalara sehingga terlupa akan namanya ) Kemudian mengalir lancar narasi tentang kehidupan seorang anak lelaki bernama Harun, dan ayahnya; Rashid Khalifa, seorang pendongeng termashur yang mendapat julukan sebagai ‘Kaisar Omong Kosong’ ( the Shah of Blah).
Kemampuan mendongeng Rashid begitu hebat, sehingga dia tak ubahnya Orpheus, yang memainkan musik sedemikian indah, sehingga tak saja membuat para binatang patuh kepadanya, namun bahkan mampu menjinakkan kebuasan para setan di neraka (Hades). Kemahiran mendongeng Rashid tak saja nemberikan kebanggaan pada dirinya dan anaknya , Harun,- atau menjadi sumber penghasilan utama untuk menghidupi keluarganya, namun juga membuat penguasa terpikat menggunakan dongengnya demi kepentingan politis mereka. Terutama untuk memikat perhatian massa. Namun ternyata ada orang yang tak bisa hidup sepenuhnya dari imajinasi.
Suatu hari isterinya; Soraya, minggat bersama tetangga mereka bernama Senggupta, setelah lelaki ini selalu mengejek eksistensi Rahid sebagai orang yang tak berpijak pada kehidupan nyata. Harun yang merasa galau akan kepergian ibunya, tanpa sadar ikut memojokkan ayahnya, “Apa guna segala cerita yang tak sepenuhnya nyata ?
( “What’s the use of stories that aren’t even true ? “ 3). Dampak dari perasaan terguncang Rahid akan gugatan anak lelakinya ternyata begitu tak terduga. Dia tak sanggup lagi bercerita. Padahal waktu itu Rahid sedang diundang oleh seorang politisi untuk mengucapkan pidato omong kosongnya.
Dilanda penyesalan, Harun berusaha mengembalikan kemampuan ayahnya bercerita, karena bila tidak mereka berdua akan mengalami kesulitan. Bukankah pejabat di kota G membutuhkan kemampuan Rashid bercerita, atau bila tidak, ayahnya dianggap berkomplot dengan lawan politik si pejabat untuk memboikot program kampanye mereka. Bila begitu anggapan mereka, runyamlah posisi Harun dan ayahnya.
Upaya Harun berlanjut dengan sebuah perjalanan mistis untuk memulihkan kemampuan mendongeng ayahnya menuju Kahani, tempat di mana terdapat Samudera Dongengan (Sea of Stories), mata air sekaligus muara semua jenis kisah yang ada di dunia. Sesampainya di Kahani, kisah dan semuanya mengalir bebas menuju akhir cerita yang ditentukan sendiri oleh kehendak Sang Dongeng. Suasana rawan membayang karena Samudera Dongengan terancam tumpas karena diracuni oleh si jahat, Khattam-Shud.

Karakter memikat
Dalam petualangan di Kahani inilah Harun bersua dengan beberapa karakter yang memikat, seperti Iff, jin air, Butt; robot berbentuk burung bulbul, dan mahluk berbentuk ganggang yang bernama Mali, si Tukang Kebun Terapung Kelas Satu, dan sebagainya.
Maka HatSS jelaslah sebuah novel yang tak saja menyenangkan pembaca kanak-
kanak, namun juga mampu menghibur para pembaca dewasa. Misalnya dengan menampilkan seorang tokoh dengan karakter misterius yang bernama Mudra, si Pendekar Bayangan ( Shadow Warrior ), jago pedang yang tak pernah berkata-kata dan bicara dengan gerakan isyarat melalui kedua tangannya. Suara si jago pedang ini hanya bisa didengar saat dia batuk,dan terdengan sebagai "Gogogol “ atau .” Kafkafka." ( Bahkan batuk ini pun diambil dari nama dua sastrawan kelas wahid; Nikolai Gogol dan Franz Kafka)
Sang tiran, Khattam Shud, penguasa Chup, negeri gelap,- adalah figur yang Rushdie dilukiskan sebagai “Musuh besar semua kisah, termasuk bahasa itu sendiri. Dialah pangeran Kegelapan dan Seteru Pembicaraan ." " Kenapa kau begitu membenci cerita ?" tanya Harun ketika dia akhirnya berhadapan dengan sang tiran.. " Karena cerita begitu menyenangkan. Dunia ini ada bukan untuk bersenang-senang. Dunia ini ada untuk dikendalikan,” sahut Khattam-Shud. " Dan dalam setiap cerita, setiap aliran di Samudera Dongengan, terdapat sebuah dunia, sebuah dunia cerita yang tak bisa kukendalikan sepenuhnya “ ( “ And inside every single story, inside every Stream in the Ocean, there lies a world, a story-world, that I cannot Rule at all.")
Maka, untuk menyelamatkan kemampuan ayahnya bercerita, menyelamatkan kehidupan di Kahani dan keberadaan semua cerita di dunia, Harun harus menghentikan niat jahat Khattam Shud. Dalam perjalanan menuju pusat kegelapan dan kesenyapan di pusat negeri Chup, kisah HatSS pun dipenuhi adegan yang unik, dengan penggambar4an imajinatif yang lentur, sekaligus kenyal. Perjalanan Harun ke negeri Chup tak ubahnya perjalanan si kecil Dorothy dalam The Wizzard of Oz, di mana Dorothy diiringi tiga sahabat ajaib; antara lain si Manusia Kaleng dan si Singa Penakut. Dalam HatSS, Harun pun disertai tiga sahabat yang ganjil : Iff, si jin Air, lalu Mr. Butt; sopir bis aneh yang kemudian menjelma menjadi robot burung bulbul dengan kemampuan telepatis, serta Mali si mahluk ganggang yang bertugas sebagai ‘perawat jalinan arus kisah’ yang mengalir di Samudera Dongengan.

Antara Represi dan Meta-Fiksi
Setelah ‘berbasah kuyup ria’ di samudera imajinasi Salman Rushdie, marilah ‘meniti tali’ yang terentang dari dua tepi yang berseberangan; yakni hukum besi lambang kekuasaan otoritarian yang menolak kebebasan mutlak dari imajinasi dan sebaliknya dunia imajinatif yang melepaskan diri sepenuhnya dari hukum realitas, di mana semua perlambang dan dan gambaran angan-angan bebas beterbangan dengan sayap imajinasi.
Rushdie adalah sastrawan yang sejak awal memilih untuk hidup di ‘jalan pena’ dengan segala resikonya. Saat novelnya; Midnight Children tak disukai para petinggi militer di Pakistan, dia masih bisa bersikap masa bodoh. Namun ketika The Satanic Verses diterbitkan dan berbuah vonis hukuman mati dari Ayatullah Khomeini, Rushdie menghilang dalam labirin pengungsian. Namun dia tak tinggal diam, dan melawan dengan HatSS’ sebuah dongeng dimana Rushdie membiarkan perlambang dan metafora bergerilya dalam imajinasi pembaca.
Tentu ada semacam penanda yang menyiratkan arah perlawanan Salman Rushdie. Misalnya nama negeri Alifbay. Bagi saya ini merupakan perlambang Rushdie yang mengacu pada negara Iran ( Alif adalah huruf pertama dalam abjad Arab. Bay adalah teluk dalam bahasa Inggris. Maka Alibay saya tafsirkan sebagai ‘negara di kawasan Teluk yang utama, punya posisi penting dalam percaturan dunia, yakni Iran ). Dan Rushdie menegaskan perlawanannya sejak awal, ketika dia menyebut negeri utama di kawasan Teluk ini sebagai "a sad city . . . a city so ruinously sad that it had forgotten its name.” Tentu saja ini penggambaran dari sisi Rushdie semata, sebagai salah satu pihak dari kedua pihak yang berlawanan. Bahkan dalam 60 Minutes – sebuah talk show TV yang secara tak sengaja saya tonton di sebuah hotel,– Rushdie mengaku perlawanan dalam HatSS hanyalah sebatas ‘perlawanan imajiner’. HatSS yang ditulis untuk anaknya, Jafar, haruslah dibaca untuk bersenang-senang, sebagai pengembaraan batin dari kesedihan menuju suka cita. ( “ He must read it for fun, a journey from sadness to joy.")

Menekan perbedaan
Barbara Harlow, dalam Resistance Literature 4), menyatakan bahwa perlawanan adalah persoalan yang cukup mengemuka dalam kesusasteraan dunia. Dan ‘sastra yang melawan’ sebenarnya merupakan jejak panjang dari niat untuk menolak penindasan yang sejak masa awal peradaban manusia selalu melakukan intervansi dan mengupayakan tindakan yang bersifat represi bagi setiap kelompok di luar mayoritas yang berupaya untuk mengucapkan narasi yang berbeda.
Berbagai kisah epik para raja dengan segenap ksatrianya hampir selalu mendapat perlawanan tersembunyi dari cerita rakyat yang sebenarnya merupakan sisi yang berbeda dari apa yang dituliskan oleh para pujangga istana. Bahkan berbagai dongeng atau kisah-kisah binatang yang dikenal dalam sastra lama sebagai kisah pelipur lara, sebenarnya merupakan bentuk pasemon kreatif dari para penutur kisah, yang secara bijak dan jenaka mengelak dari tudingan pedang kekuasaan. ( It is a fable that seek to entertain and drive home a point without seeming to do so; it also an assertion of the writter’s deviant creative spirits that refused to allow the iron of the oppressor’s sword to enter his soul and render him impotent )
Maka dalam HatSS bertebaran apa yang oleh Strauss disebut sebagai ‘esoteric text’ yang dirancang untuk menajamkan pemikiran pembaca, dan melacak komunikasi pemikiran yang melampaui hambatan sensor 5) Dengan mencermati narasi imajinatif Rushdie dalam HatSS, kita merasakan bila dia cukup piawai mengadopsi teknik yang dipraktikkan oleh beberapa sastrawan besar sebelumnya, seperti Voltaire atau Jonathan Swift ( kisah Guliver di Negeri Liliput-nya ternyata juga merupakan sastra perlawanan terhadap resim penguasa yang diam-diam ditentangnya )
Dalam HatSS, nampak jelas bahwa ketrampilan bercerita amat memikat para penguasa, karena potensinya untuk mempengaruhi masyarakat. Itulah sebabnya seorang pendongeng ulung seperti Rashid Khalifa justru terancam keselamatannya saat dia kehilangan kemampuan berorasi saat disewa oleh penguasa untuk mengkampanyekan kebaikannya dan berceloteh tentang ‘kisah omong kosong yang indah dan melenakan.’
Italo Calvino, dalam Right and Wrong Political Uses of Literature 3) menyebutkan bila dalam setiap periode kebudayaan di sebuah negara, selalu ditemukan pertautan aneh, di mana para sastrawan menari dalam alunan irama kekuasaan, sementara yang lain menolak mengikuti irama. Dan rejim totaliter pun mendukung sastra yang patuh. Itulah sebabnya Hitler membutuhkan Gerhart Hauptmann dan Soviet membutuhkan Mikhail Sholokov. Bahkan sastrawan Rusia seperti Solzhenitsyn yang melawan dengan Gulag Archipelago pun pernah menuliskan One Day in the Life of Ivan Denisovich atas permintaan Nikita Khrushchev.
Rushdie berhasil menyeberangi jalan ini. “ Kita bisa melewatkan ketidak mengerian akan makna kebenaran, yang terbentang seperti gurun maha luas. Di sana tak ada jalur jalan atau papan penunjuk arah. Tapi kita bisa menggunakan bintang sebagai pedoman. Memang semua itu hanya ada di malam hari. Namun malam adalah sesuatu yang pasti akan datang dan kita harapkan, sementara di siang hari, lebih baik kita berlindung dari kedatangan pemburu yang mengancam keselamatan, “ ujar Rushdie tentang imajinasi,yang masih diharapkan bisa menjadi penanda eksistensinya 7).

Meta-fiksi
Yang mengasyik, menelusuri jalinan narasi dalam HatSS, yang saling untai-menguntai membentuk fiksi yang mencakup banyak hal, saya pun menemukan mata rantai referensi yang jalin menjalin untuk memadukan berbagai fakta dengan imajinasi, sebagaimana laiknya sebuah meta-fiksi. Kaitan HatSS dengan Kisah Seribu Satu Malam tak saja berupa peminjaman nama Kalifah Harun Al-Rasyid sebagai nama karakter ini dongeng Rushdie, namun lebih dipertegas dengan nama rumah perahu di mana Rashid dan Harun mengawali petualangan ke Samudera Dongengan,yang diberi nama Seribu Malam ditambah Satu (HatSS hal 50)
Penggambaran karakter lain, si Anjing laut (The Walrus) misalnya. Si Pengendali Agung super-komputer yang disebut P2C2E ini dikelilingi mahluk berkepala plontos; Egghead yang mendeskripsikan diri dengan kalimat " Mereka manusia-telur—daku sang anjing laut” (“They are the eggmen--I am the walrus"). Aha! Rushdie meminjam kalimat ini dari sebuah lagu the Beatles yang berjudul "I am the Walrus" dari album mereka yang berjudul Magical Mystery Tour.


(Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya )

Catatan kaki :
Saya menggunakan versi paperback edition terbitan Penguin, 1999.
Saya membacanya dari edisi bahasa Indonesia yang diterbitkan Mizan, dalam empat jilid, 1998.
Haroun an the Sea Stories, Penguin, 1999, hal 20
Harlow, Barbara, Resistance Literature ( New York, Methurn, 1987)
Harlow, Resistance Literature – hal 52.
Dalam The Literature Machine : Essays, London, Picador, 1989
Cundy, C. Salman Rushdie, Manchester University Press, 1996



SAJAK – SAJAK :

AFRIZAL MALNA :


HARI LIBUR KOLAM RENANG

Potretmu bersama keluargamu masih terbayang di kolam renang, seperti kamar berisi air.
Kenapa kamar berisi air dan ada potretmu di situ. Ibumu yang mengenakan kebaya tersenyum lebar sambil menggendongmu waktu bayi. Kenapa ada bayi yang digendong di kamar yang penuh berisi air. Riak air membuat gambar-gambar baru di sekeliling potretmu. Lalu orang-orang lain berenang-renang di atasnya. Riak-riak air tidak menggambar lagi. Riak-riak air membelah-belah tubuh mereka, membuat kolam seperti penuh dengan tubuh mereka yang telah menjadi air. Kenapa ada air seperti pisau dalam kolam renang. Air membuat warna biru pada potongan punggungku. Matahari melayang-layang seperti penyu di dasar kolam. Penyu yang kepalanya tidak berani keluar dari tubuhnya. Dasar kolam membungkus kakiku dengan warna hijau seperti kepala anjing berwarna hijau. Air seperti kepala anjing yang keluar dari dasar sungai. Aih, hari libur di kolam renang, hari libur untuk tubuh-tubuh di kolam renang. Bekas ciuman masih berhari libur juga di kolam renang. Bekas ciuman masih berhari libur juga di kamar mandi. Aih, orang itu bisa masuk ke dalam air dan bisa keluar dari air di hari libur. Aku mencium bau kaporit. Ada bayang-bayang awan di atas dengkulmu, di antara 5 detik dari tumitku. Aih, kepala anjing, kepala penyu tidak sama dengan kepalaku di hari libur.



SUMBU KOMPOR DI LUBANG TELINGA

Ada warna kuning memancar di jangungku. Kenapa kau datang terlalu cepat, dan menggunakan kuping berwarna kuning ? Tidak. Aku tidak datang dan tidak terlalu cepat dan tidak menggunakan kuping berwarna kuning. Aku hanya warna kuning di jantungmu. Kenapa kau memanggilku seperti itu, seperti membiarkan jarum waktu memasukkan sumbu kompor ke dalam lubang telingaku. Beri aku waktu satu menit lagi untuk menyalakan korek api. Beri aku waktu untuk membersihkan kakiku sebelum pergi. Sebentar saja untuk membeli satu botol minyak tanah. Sebentar saja untuk melihat api menerangi lubang telingaku yang gelap. Biar aku melihat jarum waktu yang jatuh dalam lubang yang gelap. Tidak. Aku tidak membiarkan kamu pergi. Aku juga tidak membiarkan kamu datang. Aku hanya sedang melihat sumbu kompor yang terbakar di lubang telingamu. Cahayanya menerangi seluruh ketakutan yang membuat 100 tahun dalam lubang gelap.




DUA BUAH LAMPU NEON

Aku bergerak cepat. Telapak tanganku, jari-jari tanganku, obeng, kabel listrik untuk menerangi lorong di samping rumah. Dua buah lampu neon aku pasang. Kabelnya masih menjuntai seperti usus babi berwarna merah. Beberapa kali aku hilang di lorong itu. Tetangga-tetangga mencariku. Mereka pikir aku sedang pergi keluar pergi. Mereka tidak berpikir begitu. Mereka pikir aku ada dalam selimut mahluk halus. Mereka tidak berpikir begitu. Mereka tidak berpikir apa-apa tentang diriku. Tapi mereka masih mencium bau tubuhku di dinding tembok rumah bercampur bau santan. Mereka pikir aku pohon kelapa yang tumbuh di tembok tumah. Ya, mereka berpikir. Berpikir tentang tembok yang dibuat dari santan kelapa. Dan dua buah lampu neon di pasang untuk menerangi lorong itu. Kabelnya berjuntai seperti usus babi berwarna merah. Tapi dua lampu neon itu tidak bisa menerangi isi tembok, tempat orang-orang hilang tak pernah ditemukan lagi. Tembok yang lembab seperti bibir gelas minummu.



PENARI TOPENG

Penari topeng itu membuat topeng dari wajahnya sendiri. Dan menunggu hingga siang hari wajahnya berubah menjadi topeng. Dan menunggu lagi hingga sore hari topeng itu memiliki mata untuk melihat anjing dan ayam berlarian. Topeng itu memandang isi perut anjing dan ayam. Penonton tak tahu kalau penari topeng itu melihat isi perut anjing dan ayam. Penonton tak tahu kalau di balik topeng itu ada yang bermain judi mempertaruhkan tanahnya hingga sore hari. Dan menunggu lagi hingga malam hari tanahnya berubah menjadi topeng. Musik tariannya ribut sekali dalam isi perut anjing dan ayam. Pukul 8 malam penari topeng itu akan menari di Denpasar. Sesajen telah disiapkan untuk membuka topeng itu menjelang pukul 8 malam. Pukul 8 malam anjing dan ayam mulai membenturkan kepala mereka ke dinding belakang panggung pertunjukan. Pukul 8 malam mesin cetak begitu bising di atas panggung pertunjukan. Mencetak pantai, mencetak pura, mencetak dewa, . Penari topeng menunggu lagi hingga para tamu tertidur nyenyak. Dan berjaga lagi di depan pintu hingga pagi hari. Aduh, Jepang, Itali, aduh, Australi, Amerika, Korea, aduh, Jerman, Indonesia, Prancis, aduh, jangan membuat pesta makan malam dalam topengku. Aku hanya menari untuk para dewa.


DI HALAMAN BELAKANG

Pagi ini aku memijat punggungmu. Minyak kayu putih dan balsem juga. Halaman belakang tubuhmu yang hanya melihat bagian belakang dari dunia yang dilalui. Bagian belakang yang diciptakan dari seluruh perjalanan mundur. Punggungmu, balsem dan minyak kayu putih juga tak tahu, perjalanan mundur ke belakang atau ke depan. Dunia di belakang selalu menjauh dan mengecil. Detail-detailnya kemudian menjelma lagi saat hujan turun. Saat kebun kacang mulai berdaun. Tapi aku pusing, katamu. Pusing yang tak berdaun. Dan aku herus kembali ke halaman belakang dari leher dan kepalamu. Tak pernah ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur, katamu. Kebun kacang juga tidak berjalan mundur. Tidak meninggalkan tanah dan mencari kursi di taman. Hayo, sayangku, kita membuat hari esok di halaman belakang. Kita melihat waktu bergerak seperti kebun kacang di halaman belakang.


AFRIZAL MALNA, penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957. Dia pernah membacakan puisi-puisinya di berbagai kota di daratan Eropa, sambil memberikan ceramah-ceramah kebudayaan. Selain bergabung dengan berbagai grup kesenian, juga pernah bergabung dengan Urban Poor Concortium (UPC). Kini dia menetap di Yogjakarta.



HERU EMKA :


BANJARAN DOSA

penyair adalah Adam
yang beratus kali dijelmakan
dan mengembara dalam diam
dan menuliskan sajak-sajaknya
dari getah pohon dosa.
penyair juga Adam
yang memberi warna pada kelam
agar segala di hidup ini
jadi beragam
penyair juga Adam
yang memberi suara pada diam, memberi
pemberontakan pada jemu dan segala pasungan


“ mulut kesunyian menjerit resah. aku enggan berdamai dengan kehampaan “

“ itukah kegundahanmu ? Sungguh kampungan!”

“ Kau kah itu yang bicara lagi dalam tidurMu ?”

“ Akulah sang Pemangku yang ada di hatimu
tidur adalah jaga Ku, diam adalah bicara Ku “

“ Aku rindu kata-kata, bukan kesenyapan, dan aku jemu
bercakap dengan isyarat kepada-Mu “

“ bila kau bijak, Adam, inilah firdausmu : sunyaruri “

“ aku lebih suka terjebask kata-kata. kelu telah menjadi rindu dendam
beratus windu, bisu memeram geram selaksa waktu “

penyair juga Adam, yang menghayati
kejatuhan, penyair juga Adam yang berulang kali
diciptakan dalam takdir yang berlainan.
sajaknya bagai ayam jantan yang ditetaskan
naga penunggu hutan. itulah, kata-kata yang membara
meresahkan tidurnya dan membakar satu demi satu
mimpinya : pulang dari pengasingan..

“ lihat lagi wajahmu, Adam…”

-“ luasnya diam menyusut di keriuhan,
aku lelap di sela sibuk dan nyalang di dasar
lamunan. dan aku mulai cemas pada bahasa diam “

“ semua filsuf ingin mengabur di sunyaruri, meniti
jembatan awan ke tempat sempurna “

“ tidak! aku menolak !
aku rindu kata dan caci-maki
walau terulang lagi sejarah wal
manusia dosa

sunyaruri riuh rendah dalam bahasa sepi
langit bercakap senyap dengan udara hampa
sekejap cuaca berganti seribu kali
sukma Adam menggigil , tubuhnya bergetar
mengguncang jantung, menghajar nalar
mencipta air bah, yang membanjiri bumi
dari pori-pori
melabrak semua yang ada, menghanyutkan ke
samudera.

“ Tuhan
jangan jadikan aku Adam di hari penciptaan
tidak ! aku menolak ! biar kuhanya manusia saja
yang rindu kawan, meradang lawan
tidak! aku insan jelata, yang butuh tubu8h cinta
gemar bertengkar dan cium mesra pacar
hidup dan dosan terasa sungguh mahal harganya
karena di sana pernah ada semua yang kini tiada
bagai malaikat, aku ingin tumbuh sayap
agar bisa melarikan diri ini dari dusta
aku ingin menyerah
menaklukkan diri pada keramaian
wahai suara; puji dan caci
belenggulah aku
yang bosan diburu bisu
aku jengan terherat senyap
senyap selalu membawa hawa asing
daerah lain – di balik kerdip mata
suara dan kata :
maut !




Lagu Muara
1
di sinilah aku, kekasihku di tepi batas kebenaran laut luas sepanjang waktu, tak henti aku menunggu kabar-Mu dari hulu
senandung ku hanya percik ombak dan teriak burung camar kesepian keteduhan hutan - Mu yang rindang tak pernah menaungiku
di sini kunanti : kapan pasang - Mu tiba selalu ingin kutahu : kabar- Mu dari hulu aku hanya muara : endapan lumpur dan sarang malaria betapa kurindu : bening mata air-Mu

Penyair dan Pelukis - fur E -
barangkali paletmu mengering suatu hari kamu gantikan dengan kenangan yang tak terhapuskan
barangkali bukan sapuan warna tapi masa silam sedang kanvas di depanmu menjelma impian
pelukis dan penyair sama menyandang beban kenangan sama dihajar kerinduan
gambarmu bisa saja garang namun hatimu tetap perempuan mata air kelembutan
( dan medan kita sama : kesepian )
begini saja, bila kamu melukis lagi padang bunga yang sunyi sepi kalau boleh kutambahkan ; kuda jantan yang lepas tambatan !




Lagu Putih - farewell, empty dream -
selamat malam dara, masihkah tidurmu dihiasi banyak impian ? aku masih teringat padamu dalam semua perjalanan
pandangmu yang tetap bersinar didukung senyum yang malu ( di luar gerimis tiba menghantar cuaca yang kelabu )
inilah percakapan kita : getar senyap di daunan yang menggigil dalam lebat hujan percakapan kita : saling mencari apa yang tersimpan di sudut hati
selamat malan, kelembutan selamat malam, keheningan bila hari telah larut bagi jiwa mengendap tersisa : kenangan kita

ailia + matahariku
ailia, ailia, matahariku pergi mengembara dan aku tertinggal............ di sudut stasiun-stasiun kujenguk ruang di sibuk pelabuhan-pelabuhan kusapa diam di puncak malam, kulemparkan kegundahanku padamu
rinduku memancar deras, ailia, dari mata air dihatiku. akulah layang-layang berpusing di lidah topan, biar putus benang biar terhempas hilang, kukejar kamu matahariku
kukayuh perahu, ailia, kurengkuh dayung nestapaku ayo laju perahu laju, beranjaklah dari lubuk-lubuk yang tak punya makna. ayo laju perahu laju, jangan karam karena rindu, jangan kandas di awal duka, lajulah laju perahuku, hidupku
perahuku melewati kota-kota, ailia, singgah di sekian ribu asrama, perahuku bertolak dari kampung-kampung dan berlabuh di sepanjang jalan. tergeletak di hari-hari penat, mengenang kemarin kupinjam hangatmu, ailia, pengusir sisa dingin semalam lalu pagi datang lagi, fajar lahir lagi kau bersorak, ailia, bersama hanyut ke bisik kagum tapi bukan aku, ailia, matahariku tak pernah nampak wajar, selalu tersamar. hanya hangatnya meraayap ke sudut jauh hatiku.
dari mata air rinduku perahuku menuju muara MU ailia + Matahariku



Jejak kenangan


tak cuma waktu -
benua pun telah memisahkan
potret suram di album
hanya macet pada saluran ingatan
pada hari lamban
dan hilang warna

pada jam-jam biasa
aku sering mencarimu
di antara sibuk jalanan
atau menengok di sela waktu
yang meletakkanmu pada kapal
yang melaju

aku yakin
kau bagai kembang api
di malam tahun baru
melimpah riang bagai busa sampanye
di tengah pesta
hari-hari mu di negeri salju
akan penuh boneka, ucapan selamat
dan karangan bunga

sedikit sunyi tersisa
di kartu pos berwarna :
Museum nelson di Buckler’s Hard

lalu kalimat yang jadi asing
bagai sajak yang gagal memanggil kenangan.


Heru Emka, penyair kelahiran Semarang, 30 Oktober. Dia pernah membacakan puisi-puisinya di Taman Ismail Marzuki dan di beberapa desa. Puisinya terhimpun dalam buku yang berjudul Tanda ( Balai Pustaka, 1982), Tonggak 4 (Gramedia, Gramedia, 1987), Jejak Memanjang (Medayu Press, 1993) Banjaran Adam (2005, dalam persiapan penerbitan ). Hingga kini aktif menulis di berbagai media massa.


Kajian Perempuan :
Cantik sebagai mantera abadi

Baru beberapa waktu berselang kita menjadi saksi betapa para gadis muda kita dilanda demam untuk menjadi selebriti. Ketenaran, nama besar dan hidup enak sebagai orang beken disepakati sebagai buah impian mereka yang penuh damba mencebur dalam berbagai kontes yang bisa menjadikan mereka sebagai seorang bintang secara instan. Tapi itu sekedar tren, sebatas warna-warni sebuah musim, yang akan berganti pada ragam lainnya.
Tapi hasrat untuk menjadi cantik adalah mantera abadi, yang tak pernah lekang pengaruhnya sejak awal peradaban manusia. Menarik sekali apa yang diungkapkan oleh majalah pria Salon (edisi November 2004 ) tentang kegairahan tanpa henti untuk tampil menjadi cantik dalam special section di majalah ini : History of Beauty. Dalam artikel panjang ini secara menarik dikisahkan mitos keindahan para dewi kecantikan dari Ratu Helena (Helen of Troy), Cleopatra hingga para selebritis belia Hollywood seperti Liv Tyler .
Ratu Helena yang menjadi biang keladi pecahnya Perang Troya yang berdarah itu, dianggap sebagai wanita yang memiliki ‘kecantikan berbisa’, ‘le femme fatale’ ( si cantik yang mematikan) dengan sorot mata indah yang mengandung bius, seperti digambarkan oleh pujangga Homerus. Cleopatra menduduki peringkat kedua dengan resep istimewa mandi susu plus madu, yang masih diadopsi oleh para wanita sekarang ini. Kemudian para dewi tahun enam puluhan yang bentuk tubuh seindah Venus seperti Raquel Welch, hingga citra dewi muda Hollywood yang dipandang mewakili kecantikan alami, jauh dari rekayasa fisik secara medis, yakni Liv Tyler.
Namun menurut saya, yang menarik bukan apa atau siapa yang menghiasi deret galeri para dewi kecantikan versi Salon ( yang bisa saja disusun ulang oleh redaksi media lainnya ) namun penjelasan bahwa kecantikan , walaupun tetap menjadi mantera memikat bagi setiap wanita di mana saja, telah bergeser maknanya, dari masa ke masa. Kecantikan yang semula dikagum sebagai seni keindahan ( art of beauty , yang barangkali mewakili tahap pemikiran mitik ) bergeser sebagai ‘teknologi keindahan’ (science of beauty) yang mewujud lewat teknologi kecantikan artificial seperti bedah plastik, implan sel hidup atau terapi ozon dan sebagaianya.
Dan bagai para pendamba kecantikan, ‘science of beauty’ bahkan mejadi mantera baru, dengan ‘kuil-kuil baru’ berbagai salon kecantikan yang ekslusif dan mewah, dengan peralatan moderen yang menggabungkan kemampuan medis rumah sakit dengan kenyamanan pelayanan hotel berbintang lima.

Tubuh yang resah
Tubuh menjadi obyek baru bagi senirupa kecantikan, menjadi obyek utama sebuah modifikasi atas nama estetika. Dalam Body Modification, yang disunting oleh Mike Featherstone, ( Thousand Oaks, London 2000 ) - menurut saya merupakan sebuah antologi paling komprehensif yang menjelaskan tentang ‘politik tubuh’ dan hasrat abadi untuk cantik - menyebutkan, bahwa tubuh manusia akhirnya menjelma menjadi pemujaan baru dalam sudut pandang studi kebudayaan. …..( The human body is the new fetish of cultural studies.)
Dalam antologi ini, tak saja para feminis, namun juga para psikoanalis, para fenomenolog dan para antropolog, ikut mengembangkan teori yang tajam dan berbeda tentang tubuh manusia. Menjadi cantik memang lebih menyenangkan (preferable). Karena memberikan keutamaan fisik pada perempuan lebih mudah mendapatkan pasangan, pujian, atau bahkan pekerjaan. Begitu besarnya pukau mantera kecantikan sehingga membuat para wanita , dari masa ke masa, cenderung narsistis, memuja kecantikan tubuh semata.
Namun di sisi lain, kecantikan sendiri telah direduksi oleh kepentingan kapitalisme. Versi dan defenisi kecantikan yang begitu beragam sesuai kultur yang ada di dunia, kemudian diperas dalam sebuah defenisi yang seragam, versi media massa terkemuka seperti atau lembaga yang merasa punya wewenang untuk menentukan wanita tercantik sedunia, seperti konsep pemilihan Ratu Sejagat ( Miss World), misalnya.
Masalahnya, haruskah ada kelompok tertentu yang berhak menentukan kriteria kecantikan dan kriteria macam apakah yang pantas digunakan untuk memberi penilaian ? Dan bisakah mewakili suatu obyektifitas ? Bukankah setiap periode jaman serta masing-masing kebudayaan dan era-sosialnya memiliki standar sendiri tentang konsep kecantikan dan estetika tubuh ?
Industri global yang juga menjadikan kecantikan dan keindashan tubuh sebagai isu panas juga menunjukkan kecenderungan untuk bergerak secara homogen. Berbagai industri kosmetik moderen seperti L’Oreal, Estte Lauder, Lancome dan sebagainya, mendirikan berbagai lembaga riset di seluruh dunia bahkan dalam kepentingan untuk menyelaraskan produk bisnis mereka dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat unik, dari berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Belenggu, candu
Tak heran bila tokoh feminis postmodern seperti Julia Kristieva menganggap bahwa kecantikan sebagai rahmat sekaligua kutukan. “ Ada semacam belenggu kecanduan dalam konsep kecantikan, sehingga wanita tergoda untuk merantaikan diri dalam citra cantik, dan mengabaikan isu strategis lainya yang tak kalah penting dalam kehidupannya. Mereka menjadi boneka yang terantai dalam etalase kekaguman para pria,” ujarnya dalam Desire in Language ( Columbia University Press, 1982.)
Kita memahami kegundahan feminis yang satu ini. Gairah para wanita untuk terus melakukan perombakan atas tubuhnya sendiri melalui berbagai tindakan bedah plastik, .body piercing, berbagai program firness, rekayasa prosthetik, dan berbagai upaya lain dari proses neural implants, hingga metode pengobatan mutakhir nanoteknologi , yang atas nama fashion dalam tahun-tahun terakhir ini, telah membuat tubuh menjadi tempat yang paling aktual untuk melakukan eksperimen.
“ Bila kecantikan menjadi mantera abadi, dengan mitos-mitos yang hampa dan tak relevan abgi aktualisasi diri, maka alangkah menderitanya tubuh wanita masa kini, “ begitu keluh Kathy Davis, dalam ' "My Body is My Art":Cosmetic Surgery as Feminist Utopia'. - The European Journal of Women's Studies. No 4: pp 23-37. (1997). Dan korban mitos ini masih saja terentang dalam jarak yang begitu panjang. Dari kawasan sibuk Manhattan hingga di sebuah salon kecantikan di Depok. Muncul lagi berita tentang si anu yang menjadi korban jiwa karena efek merusak sebuah operasi bedah plastik. Si anu ini pun bisa saja tampil dalam deretan sosial yang tak terhingga. Dari hostes sebuah klab malam murahan, hingga presiden direktur sebuah perusahaan elektronik di Maryland, AS. Ah….kecantikan kadang terasa sungguh absurb…….(Gendhys Mujiati )



Cerpen : Kejahatan Hati Nurani

Karya Nadine Gordimer


Mereka saling mengamati pada saat yang sama, ketika melangkah turun dari tangga Mahkamah Agung pada hari ketiga pengadilan itu. Di saat itu, kebetulan saja para penonton datang untuk melihat si terdakwa – melihat mereka yang bakal menanggung kurungan dinding dinding penjara karena gagasan-gagasan yang ada di kepala mereka – telah memuaskan rasa ingin tahu mereka, yang memiliki kepentingan khusus mengikuti peradilan itu dari hari ke hari. Mungkin dia seorang wartawan atau perwakilan kekuatan Barat yang mengamati proses peradilan-peradilan politik dalam problematika negara-negara itu bagi kebijaksanaan luar negeri, dan melobi kembali persoalan hak asasi manusia di Eropa Barat dan Amerika.
Dia mengenakan setelan korduray dengan potongan yang tidak lazim. Tapi saat lelaki itu berbicara, jelaslah bahwa dia pun mirip perempuan itu, seorang rumahan – dia memiliki aksen dengan gaya khas membelokkan frasa yang berhubungan dengan bahasa sehari-hari. “ Apalah arti sidang ini ! Aku tak paham…Setelah dua jam mengikutinya.. Aku merasa bagai terperangkap dalam gulungan pita yang lengket – tak berdasarkan fakta..”
Wanita itu tak bersalah. Dia seorang wanita muda dengan kelembutan ekspresi tapi terlatih dengan gaya tenunan rumahan sederhana, dalam pertemuan apapun, tanpa memberi kesan sebagai anggota pusat meditasi transendental atau kelompok yang memprihatinkan lingkungan hidup atau studio desain, melainkan suatu lambang perikemanusiaan tersendiri dari mereka yang tak memiliki apa-apa dan menanggung resiko tersendiri. Satu-satunya perhiasannya, seuntai kalung mungil dari potongan -potongan kulit unta yang tertata sepanjang benang, dan bergerak ketat pada lehernya saat dia tersenyum atau mengangguk. “ Kerja pengacara memang seperti ini..Aku melihatnya dengan jelas. Beberapa hari yang pertama, hal itu merupakan urusan orang-orang yang berusaha agar setiap orang terkecoh pada sisi yang lain.”
Di akhir pekan, mereka minum kopi bersama selama rehat siang. Lelaki itu menguterakan sejumlah impresi yang naïf dari peradilan itu, namun seolah-olah menyadari sepenuhnya akan kemudahan tipuan. Mengapa negara memanggil saksi-saksi yang tak berhak dan mengatakan rezim ini menindas semangatnya dan menghalang-halangi ambisi normalnya ? Tentu saja, karena jenis kesaksian seperti itu mendukung pembelaan, biarpun hal itu merupakan kejahatan hati nurani.? Wanita itu menggeraikan rambutnya yang indah, berdesir bagai permadani yang terbuat dari bulu kambing Anggora. “ Tunggu. Tunggu. Itu demi memantapkan keyakinan. Membuktikan keterlibatannya dengan terdakwa. Pengetahuan mereka yang mendalam mengenai apa yang dikatakan dan dilakukan terdakwa, demi menyalahkan terdakwa dalam hal yang bertentangan dengan pembelaan. Tidakkah kau melihatnya ?”
“ Kini aku melihat.” Lelaki itu tersenyum sendiri. “ Saat aku di sini sebelumnya, aku tak begitu perduli dengan persoalan-persoalan politik – aktivitas politik, kukira kau sudah mengatakannya ? Itu hanya setelah saya pulang dari seberang lautan.”
Dia menanyakan apa yang dihatapkan darinya setelah beberapa dia menghilang ?
“ Hampir lima tahun. Periklanan. Lalu komputer.” “ Hapuskan hukuman yang memberi kesan tiadanya kepentingan, mengingat riwayat kerja ini telah habis kekuatannya.” Dua tahun silam aku baru merasa ingin kembali. Aku tak bisa memberi alasan yang sebenarnya pada diriku. Aku telah melakukan jenis pekerjaan yang sama di sini – sebenarnya aku sudah menempuh kursus sekolah bisnis di sebuah universitas – lalu sedikit demi sedikir aku paham kenapa aku inginkan hal itu. Pulang kembali. Nampaknya hal itu bisa dilakukan bersama problema seperti ini.”
Air mukanya menampakkan pikirannya yang berbeda, walau alis mata dan mulut mengekspresikan pengertian yang tenang. “ Aku kira semua kesaksian ini kabur bagimu. Aku tak mengira kau adalah orang yang berdiri di luar lapangan.”
Tubuhnya kurus. Genggaman tangannya yang kecil tak ubahnya perkakas yang ditaruh di atas meja etalase sebuah warung kopi. Di luar kemampuannya, mereka memainkan bungkusan gula sementara dia menjawab,” Apa yang membuatmu memikirkan hal itu ?”
“ Agaknya banyak yang kau tahu. Sepertinya kau mengalami sendiri…Atau barangkali…kau mahasiswa hukum ?”
“ Aku ? Bukan ..,” dia memberikan sambutan bersahabat setelah seteguk-dua teguk kopi,” Aku bekerja untuk korespondensi universitas.”
“ Guru”
Sambil tersenyum dia melanjutkan,” Mengajar orang-orang yang tak pernah kulihat.”
“ Tak mungkin. Kau nampak bagaikan orang yang begitu terlibat.”
Untuk pertama kalinya, perhatian basa-basi itu berubah, jadi menghangat,” Tidakkah kau berada di London ? Tak terlibat..?”Pada perjumpaan itu, dia memberikan kartu nama pada perempuan itu, dan bercerita lagi padanya.
Namanya Derek Felterman. Itu nama yang sebenarnya. Dia menghabiskan waktunya lima tahun di London. Bekerja di sebuah biro iklan lalu mempelajari ilmu komputer di sebuah perusahaan yang bonafid. Selama di London itulah dia direkrut oleh ‘orang Kedutaan’, bukan seorang diplomat, namun seorang petugas seksi keamanan internal dari negara asalnya. Tak seorangpun tahu, bagaimana polisi rahasia mengenali para calon yang diinginkan. Hal ini semisterius gairah kawin para ayam. Namun bila dicari ciri-ciri yang sesungguhnya, perekrutan agen ini nampak gamblang, tak soal seberapa dalam seseorang bisa menyembunyikan hal ini dari dirinya sendiri.
Dia tidak bekerja untuk menyelundup dalam lingkaran para pengungsi yang bersekongkol meninggalkan kampung halamannya. Hal itu sudah diputuskan bahwa dia akan pulang dengan ‘bersih’, dan bekerja pada partai politik bayangan di sebuah kampus universitas di sebuah kota pantai. Dia lantas dikirim ke utara, ke pusat industri dan logam negara, dan mengkisahkan dirinya mendapat pekerjaan komersial biasa yang tak berhubungan dengan kampus, dan sebagai pendatang baru, dia mencari kontak di mana saja : informasi tentang para majikan yang dibiarkan tergelincir, kelompok budaya sayap kiri, gelombang poster kelompok protes, galeri publik pada peristiwa pengadilan politik.
Para majikan mempercayainya untuk mengetahui bagaimana cata menjilat dirinya sendiri; yang menjadi suatu kualitas yang diinginkannya, seperti halnya wanita yang mendambakan pria dengan karakter yang bahkan di luar kemampuannya – nampak dari sebuah sudut bibirnya yang mencibir bila dia tersenyum.
Pada gilirannya, dia cepat mengenali perempuan itu – pertama sebagai suatu tipe, kemudian, di hari ketiga, saat dia mencari pembuktian tentang perempuan itu di arsip kepolisian, saat si perempuan diam-diam pergi mengunjungi teman-temannya yang berada di penjara. Yang menjalani hukuman selama tiga bulan karena menolak memberikan kesaksian dalam sebuah kasus. Aly, begitu dia menyebut dirinya sendiri. Alison Jane Ross. Ada hubungan tak langsung antara kepentingan Allison Jane Ross di pengadilan sekarang ini, dengan orang-orang yang sedang diadili, dan sudut pandangnya ini tak meniadakan kemungkinan keterlibatannya dengan pemimpin organisisasi atau kelompok aksi subversif yang ingin mencari nama.
Felterman nampak senang bersahabat dengannya. Sambil membawa kotak berat berisi buku-buku dan sebuah alat pemanggang, dia bertanya andai Aly ingin nonton drama dengannya di malam Minggu. Sayangnya dia sedang pindah rumah pada hari Sabtu, tapi siapa tahu Felterman bersedia datang dan membantu ?
Lelaki itu ada di sana tepat waktu. Keluarga kawan-kawannya diperkenalkan dengan nama kecil, memberikan bantuan ganda dengan sebuah combi tua,- station wagon yang kehilangan daya pegas, mengangkuti makanan drngan energi kasih sayang sebagai bahan bakarnya. Selesailah perpindahan dari sebuah flat ke sebuah rumah mungil dengan sebatang pohon palem tua yang mengisi seperempat bidang taman, daun-daunnya yang kering terasa mengganggu bila angin berhembus, juga suara serangga besar yang menggosok-gosokkan kakinya bersama-sama.
Bersama senandung malam makhluk itulah , mereka bercinta untuk pertama kalinya dalam sebulan ini. Walaupun Robs, Jimbo dan Ricks sama baiknya dengan Jojos, Bets dan Lils dalam hal mencium dan memeluk sahabat mereka , Aly,- namun sebagai kekasih, lelaki ini tak tergantikan. Walau faktanya, perempuan itu agak merasa canggung menjalin keintiman, seperti yang juga diperlihatkan lelaki itu padanya. Namun disana ada sebuah kamar bagi mereka berdua.
Pada awal kedekatan mereka, bahkan sebelum mereka menjadi sepasang kekasih, dia berniat menceritakan pengalamannya selama di penjara. Namun dia mengatakannya dengan kalimat basa-basi yang dangkal – selimut yang berbau antiseptik dan kucing yang selalu mengelilingi ruangan bersama pasangannya. Kini dia tak lagi bertanya tentang wanita lain pada lelaki itu, dan terkadang ada beberapa kehangatan tak terduga, rasa saling mengisi yang terpancar, kenikmatan seksual yang masih terasa, yang diakui lewat anekdot konyol, affair masa lalu, dengan wanita yang menguasai ruang dan waktu mereka.
Saat kesempatan yang baik muncul secara alami, dia pun bercerita tanpa rasa malu, dendam atau kesombongan yang sepertinya dibutuhkan setelah hidup selama tiga tahun bersama seseorang, yang pada akhirnya, kembali ke pelukan isterinya. Belakangan ini ada satu-dua affair singkat – ‘ Terkadang – tidakkah kau temukan – seorang sahabat lama yang mendadak terasa asing..? Dan keesokannya kembali sama seperti sedia kala, sepertinya tak ada yang berubah.”
“ Bukankah sahabat adalah sesuatu yang amat penting bagimu ? Maksudku setiap orang adalah sahabat, tapi kau…Kau benar-benat nelakukan apapun untuk sahabat-sahabatmu.Benar kan ? ”
Hal ini tercermin dari reaksinya yang lebih baik daripada sekedar kata belaka. Pengalaman yang dilewatkannya selama tiga bulan di penjara. Dia mengangkat ujung rambutnya yang keriting di keningnya, dan wajahnya yang berbintik nampak kontras dengan bagian yang merona di bawahnya : “ Mereka memang sahabat bagi diriku.”
“ Ini bukan masalah persahabatan saja – tentunya aku melihat para sahabat sebagai ikatan sejiwa…”
Dia memandangnya bagai seorang anak yang memandang lewat sebuah jendela pada kisah yang lain. Dia membungkuk dan menggenggam tangannya, menciumnya di kelopak mata masing-masing, dengan jenis dekapan yang senelumnya tak pernah saling mereka berikan.
Walau begitu, teman-temannya agak terabaikan juga, suatu hal yang disetujui Felterman. Lelaki itu ingin masuk dalam kelompok itu secara lebih erat, hal yang wajar bagi doa orang yang terlibat kisah cinta yang penuh gairah. Juga bisa dipahami bahwa Felterman tak punya kenalan lebih banyak daripada mereka, dia telah lima tahun meninggalkan rumah, baru dia tahun kembali ke kota pantai itu. Dia menyegarkan lagi kesenangan Aly, yang telah ditinggalkannya di masa lalu, saat dia masih menjadi siswa; bermain ski air dan mendaki. Mereka oergi bersama menonton pertunjukan teater rakyat penduduk pribumi, bagian dari kursus politik yang diberikan padanya tanpa melalui korespondensi, tanpa menyadari apa yang dilakukannya dan tanpa memberinya nama yang berlebihan.
Aly tak mengajaknya ke diskotik, melainkan melibatkan dalam kontak penting yang dilakukannya bersama sekelompok temannya dari ras dan warna kulit yang berbeda., dengan pengandaian bila Felterman berada dalam pesta-pesta perempuan itu, dia menari lebih cepat darinya, dia belajar dari orang-orang Negro bagaimana cara mendayagunakan tubuhnya untuk musik. Dalam transformasi ini, dari tempat dia minum dan mengamati Aly dan teman-temannya, perempuan itu nampak binal dan begitu menggairahkan. Terkadang dia kembali pada Felterman, bersama persembahannya : makanan dan minuman yang dibawanya.
Bulan demi bulan pun terlewatkan. Lelaki itu melihat pola-pola tertentu dalam persahabatan si wanita , hingga melebihi hidupnya bersama wanita itu, yang memasuki wilayah-wilayah terlarang dan di antara orang-orang yang dibatasi hukum pergaulan, seperti wanita yang menyebabkan dia masuk penjara, secara bertahap wanita itu mendapatkan rasa percaya diri untuk mendekatkan lelaki itu pada resiko . Tanpa pernah mendiskusikannya, namun jelas secara sensitif selalu mencoba mengukur seberapa banyak dia benar-benar ingin mengetahui ‘ mengapa dia ingin kembali melakukan ‘hal seperti ini’.
Memang lebih sulit untuk meninggalkannya, apalagi di larut malam, sendiri di bawah udara kering, hasutan beku pohon palem tua , dengan sedir daunnya yang merisaukan hati. namun walau dia tahu telah tercipta tempat baginya untuk berdiam di pondok bersama perempuan itu, dia telah kembali ke flatnya, yang lebih mirip sebuah kantor yang tak dihuni, kecuali kursi dan meja berdebu yang didudukinya untuk menulis laporan, yang hampir tak dapat dituliskan di rumah yang didiaminya bersama wanita itu.
Dia sering bicara dengan wanita itu ketika berada di penjara. Aly selalu mengawali pembicaraan pada semua topik. Namun ketika mereka baru saja menyimpan senjata lain, jauh dari jangkauan dan tak terliput penyelidikan dan terluput dari cermatnya pengawasan, dia menceritakan kisah yang sebenarnya : kenapa dia memanggung resiko, untuk siapa dan apa yang telah disepakatinya. Dengan penuh hasrat, Aly menantikan kata kunci. Dari lelaki itu.
Itu adalah sebuah kata sandi yang tak dimilikinya. Itu adalah sebuah kode yang tak diberitahukan padanya. Dan kemudian ketika malam lain tiba, dia menemukan kode itu . Malam itu juga dia berkata; “ Aku telah memata-mataimu.”
Raut wajah wanita itu terhenyak dalam sebuah momen yang terpusatkan dalam dunia binatang, di mana mahkluk yang terancam berubah menjadi bola paku atau merubah ketakutannya dengan menggelembungkan ototnya dalam sikap bertahan yang menyala-nyala.
Momen ini dengan cepat menghilang dari wajahnya saat dia melangkah. Felterman menghalangi langkahnya saat seorang lelaki bersenjata muncul di belakang punggungnya.
Perempuan itu bergerak cepat melintasi ranjang, tangannya menjangkau kepala lelaki itu, dan menjambaknya.

Terjemahan : Heru Emka. Dari kumpulan cerpen Nadine Gordimer ”CrimesofConscience”. Heinemann - African writer series-, 1991




Catatan Kecil :
Nadine Gordimer dan Kelembutan yang Membadai

Nadine Gordimer, seperti penerima Nobel lainnya; Günter Grass dan Alexander Solzhenitsyn, adalah figur yang menjulang dalam sastra dunia dan sekaligus menjadi lambang keteguhan moral bagi bangsanya. Dia menjadi teladan bagi keteguhan sikap yang gigih bertahan melawan tekanan rasisme di Afrika Selatan. Dia juga menjadi pemuka bagi toleransi, kebebasan berbicara dan pemahaman keberagaman, walaupun menghadapi tekanan politis dan tiga karya sastranya dinyatakan terlarang.
“ Menulis membuatku menyelami hidup, menembus permukaan kehidupan Afrika Selatan,” katanya. Karya sastra Nadine lahir dari pergulatan batinnya melihat penindasan terhadap kaum kulit hitam di negerinya. Namun Nadine sendiri adalah sastrawati yang anti propaganda. " I have never allowed myself to write propaganda, however strongly I have felt for the people on my side," ujarnya dalam antologi The Essential Gesture: Writing, Politics and Places.( New York: Alfred A. Knopf, 1988.)
Dalam karya-karya Nadine, semua yang terungkap jauh dari kesan gemuruh atau kegusatan yang meledak-ledak, sebaliknya rasa cinta pada tanah air dan kemanusiaan diungkapkan dengan halus dan tidak serta-merta. Seperti sastrawan lainnya; Alan Paton dan JM Coetzee, Gordimer mampu menyajikan gambaran dramatis negerinya, kekerasan yang dilakukan oleh rezim yang razis, suasana negara totaliter yang serba mengungkung. Serta suasana yang membuat orang saling mengingkari hati nurani, saling menghianati dan memata-matai.
Tak heran bila dalam novel-novelnya seperti The Conservationist (1974) dan Burger's Daughter (1979) karakter yang ditampilkannya akrab dengan pembuangan dan pengasingan. Dia menggugat dunia mapan kaum kulit putih, dan mengajak mereka untuk mempertanyakan kepantasan moral dari penerapan politik Apartheid yang ada. Nadine Gordimer membidik semua ini dengan gaya bertuturnya yang lembut, dia melenggang dengan narasi yang kaya akan detil, yang membuatnya unggul, baik dalam karya novel atau cerita-cerita pendeknya.
City Lover’s (1975) adalah salah satu noveletnya yang mengisahkan bagaimana percintaan sepasang manusia yang berbeda warna kulitnya direnggutkan oleh peraturan penguasa. Berkisah tentang seorang geolog Austria yang kesepian dan menjalin hubungan dengan perempuan berkulit hitam, pegawai sebuah supermarket, yang lembut dan pemalu. Mereka segera saling mencinta dan menemukan hari baru yang jauh lebih bermakna, dan saling mengisi kekurangan masing-masing, yang sebelumnya tak terasa.
Tak saja dalam hasrat mencinta dan dicinta, namun juga dalam keseharian masing-masing.
Si kekasih perempuan tak saja menampilkan kelembutan cinta saat mereka tidur bersama, namun juga kaya perhatian ; selalu membawakan makanan kesukaan kekasihnya, dan menjahitkan kancing bajunya. Sedangkan si kekasih lelaki menunjukkan perhatian dengan membelikan hadiah, mengajari mengetik dan memperbaiki kemampuan berbahasa Inggris perempuan yang dicintainya. Yang lebih penting lagi, menunjukkan keteguhan sikap untuk mencintai pacar kulit hitamnya, walau apapun yang terjadi. Itulah sebabnya polisi menggerebek mereka di suatu malam, karena undang=undang pemerintah melarang hubungan antar ras.
Karya sastra Gordimer selalu merupakan kesaksian pada keyakinannya akan kekuatan rasa kemanusiaan dan kemampuannya untuk mengatasi apa yang disebutnya sebagai ‘kekerasan penderitaan’ (‘the violence of pain’) walau penderitaan itu secara bertubi-tubi dimunculkan (dilembagakan) oleh negara. Dalam cerita pendeknya yang berjudul Kejahatan Hati Nurani ( Crimes of Conscience), Nadine mengisahkan bagaimana seorang lelaki tega menghianati kekasihnya, bahkan memperalat cinta untuk memata-matai aktivitas politik kekasihnya, lalu menjebak dan menjebloskannya ke penjara. “ Politik apartheid tak saja memisahkan hak hidup sesama manusia, namun juga secara sistematis meracuni mereka dengan gagasan keunggulan ras, memberi peluang bagi penghianatan terhadap cinta dan kemanusiaan itu sendiri,” tutur Nadine dalam The Guardian.

Hutang budi tak terbayar
Lewat karya sastranya, Nadine tak henti menyuarakan, bahwa pemerintah Apartheid Afrika Selatan harus menyadari kesalahannya, memandang tendah kaum kulit hitam. “ Mereka harusnya berterima kasih karena menumpang di tanah air saudaranya yang berkulit hitam. Secara sosial, budaya dan geografis, kita jelas berhutang budi yang tak terbayar pada mereka,” ujar Nadine lagi. Hal ini digambarkan dengan bagus dalam novelnya; July’s People, yang berkisah tentang bagaimana seorang pelayan hitam menyelamatkan keluarga majikan kulit putihnya, membantu mereka melarikan diri dari bara api perang saudara yang melanda kota Johannesburg. July, si pembantu kulit hitam ini bahkan bersusah payah dan menempuh banyak resiko untuk melindungi keluarga majikannya, dengan membawa mereka mengungsi ke kampung halamannya.
Memang, karakter dalam novelnya seing hidup dalam baying-bayang kekerasan, dalam ancaman brutalitas yang sebelumnya tak terbayangkan. Pemisahan ras dan perbedaan kelas, konvensi kehidupan dan aturan-aturan yang membelenggu kebebasan dan hak asasi manusia yang sepertinya tak terlawan, namun di ufuk sana masah saja berpendar cahaya harapan, yang dengan misterius memberi kekuatan dari dalam untuk bertahan. Menggenggam kehidupan lebih baik di masa depan. Melalui kelembutan bahasa dan karakterisasi yang tak kenal takut, Gordimer menjadi tandingan bagi propaganda rezim Apartheid, semua yang terjadi dijantung kegelapan ini diungkapkan secara diagnostik dan tidak sentimental.
Nadine juga tak henti menekankan, bahwa siapa pun, secara individu, bila punya keberanian dan cukup niat, akan menang melawan penindasan. Karena itu janganlah sampai kehilangan harapan. Keteguhan yang tak pernah hilang dari karya Nadine Gordimer ini, setidaknya mengingatkan saya pada keteguhan melawan tirani yang absurd dalam novel Kafka; The Castle. Nadine yang dilahirkan pada 1823 ini telah lama menjadi – apa yang digambarkan oleh Seamus Heaney sebagai ‘ pejuang gerilya imajinasi’, hingga dia menjadi sastrawati Afrika Selatan yang pertama yang meraih Nobel Sastra di tahun 1991.
Nadine percaya bahwa fiksi, yang berbeda dengan fakta berita sehari-hari, bisa meningkatkan keperdulian sosial masyarakat secara permanen. Lebih dari setengah abad dia dengan tekun menghasilkan karya sastranya; tiga belas novel, lebih dari dua ratus cerpen dan beberapa buku esai. Tiga novelnya pernah diberangus oleh rezim Apartheid, sebaliknya lebih dari dua ratus esai tentang karyanya telah ditulis oleh para kritisi sastra di seluruh dunia, dan telah ditulis sepuluh buku yang membahas karya sastranya. Termasuk yang paling komprehensif seperti yang ditulis oleh Stephen Clingman; The Novels of Nadine Gordimer: History from the Inside (London: Bloomsbury, 1993). Di samping itu, karya Gordimer juga diterjemahkan dalam lebih dari tiga puluh bahasa. Nadine sendiri telah menerima lima belas gelar doktor honoris causa serta beberapa anugerah sastra di samping Nobel itu sendiri.. Dia secara pribadi juga tak pernah henti memberikan dukungan pada para penulis untuk menggunakan hati nuraninya untuk melawan ketidak adilan yang ada di mana saja. ( Emka )



Budaya Pop : Jagoan bagi si kulit hitam


Sebagian penghuni perkotaan di Indonesia pasti mengenal nama beken seperti Batman, Superman, atau Spiderman. Mereka tadi adalah para manusia digdaya (superhero) yang mencuat dari komik Amerika, yang telah lama menjadi ikon budaya pop, yang pencitraannya mencapai puncak melalui film Hollywood. Menurut ensiklopedi Wikipedia, defenisi superhero adalah : ‘ a fictional character who is noted for feats of courage and nobility, who usually has a colorful name and costume and who possesses abilities beyond those of normal human beings,’ . Maka penampilan Superman, si manusia baja, atau Batman,si pangeran Kegelapan, dengan segala kehebatannya menambah kemualiaan mereka sebagai pembasmi kejahatan, semakin mengesankan sebagai idola fantasi. Kostum atau nama mereka yang beraneka macam selalu memberi sesutu yang baru.
Uniknya, para superhero yang mewarnai budaya pop Amerika sejak tahun 1958 ini semuanya digambarkan sebagai orang kulit putih. Lihatlah para tokoh utama dalam DC Comic; Superman, Flash, Batman dan Robin, Green Lantern atau Wonder Woman,- semuanya ras kulit putih. Begitu juga tokoh utama komik Marvel; Captain America, Spiderman, Hulk, Wolverine dan Cyclop. Mereka bahkan bersatu dalam kelompok Liga Keadilan untuk ‘menyelamatkan dunia’.
Bila budaya pop menikmati kemunculan mereka sebagai kisah fantasi yang menyenangkan, kalangan masyarakat kulit hitam di AS banyak yang merasa sebal. “ Hasrat mereka untuk menjadi penguasa dunia bahkan sudah melebar ke dunia fantasi. Karena dalam dunia nyata, yang menjadi lambang supremasi dalam soal kekuatan atau menguasai kecepatan adalah kaum kulit hitam Amerika. Sepanjang sejarah dunia olah raga, tinju, atletik, basket, foot ball,- orang kulit putih tak ada apa-apanya dibanding kami,” tutur Ice Cube, penyanyi rap yang mulai beken sebagai aktor film laga.

Black Panther
Dia benar. Baru di tahun ’60-an, superhero dari ras lain muncul dalam komik Marvel, dengan tampilnya Black Panther (1966) sebagai superhero kulit hitam yang pertama, disusul oleh tampilnya Luke Cage, jagoan Afro-Amerika yang melindungi warga kulit hitam Brooklyn dari gangguan penjahat kulit putih. Blantika komik AS agaknya menyadarai kekeliruan mereka. Marvel, misalnya, di tahun 1975 segera mendisain ulang karakter para jagoannya dalam X Men dengan menampilkan tokoh baru; Storm, yang berasal dari Afrika, sebagai superhero wanita kulit hitam yang pertama.
Namun hal ini belum memuaskan seniman komik Afro-Amerika yang berkulit hitam. Denys Cowan misalnya. “ Dalam dunia komik pun kami ditempatkan dalam urutan kedua. Storm, walau digambarkan bisa menguasai cuaca, memanggil petir dan badai, namun hanya pelengkap regu saja. Lihatlah, dalam dua film X Men, dia tak kebagian peran yang menonjol. Itulah sebabnya kami menciptakan jagoan kami sendiri,” tutur Denys, yang bersama penulis Dwayne McDuffie dan enterprener Derek Dingle mendirikan Milestone Media (1993), yang meraih sukses sebagai penerbit komik yang menampilkan superhero berkulit hitam.
Herbert Gans, dalam Mass culture: the popular arts in America, menyebutkan bila sukses ini berkaitan dengan ‘hubungan saling membutuhkan antara kreator dan penggemarnya’ “ Masyarakat Asfro-Amerika membutuhkan jagoan yang menonjolkan citra mereka sebagai pria dengan karakter hypermasculine, sosok tegar yang dengan enak melabrak lawan tanpa jarak, seperti sosok jagoan layar perak yang diperagakan oleh Denzel Washington, Wesley Snipes, Mario van Peebles, Eddie Murphy, atau Chris Rock.
Dari kubu komik Marvel sendiri, sejak Februari 2005 kemarin, sepakat untuk menonjolkan ikon jagoan hitamnya yang paling terkemuka ; Black Panther, untuk diangkat ke layar perak. Dia adalah jagoan kulit hitam yang pertama dan terhebat dalam sejarah komik Amerika. Dia kuat, cerdas, kaya raya dan memerintah kerajaannya sendiri dengan bijaksana. Kehebatannya tak kalah dengan jagoan kulit putih lainnya. Bahkan dalam beberapa kisah, dia sempat mengalahkan Kapten Amerika,” ujar Axel Alonzo, seorang editor senior Marvel.
Karena itu, Marvel secara khusus akan meluncurkan lagi kisah Black Panther dalam versi baru, yang digarap oleh komikus kondang John Romita Jr. Episode yang berjudul Who is the Black Panther ini akan menjelaskan asal usul Black Panther sebagai raja sebuah kerajaan bernama Wakanda. “ Wakanda adalah sebuah surga di Afrika yang masih bebas dari pengaruh Eropa. Mereka punya kebudayaan dan teknologi yang cukup tinggi,” tutur sutradara Reggie Hudlin, yang terpilih untuk menyutradarai film Black Panther. Di film ini, para penjahat ulung seperti Klaw, Rhino, Black Knight dan Batrock berencana menyerbu Wakanda untuk menaklukkan Black Panther dan menguasai negeri yang kaya dengan logam berharga, sehebat uranium. “ Tentu saja Black Panther mampu menaklikkan semua tantangan, walau dia berhadapan dengan senjata canggih para penjahat serta kekuatan super para serdadu bayaran seperti Black Knight atau Batroc,” tutur Reggie Hudlin.
Sebagai karakter fiksi dalam komik Marvel, Black Panther diciptakan oleh Stan Lee dan Jack Kirby,. Jagoan berkostum macan kumbang ini pertama kali muncul dalam edisi Fantastic Four # 52 (Juli 1966). Naluri bisnis Stan Lee memang jempolan, karena memunculkan karakter Black Panther bersamaan dengan maraknya gerakan politik kaum kulit hitam AS, serta naik daunnya Partai Black Panther. Tak heran bila kemunculan tokoh Black Panther disambut hangat masyarakat Afro-Amerika AS. Hasilnya, komik Marvel menemukan segmen pembaca yang lebih luas.



Supremasi Afrika
Jeffrey A. Brown, dalam Black superheroes, Milestone comics, and their fans. (University Press of Mississippi, 2001), menyebutkan bila para eksekutif di komik Marvel punya kemampuan jitu untuk meramu antara perhitungan bisnis, prediksi politis dan dan naluri promotor tinju. “ Mereka selalu mencoba mengadu para tokoh fiksi mereka, yang diciptakan dengan mewakili suatu tipikal masyarakat tertentu. Dan orang merasakan sensasi semu ketika penduduk Roma luruh dalam pertarungan para gladiatornya.. Para jagoan berkulit hitam ini amat antusian untuk tampil agar bisa mengembalikan supremasi Afrika, yang karena ‘kecelakaan sejarah’ terjebak dalam penjajahan kaum kulit putih.”
Karena Black Panther punya banyak penggemar, maka jagoan ini dibuatkan serial khusus dalam Jungle Action, yang ilustrasinya digarap sendiri oleh komikus legendaris, Jack Kirby, yang secara khusus malah menggarap Black Panther sebagai sebuah biografi fiksional. Tokoh yang berada di balik kostum Black Panther adalah T’Challa, raja kerajaan fiktif yang bernama Wakanda, yang buminya menyimpan logam ajaib yang disebut vibranium ( analogi dari Afrika Selatan yang punya tambang uranium ). Logam dari angkasa luar inilah yang memberi kekuatan super bagi Black Panther disamping khasiat ramuan tradisional Afrika dari sejenis tanaman yang berbentuk seperti jantung hati.
Sebagai seorang pangeran, ternyata T’Challa cukup intelek. Dia sempat berkelana di New York dan bersahabat dengan kuartet jagoan The Fantastic Four, serta kuliah di Universitas Oxford, mendalami ilmu fisika hingga meraih gelar Ph.D. Hal ini membuat Black Panter punya martabat yang sejajar dengan superhero elit seperti The Fantasric Four, yang terdiri dari para ilmuwan terkemuka. Sepintas lalu, hal ini hanya kreasi dari imajinasi liar Stan Lee dan Jack Kirby, yang dikenal sebagai pencipta karakter manusia super seperti Spiderman atau Fantastic Four.
Namun supremasi kaum kulit hitam memang bukan sekedar kata-kata dalam buku cerita. Keunggulan fisik mereka dalam dunia olahraga, atau superioritas mereka dalam budaya – sebenarnya mereka lah yang melahirkan musik blues, rock dan jazz - bisa merubah fakta sejarah, bila selama ini mereka dinomorduakan dalam sejarah Amerika.
( Galih Asmaradana )



Film : Bush Dalam Incaran

Bicara tentang film yang mengisahkan pembunuhan seorang presiden, biasanya kita menemukan dua hal : Peristiwa yang difilmkan itu kisah fiktif ( seperti film The Day of Jackal atau The Assasination of Presiden Nixon ) atau bisa juga merupakan kilas balik dari tafsir ulang sebuah peristiwa yang telah silam. Misalnya film JFK garapan Oliver Stone, yang menafsir ulang pembunuhan misterius Presiden John F. Kennedy.
Namun film Death of a President memberi premis baru, karena film ini bergaya dokumenter (documentary-style ) yang tidak lazim - mengemas alur fiksi yang spekulatif tentang pembunuhan Presiden AS yang ke 43; George W. Bush,yang sedang memerintah AS sekarang ini. Film yang digarap secara ‘dingin’, cerdas dan menggigit, yang membuat penontonnya memahami peristiwa ini sebagai ‘reaksi’ dari rentetan aksi yang sudah dilakukan oleh Presiden Bush terhadap dunia.
Film yang ditulis dan disutradarai oleh Gabriel Range ini tentu menjadi film
sensasional, dianggap sebagai film yang ‘amat politis’ oleh kalangan pemerintahan AS,-
walau sebenarnya menampilkan skenario yang cukup ‘wajar’ , yang menyisakan pertanyaan :
Apa yang terjadi kemudian bila seorang pemimpin dunia yang paling dibenci terbunuh di
dalam lingkaran pengamanan internalnya ? Sepanjang sejarah, sebelumnya sudah ada tiga
presiden AS yang terbunuh dan CIA mewaspadai bila setiap presiden lainnya pun
menghadapi ancaman yang serupa.
Death of a President langsung menohok dengan peristiwa pembunuhan Bush dan upaya pengejaran pembunuhnya, tanpa menyingung bagaimana situasi politik – baik secara global maupun domestik kawasan AS – paska pembunuhan yang digambarkan mendorong Wakil Presiden AS sekarang ini; Dick Cheney, naik ke tampuk singgasana sebagai Presiden AS berikutnya. Peristiwa di film ini digambarkan terjadi pada bulan
Oktober 2007, dan berjalan hingga era setahun kemudian, yang ‘merubah wajah AS secara total’.
‘Saat itu’ Presiden Bush berada di Hotel Sheraton Chicago, untuk memberi sambutan pada suatu konferensi bisnis tingkat tinggi. Saat meninggalkan hotel inilah Bush ditembak dua kali dan bergegas dilarikan ke rumah sakit, di mana dia dinyatakan tewas setelah operasi darurat yang dilakukan petugas medis gagal menghentikan pendarahan hebat yang terjadi. Hukum "Patriot Act III" yang dilaksanakan setelah penembakan Bush, agaknya telah direkayasa secara politis,dalam tempo satu jam, dan Presiden Cheney beserta jajaran stafnya mencari pembenaran bagi beberapa alasan untuk mengkambinghitamkan Suriah, lalu menyerang ke sana..

Fiksi faktual
Gaya film yang oleh para kritisi film disebut sebagai gaya fiksi-faktual ini memang menjadi pilihan yang cukup favorit bagi bagi para sineas alternatif, yang berhasil diujicobakan untuk menembus kebekuan gaya sinema komersial ala Hollywood. Jenis film seperti ini biasanya tampil dalam berbagai pesta film yang menitikberatkan pencapaian yang lebih intens dalam pembuatan film, seperti arena Festival Film Cannes, Festival Film Berlin, Festival Sundance dan sebagainya. Khalayak perfilman AS sendiri seharusnya tidak terkejut dengan model penceritaan seperti Death of a President, karena sebelumnya Michael Moore dalam Fahrenheit 9/11 pernah menyajikan gaya serupa dalam tema yang berbeda, yang memprovokasi opini publik bahwa ‘President Bush mengetahui rencana serangan 11 September’ dan ‘membiarkan’ peristiwa kelam itu terjadi’.
Gaya editing rapi jali yang menyisipkan wajah anggota staff kepresidenan yang fiktif yang dipadu dengan footage dokumentasi aktifitas kepresidenan Bush yang nyata, peristiwa sehari-hari yang terjadi seputar agenda kegiatan Gedung Putih, membuat semua yang digambarkan dalam film ini seperti benar-benar terjadi. Bahkan salah satu upaya cerdik yang dilakukan Range untuk membuat peristiwa penembakan Bush seperti benar terjadi, dia menggunakan footage dari demo di Chicago dalam kunjungan Bush ke kota itu di tahun 2005, yang merupakan demo anti-Bush terbesar yang dilakukan oleh rakyatnya sendiri. Kiat seperti ini ternyata mampu menjadikan Death of a President sebagai sebuah bandingan bagi realitas yang nyata. Dan saat film ini diputar di Festival Film Cannes, dinyatakan sebagai drama yang menghentak (‘electrifying drama’) yang memberi peringatan bahwa akhir kepemimpinan seperti itu memang layak terjadi. Rangkaiana wawancara tentang pro-kontra langkah yang dilakukan Bush di bidang politik dan militer, menunjukkan kekecewaan rakyat AS pada strategi perang Bush dan politik ‘polisi dunia’ yang menjadikan AS, beserta semua rakyat dan kepentingannya berada di pusaran konflik dunia.
Namun memang pantas bila kalangan perfilman Inggris menanggapi reaksi pihak AS yang dirasa terlalu berlebihan untuk sebuah film. “ Saya menerima protes resmi dari tiga anggota Kongres AS, yang menuduh film ini sebagai provokasi politik,yang bisa mendorong persekongkolan dan niat jahat terhadap Presiden Bush. Namun tak ada alasan untuk menggunakan pikiran besi pada sebuah karya seni, yang memadu realitas yang ada dengan sebuah pengandaian, yang menjadi bentuk lain dari imajinasi, “ ujar Gabriel Range di media terkemuka di Inggris, The Guardian.

Merayakan ‘kematian’ Bush
“ Tak ada alasan untuk merasa terancam dengan film ini. Ini merupakan bentuk lain dari tanggung jawab dan pengamatan pada dunia yang kita tinggali bersama. Bisa jadi film tak memberi gagasan apapun bagi seseorang untuk menyumbangkan konsep harmoni masyarakat dunia yang dipandang ideal. Tapi bagi presiden yang baik seperti Abraham Lincoln saja terbunuh oleh seseorang dengan motif yang tidak jelas, yang bisa menimpa Bush terntu bisa saja berdasarkan setumpuk alasan, yang memang tersedia bagi Bush. Orang Irak misalnya, akan merayakan kematiannya dengan penuh suka cita,” ujarnya lagi. Di Cannes, hadirin merayakan Death of a President sebagai sebuah film dengan pendekatan yang unik, sama dengan film lainnya yang diputar di sana, seperti The Host, Pan's Labyrinth atau Rescue Dawn. Tak ada komentar yang menuding film ini sebagai propaganda politis.
Tudingan dari kubu Bush yang terlontar pada kalangan sineas Inggris, yang mempertanyakan sikap mereka sebagai ‘sekutu atau musuh dalam selimut’ dalam upaya mrlawan terorisme, ditanggapi dengan enteng. “ Film adalah bentuk kreatifitas yang takbisa dipagari oleh pendapat sempit sebuah pemerintahan. Imajinasi tak bisa dipasung dengan alasan keamanan, karena sebagai pejabat di sebuah negara yang menyebut dirinya sebagai tanah air demokrasi, bagaimana mungkin mereka punya visi yang begitu picik soal karya film. Death of a President adalah sebuah pengandaian, yang hanya bermain-main dengan fakta yang ada, “ ujar David Thomson dalam The Guardian. Dan lagi, pembuatan film fiksi-faktual seperti ini sudah menjadi ‘tradisi’ tersendiri bagi sinema Inggris. Sejak tahun ’60-an, misalnya, gaya seperti ini sudah dimunculkan oleh Peter Watkins lewat filmnya seperti The War Game dan Punishment Park, yang mengolah isu-isu sosial-politik pada masa itu.
Bahkan sebelum menggarap Death of a President , George Range sudah menyutradarai film serupa yang berjudul The Day Britain Stopped (2003) yang berkisah tentang apa yang terjadi bila tranportasi publik tak berfungsi akibat serangan teroris . Film ini sendiri mengacu pada fakta serangan bom yang menghajar jaringan kereta api dan bis kota Inggris. Sebelumnya (2002) juga membuat sebuah film doku-drama yang berjudul The Menendez Murders. Peran editor Brad Thumim, yang begitu piawai memadu gambar dari berbagai peristiwa yang sengaja dibuat sebagai fiksi dengan rangkaian adegan film dokumenter yang sesungguhnya.
Menyindir langkah AS yang menggunakan tragedi 11 September untuk menyerang Irak, Death of a President menyebutkan bila pembunuhan Bush dijadikan agenda politik tersendiri bagi kalangan tertentu di AS. Para politisi, wartawan, pejabat FBI diwawancarai dan opini mereka dipakai sebagai bagian dari kesimpulan yang menyalahkan Suriah. Lalu seorang ‘tersangka’, prajurit Suriah bernama Zikri (Hend Ayoub) ditembak mati. Saksi kunci yang mengarah pada benar tidaknya keterlibatan Suriah dalam peristiwa ini sudah dibungkam. Jurus lama bagi negara adidaya untuk membenarkan teori persekongkolan mereka . ( Emka )

Dongeng Fantastik Pan's Labyrinth
Di saat genre film horror dan fantasi dibuat dengan jalinan gaya budaya pop dan komedi pasaran, maka upaya untuk menghadirkan film dengan konsep penuturan dongengan justru tampil menyegarkan. Sutradara Guillermo Del Toro yang sebelumnya pernah mengguncang Hollywood dengan film mencekam seperti Mimic, Blade II dan Hellboy, dan memberi sentuhan humanis pada film horror seperti Cronos dan The Devil’s Backbone. Lebih dari sepuluh tahun terakhir, ternyata dia telah mengembangkan kemampuan filmografinya hingga ke tingkat master, dengan karya yang secara visual merangsang perasaan dan disisipi kecerdasan.
Seperti sutradara thriller terkemuka, Alfred Hitchcock, Del Toro dengan nyaman bermain dengan pemirsanya, sementara tanda-tanda visual, yang bisa dinikmati secara emisonal beremunculan dalam kisah sebagai metafora. Dalam filmnya yang terbaru, Pan’s Labyrinth,- yang berlatarkan suasana di Spanyol pada akhir perang saudara dia menghadirkan konsep dongeng dengan misteri yang mencekam. Diawali dengan buku dongeng terbuka, dengan suara narrator yang menuturkan kisah seorang puteri mitologi yang meninggalkan kerajaannya di Dunia Bawah untuk mengembara ke dunia manusia.
Adegan kemudian beralih ke pedesaan Spanyol, di mana sebuah kendaraan membawa si dara Ofelia (Ivana Baquero) dan bundanya Carmen (Ariadne Gil) menuju akhir perjalanan mereka.. Waktu itu, tahun 1944, dan kemenangan pasukan fasis Franco menimbulkan luka parah. Ofelia dan bundanya tiba di sebuah desa di kaki gunung Navarra untuk menemui ayah tirinya, Kapten Vidal (Sergi Lopez). Walau Vidal dengan hangat menyambut isteri dan anak tirinya, dia tak bisa menggantikan posisi ayah Ophelia, seorang penjahit desa yang sederhana dan selalu memukai gadis cilik itu dengan dongengannya.
Walau Kapten Vidal menyayangi Carmen yang sedang mengandung bayinya,dia terbawa ambisinya sebagai tentara yang berusaha menumpas habis para pemberontak yang bertahan di pegunungan. Untuk itu dia bahkan merubah rumahnya menjadi pangkalan militer yang merancang berbagai operasi pembersihan yang kejam. Ofelia yang bosan dengan suasana kekerasan ini, berteman dengan Mercedes (Maribel Verdu), kepala pelayan, yang lantas menunjukkan padanya sebuah taman kuno dengan labirin rumit di dalamnya.

Monster dunia nyata
Saat menjelajah labirin itulah Ofelia bertemu dengan mahluk aneh aneh dari Dunia Bawah (Doug Jones) yang menganggap Ofelia sebagai penjelmaan Puteri Moanna. Mahluk ganjil ini lalu mengatakan ada tiga tugas sulit yang harus dirampungkannya sebelum bulan purtama tiba, ketika pintu gaib menuju Dunia Bawah terbuka, dan dia bisa kembali ke kerajaannya untuk mendampingi ayahnya, Sang Raja Dunia Bawah, yang selama ini menantikannya.
Tentu saja Ofelia tertarik untuk menjadi seorang puteri di negeri dongeng.Apalagi dia kecewa dengan keluarga dan dunianya yang dianggapnya penuh kekejaman..Dengan kepolosan gadis muda, dia menceburkan diri dalam petualangan yang mendebarkan; mengambil kunci gaib yang ‘tersimpan’ dalam perut katak raksasa, memasuki wilayah Manusia Pucat (dimainkan oleh Doug Jones juga), seorang mahluk seram dengan mata yang ada di telapak tangannya, yang mengancam akan mengganyang siapa saja yang mencicipi makanan yang terletak di ruang pestanya, yang begitu menggoda, karena berlimpah ruah dan semuanya nampak begitu enak.
Sementara Ofelia bertualang di dunia fantasi, kondisi dunia nyata semakin genting. Bukan saja karena kondisi kesehatan ibunya, namun ibunya juga memergoki Mercedes dan dokter setempat (Alex Angulo) diam-diam membantu para pemberontak.
Apalagi Kapten Vidal yang bersumpah akan membasmi pemberontak, mulai melacak jejak mereka. Dan tibalah saat bulan purnama, ketika mahluk gaib bermunculan dari Dunia Bawah, sementara di dunia nyata, manusia, monster di dunia nyata, yang tak kalah kejamnya pun siap menumpahkan darah sesamanya.

Keberanian gadis cilik
Dalam film ini, Del Toro memperagakan kepiawaiannya merangkai ketegangan dalam bentuk-bentuk visual yang memikat. Sejak ikut meramaikan Festival Film Cannes beberapa saat yang lalu, para kritikus film seakan sepakat bahwa dilm ini merupakan pencapaian baru bagi pembuatan film – yang menjadi bentuk yang lintas genre. Produsernya; Alfonso Cuaron mengatakan bila mereka tak punya dana untuk membuat film seperti Harry Potter, mereka hanya punya imajinasi tak terbatas, dan bersyukur bahwa Del Toro mampu menjelmakan imajinasinya.
Sutradara asal Meksiko ini tak saja piawai menuliskan kisah Pan’s Labyrinth, yang menjadi kisah dongeng unik, yang memadu gaya bertutur liris dari gaya dongeng Lewis Carroll dengan plot tegang penulis kisah misteri H.P Lovecraft, dengan sentuhan kisah thriller ala Clive Barker. Namun yang pantas ditenungkan dari film ini adalah berbagai binatang dan mahluk seram dari iamjinasi yang bersifat phantasmagorical ternyata tak ada apa-apanya dibanding kekejaman perang yang menjadi realitas nyata hari demi hari.
Konflik dramatis antara kebaikan dan keburukan tak lantas menjadi klise. Akting Sergi Lopez sebagai Kapten Vidal mampu memperagakan kepribadian psikosis dengan kebrutalan terpendam, yang menjadikannya monster yang sesungguhnya di film ini.Menurut saya, kualitas aktingnya malah sepadan dengan yang diperagakan oleh Ralph Fiennes sebagai Nazi jahat dalam film Schindler's List. Pendukung lainnya, Maribel Verdu ( pernah tampil menawan dalam road movie jempolan, Y Tu Mama Tambien ), sebagai Mercedes juga menampilkan permainan dramatis. Dia terbelah oleh dilemma, haruskah membela saudaranya sebagai pemberontak, atau melindungi Ofelia dan penghuni rumah lainnya dari kekejaman tentara ? Namun yang paling pantas mendapat acungan jempol adalah Ivana Baquero, yang bermain sebagai Ofelia. Kepolosannya menghadapi dunia muram dengan sudut pandang anak-anak, serta keberaniannya menghadapi kenyataan membuat gadis cilik ini lebih ‘berani’ dari kapten Vidal. Del Toro menuliskan karakter Ofelia sebagai gadis cilik yang rapuh, namun secara fisik dan emosional berkembang pesat menjadi anak-anak yang ternyata lebih cerdas daripada orang dewasa.
Dengan bantuan juru kamera Guillermo Navarro dan perancang produksi Eugenio Caballero ( yang memungkinkan terciptanya gambar indah dan set mengesankan) Guillermo del Toro tak saja menunjukkan kepiawaiannya membuat film, namun juga kemampuan memvisualkan imajinasi terpendam tentang kjisah dongeng yang ideal. Bila dicermati benar, terasa pengaruh satrawan besar seperti Jorge Luis Borges dan Arthur Machen, yang maha piawai menuliskan narasi tak panjang tak ubahnya kalimat indah negeri dongeng. Dan Pan’s Labyrinth memang sebuah penghormatan (homage) pada semua dongeng klasik yang pernah dituliskan, dan menggetarkan anak-anak dengan para penyihir, monster, raksasa dan mahluk ganjil lainnya. (Ario Seto )Jurnal Kumandang Sastra 01
media bagi budaya alternatif dan pemikiran merdeka

































Memberdayakan Semarang


Atie Krisna – Remy Sylado – Salman Rushdie – Nadine Gordimer



Para Bentara nomor ini :


Ant Sogiarto
Chaterina Rinawati
Didiek
Heru Emka
Heru Mugiarso
Victor Roesdiyanto
Galih Asmaradana


















Diterbitkan secara independen oleh Kumandang Sastra. Redaksi menerima sumbangan tulisan, foto, sketsa, atau materi apa saja yang bisa dimuat dan bersifat tidak mengikat. Naskah bisa dialamatkan pada Sanggar Kumandang Sastra : Jalan Widoharjo 19. Semarang, E-mail : kumandangsastra@yahoo.com




Daftar Isi

1. Kata Mereka

2. Solilokui:

3. Wacana : Memberdayakan Semarang

4. Potret : Atie Krisna

5. Wawancara Remy Sylado : “ Kita masih membebek asing “

6. Esai : Post Human dan Tubuh yang Usang
Esai 2 : Dongeng Perlawanan Salman Rushdie

7. Puisi :

8. Perempuan : Kecantikan. Mantera yang abadi

9. Cerpen : Kejahatan Hati Nurani – Nadine Gordimer
Catatan Kecil : Nadine Gordimer dan Kelembutan yang Membadai

10. Budaya Pop : Jagoan bagi si Kulit Hitam
Komik Indie : Old Skull - Atonk

11. Film :
Bush dalam incaran.
Dongeng Fantastik Pan's Labyrinth

12. Resensi :

13. Biodata :









Potret : Atie Krisna :
Menyatukan kebahagiaan dengan lukisan


“ You have the power to choose life, so make the best of it.” - Gandhi

Seperti saat memasuki jenjang rumah tangga, sering muncul semcam pertanyaan, apakah kita bakal menemukan kebahagiaan di dalamnya ? Apakah yang selama ini menjadi angan-angan, apakah menjadi kenyataan ? Kemudian, setelah berhasil melewatkan beberapa puluh tahun hidup berumah tangga, dan kita beranjak memasuki usia senja, seringkali muncul pertanyaan : “ Apakah kita sudah menemukan yang terbaik dan membahagiakan dalam hidup ini ? “
Memasuki hari tua memang ibarat memasuki suatu babak berikutnya dalam kehidupan kita. Tak heran ada yang menyikapinya dengan harapan dan rasa syukur, di samping ada yang mentikapinya dengan perasaan cemas dan pesimis. Namun buat apa kita mencemaskan yang sudah berjalan sedemikian lama ? Apalagi dalam kata bijaknya yang tertera di atas, Gandhi mengatakan dalam hidup ini kita punya kekuatan untuk memilih. Jadi kenapa tidak memilih yang terbaik dari diri kita ?
Atie Krisna, ibu dari sepasang anak yang sudah beranjak dewasa, berhasil membuktikan bahwa di usia senja pun kita masih bisa menggali potensi yang terbaik dari diri kita sendiri. Pada saat Atie menemukan uban tumbuh di antara helai rambutnya, dia justru diwisuda sebagai seorang Arsitek. Pada saat perempuan berbintang Aries ini akan segera menjadi seorang nenek ( puteri sulungnya, penyanyi jazz Peppy Kamadhatu, baru saja menikah bulan lalu ) dia semakin memantapkan diri sebagai seorang pelukis. Uniknya, Atie Krisna mencapai keberhasilan ini justru dengan jalan yang menyimpang jauh dari jalur sukses yang ditempuh para perempuan pada umumnya : menjadi wanita karir dan menjauh dari segala kegiatan rumah tangga sehari-hari.
Atie justru meraih keberhasilan ini dari semangatnya untuk tidak meninggalkan dunia sebagai perempuan domestik, tetap menjadi ibu rumah tangga. “ Kalau kita mau berarti, kita bisa melakukannya di mana saja. Tergantung bagaimana cara kita menggali potensi yang ada dalam diri kita. Karena itu kalau ketemu sama yang muda-muda, saya
Selalu berkata menyemangati mereka, “ Ayo, jangan sampai kalah sama orang tua seperti saya.”
Ucapan yang penuh daya dorong ini hanyalah agar mereka yang lebih muda usianya pun ikut bergerak mengoleh potensi yang ada dalam dirinya ini, sebenarnya pantas juga disikapi sebagai sebagai motivasi, yang melecut seseorang untuk mengalahkan tantangan dalam hidupnya. Dalam blantika seni rupa di Semarang misalnya, lukisan Atie Krisna dianggap sebagai bentuk eksistensi kreatifitas dengan pencapaian teknis yang cukup menggembirakan. Ungkapan visual-artistiknya seringkali memberi penafsiran baru pada dunia domestik perempuan, seperti yang juga ditemukan pada karya pelukis Bunga Jeruk, namun dalam tema dan nafas yang berbeda.

Kompromi dengan realitas
Mungkin banyak yang setuju dengan pendapat ini : Semua orang punya sisi terbaik, dengan bentuk dan penjabaran yang paling sederhana, yaitu hal-hal apapun yang menurut pribadi masing-masing bisa dilakukan dengan baik. Baik itu berupa kemampuan, keahlian, sisi entelektual, sikap atau kepribadian yang positif. Sayangnya memang ada juga yang kurang menyadari sisi terbaik yang ada dalam dirinya. Pencapaian yang telah diraih oleh Atie Krisna mungkin hanya salah satu contoh dari sekian banyak langkah yang bisa ditempuh, karena Audrey C. Daniels dalam bukunya yang berjudul ; Bringing Out Ther Best in People : How to Apply the Astonishing Power for Positive Reinforcement, menjelaskan bahwa sisi terbaik seseorang juga bisa dimunculkan justru dari hal yang sebelumnya bermakna negatif. Misalnya orang yang tadinya penakut, bisa belajar menekan rasa takutnya dan menjadikan rasa takut itu sebagai tantangan yang harus ditaklukkan.
Sebenarnya kalau kita bisa mencapai keseimbangan antara realitas dan keinginan, tidaklah sukar untuk menemukan sisi yang baik dalam hidup kita. “ Saya bisa merasakan kebahagian bukan saja karena saya merasa dalam hidup ini ada tujuan yang harus dicapai, dalam rumah tangga misalnya ketenteraman, semuanya saling sayang satu sama lain. Namun juga perasaan bahwa kita berhasil melakukan apa yang kita inginkan, “ ujar Atie yang lukisannya mendapat apresiasi yang baik dari beberapa kritikus senirupa ibukota.
“ Mungkin kuncinya sederhana saja, kita kadang harus melakukan kompromi dengan realitas yang terjadi dalam hidup kita. Sebelum melukis saya juga sudah ‘taren’ (konfirmasi) sama keluarga. Karena semua dari kami ini kan melakukan segalanya atas dasar kompromi bersama. Seperti waktu saya mau kuliah lagi, saya tanya suami dan anak-anak, mama boleh kuliah lagi nggak ? Mama boleh melukis ? Ternyata mereka malah senang , karena dengan melukis, saya kesibukan yang bermanfaat.”
Kompromi itu juga yang membuat semua aktifitas Atie mengalir begitu saja di antara kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Bentuk pemberdayaan dirinya sebagai ibu dengan begitu tetap terasah, karena intelektualitasnya pun otomatis terangsang oleh berbagai wacana baru yang tercipta saat dia menuangkan warna-warna ke dalam kanvasnya.
“ Jadi semua asyik-asyik saja saya lakukan sebagai ibu. Jadi urusan memasak dan melukis bisa terasa seimbang. Di situ tempat masak, di sini tempat melukis. Sambil menunggu masakan matang, saya melukis. Sederhana saja kan ?,” ujarnya.

Dunia dari sudut pandang perempuan
Saat ditanyakan, kenapa dia memilih tema suasana rumah tangga sehari-hari,yang nampak wajar sekaligus lugu, dengan penonjolan bentuk visual benda rumah tangga seperti teko, sepatu dan sebagainya, Atie Krisna menjawab, “ Karena usia saya sudah kepala lima, kan tak mungkin bila saya harus pergi ke mana-mana untuk melukis. Kalau mereka yang masih muda mungkin malah lari dari rutinitas sehari-hari untuk mencari view atau objek lukisan yang bagus. Karena saya lebih senang di rumah, ya saya lukis apa saja yang ada di rumah, dan bagi saya ini merupakan sebuah dunia tersendiri, dengan penafsiran dan sudut pandang saya sebagai seorang perempuan.”
Dan ternyata, walau mengaku hanmya melukis apa yang ada di rumah tangga, lukisan Atie Krisna juga menunjukkan dimensi tafsir sosial yang lembut. Saat pembicaraan ini berlangsung di rumahnya, di dekat kami terletak sebuah lukisan seukuran 1 kali 1,5 meter, yang menampilkan sebuah poci bagus berwarna merah menyala, sementara di dekatnya tergolek tubuh anak jalanan dengan ekspresi yang membatu. Saya menanyakan judul lukisan itu, dan Atiek menjawab bila judulnya ‘Es Teh Gratis’.
Judul lukisan yang terkesan naïf ini ternyata punya wacana yang mencerminkan sikap khas perempuan di tengah isu sosial yang terasa keras, yakni kanvas dengan naluri keibuan, keinginan untuk mengasihi, yang hadir dengan halus, tanpa menjadi sebuah tonjokan kritik sosial.
“ Sebelumnya saya sering berangan-angan, bagaimana bila ada yang memberi perhatian – walau nampaknya sepele – pada mereka yang naibnya kurang beruntung seperti pemulung, gelandangan atau anak jalanan. Walau hanya teh manis gratis yang disediakan sebelum jam makan siang. “
Atie yang nama aslinya Krisnawati dan lahir dalam naungan bintang Aries ini, walau merasa dirinya agak temperamental, juga sekaligus merasa bersikap konsisten terhadap hasrat yang ingin diraihnya. Itulah sebabnya dulu ketika kuliahnya macet di semester kelima – karena ayahnya meninggal dunia -, dia berjanji suatu saat akan melanjutkan lagi.
“ Ketika anak-anak sudah besar, saya kuliah lagi. Saya tak malu jadi mahasiswa tua, dan saya lulus di tahun 1998, dalam usia 47 tahun. Sebelum lulus saya punya kelompok kerja yang berencana membuat perusahaan jasa konsultan. Namun kemudian saya pikir, dengan usia segini saya nggak sanggup bila harus ke sana-sini ikut tender dan sebagainya. Maka saya memilih melukis dan menjadikannya sebagai dunia saya,” ujar isteri seorang pria yang sabar dan penuh rasa humor bernama Sarutomo ini.

Mata hati dan kebahagiaan
Soal kebahagian itu sendiri, Atie merasa bila hal itu sebenarnya tak terlalu jauh dari kehidupan kita, asal kita membuka mata hati pasti bisa melihatnya. “ Terus terang saja, bagi saya hal-hal yang sepele saja bisa membuat saya senang. Dulu begitu ada duit sedikit, beli sepeda, rasanya sudah senang. Sejak awal kehidupan saya memang banyak hal-hal sederhana yang membahagiakan. Waktu pertama kali beli kulkas, senang sekali rasanya, sampai sekarang kulkasnya masih berfungsi lho. Padahal sudah tiga puluh tahun berselang,” katanya riang.
Bicara soal kebahagiaan, Atie percaya bila suka dan duka itu ada beserta kita, dan selalu ada dalam perjalan hidup seseorang. “ Masalahnya tinggal bagaimana cara kita menyikapinya. Bila kita memakai kaca mata hitam, ya semua yang kita lihat nampak suram. Logikanya kan begitu. Kalau soal nggak punya uang, dulu itu jadi persoalan sehari-hari. Dulu misalnya, uang yang ada cuma Rp 100,- untung masih ada beras, telur dan beberapa lagi. Waktu anak-anak minta beli bakso, saya bilang,” Sekarang kita bisa beli bakso, tapi besok kita makan nasi goring, besoknya hanya mie, besoknya lagi mie, mie lagi. Mau ?.” Ternyata anak-anak nggak mau. Jadi kita ajarkan juga agar anak-anak melihat realitas dan tidak memaksakan diri.”
Kini Atie merasa gambaran kebahagiaannya sudah lengkap. Dia punya Sarutomo, pria idaman yang menyayanginya sebagai isteri tercinta. Sedang dua anaknya; Peppy (Pissa Sesara) dan adiknya Gedo Grimaldo, sudah menikah, dengan karir masing-masing. Kini Atie mencoba merangkai kebahagiaan dalam lukisan, dengan menampilkan visinya tentang dunia perempuan. Kadang muncul juga sesuatu yang membuatnya merasa susah, namun Atie Krisna dan suaminya; Sarutomo,- seudah sepakat untuk menyikapi hidup ini dengan riang. Ketika puteri sulungnya lahir, mereka memberinya nama Pissa Sesara. “ Tahu nggak artinya ? Pisanan (pertama kali operasi) Caesar. Peppy memang lahir melalui operasi Caesar,” kata Atie, yang diikuti suara tawa suaminya.

Rumah yang teduh
Yang menarik, pertautan Atie Krisna dengan dunia senirupa Semarang , walau dinikmati secara personal, tidaklah dijalani secara individual. Kedewasaan dan nalurinya sebagai seorang perempuan seringkali membuat Atie tidak muncul sebagai figur seorang seniman yang seringkali menampilan pancaran ego dan ambisi yang kuat. Itulah sebabnya di tengah pro-kontra tentang berbagai pendapat dalam dinamika wacana dan isu senirupa di Semarang, Atie sring dipandang berada dalam posisi yang lebih netral. Dan tak jarang dia menjadi pelimpahan uneg-uneg dan cuerahan isi hati para seniman yang lebih muda usianya.
Hasrat untuk memberi ruang bagi ekspresi seniman muda yang banyak bermunculan akhir-akhir ini di Semarang, Atie merubah sebagian ruangan gerai busananya menjadi sebuah galeri alternatif yang diberi nama Galeri Bu Atie. “ Jangan samakan dengan galeri-galeri lain yang sudah mapan dan punya jaringan kolektor yang kaya. Kami hanya menampung mereka yang ingin memamerkan karyanya, atau membuat agenda kesenian dan kebudayaan lainnya. Bila butuh tempat, silakan. Bagaimanapun akan lebih baik bila selalu tersedia ruang bagi semua bentuk dan ekspresi kebudayaan, kan, “ ujarnya.
Belum banyak memang aktifitas yang terjadi di sana. Baru sebuah pameran lukisan ( Lukisan Awal Auly ) dan diskusi senirupa tentang Neo-Realisme. Namun beberapa agenda kesenian berikutnya telah disiapkan, antara lain Pameran Tunggal Agung Yuliansyah dan beberapa lagi, yang menandakan Galeri Bu Atie ini juga menjadi salah satu motor yang menggerakkan rodfa kesenian di Semarang. “ Bila diumpamakan rumah, mungkin ini bukan rumah yang megah, dengan semua perhiasaannya yang mewah. Ini hanya sebuah rumah sederhana, yang semoga menjadi rumah yang teduh, sehingga siapa pun yang menghuninya bisa merasa nyaman, damai dan bisa berkreasi semaksimal mungkin,’ ujarnya merendah hati.
Sikap mengasuh dan merengkuh yang muncul sebagai kebiasaan sehari-hari Bu Atie (begitu kalangan seniman Semarang memanggilnya ) nampak dari kesabaran dan ketulusannya dengan secara sukarela menjadi ‘juru warta informal’. SMS dari Bu Atie selalu hadir menyampaikan tak saja tiap agenda kebudayaan yang terjadi di Semarang,- namun juga informasi lain : mulai dari berita duka yang mengabarkan meninggalnya seorang seniman atau keluarganya, hingga rencana pertemuan dan sebagainya.
(Tim Kusas )



Wawancara :
Remy Sylado :
“ Kita masih membebek asing “


Pernahkah kita memperhatikan, berapa banyak kata, simbol budaya dan istilah asing singgah dalam hari-hari kita ? Di kantor, bos bicara campur aduk dengan menyebut beberapa kata asing. Di radio penyiar berceloteh sambil menyebutkan idiom dan slang bahasa asing. Cobalah nyalakan televisi, kesannya juga setali tiga uang. Tayangan berita yang dimaksudkan sebagai “ Berita Utama Hari Ini” malah diganti dengan kalimat dalam bahasa Inggris; Headline Today, sepertinya kata asing itu jauh lebih baik daripada kata-kata yang tetap dalam bahasa Indonesia. Setiap hari kata Up Next muncul dilayar kaca Metro TV, dan ditayangkan untuk menggantikan makna aslinya dalam bahasa Indonesia, yakni “ Acara berikutnya.
Itu baru soal bahasa. Belum lagi soal gaya hidup dan sebagainya. Termasuk segala sikap budaya dan bentuk expresinya. Jangan heran bila melihat seorang remaja di daerah pinggiran Kendal malah lebih fasih menyanyikan lagu terbaru Metallica. Bagi Remy Sylado, itu semua adalah bentuk dari identitas kita yang ternyata masih ‘indo’. Serba ‘setengah matang’. Dan menurut Remy, ini bukan gejala baru, namun sudah berusia ratusan tahun. Dia benar. Lihat saja selop yang di pakai para priyayi kraton, itulah bentuk adopsi sepatu (yang dari Eropa) terhadap budaya keraton ( yang mengharuskan copot alas kaki di lingkunganya ).
Sebagai seorang seniman Remy Sylado punya banyak sisi yang menarik, dengan berbagai karir yang beragam. Dia piawai sebagai wartawan, cakap sebagai aktor dan teaterawan, sebagai penyair dia sempat mengharu-biru dunia sastra Indonesia ketika mempelopori Puisi Mbeling. Sebagai seorang musisi dan penyanyi, Remy juga punya jejak yang cukup fenomenal. Album-album yang dihasilkan bersama Remy Sylado Company memang tidak laku keras, namun memberikan terobosan musikal yang berani, hingga kini album musik mereka menjadi incaran kolektor karena dianggap menimbulkan kjecenderungan tersendiri dalam blantika musik pop Indonesia. Galih Asmaradana dari Jurnal Budaya Kumandang Sastra , sempat ngobrol agak lama dengan seniman serba bisa ini, di sebuah petang. Berikut ini adalah petikan hasil obrolan dengan Remy, tentang identitas budaya dan pengaruh budaya pop dalam hidup kita.:

Hampir semua yang ada pada masyarakat kita ini diadopsi dari bangsa dan bangsa asing. Bahkan anda beberkan bila sembilan dari sepuluh kata bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Lantas adakah yang bisa kita nyatakan sebagai orisinalitas kita ?

“ Rasanya kita terpaksa berhadapan dengan kenyataan bahwa yang orisinal dari kita adalah ketidak orisinalan itu. Adakah yang bisa benar-benar di pikirkan sebagai keaslian kita ? Nama Indonesia itu sendiri kan bukan penemuan kita. Itulah sebabnya kita harus menjaga keberagaman ini dalam sebuah harmoni. Ini yang terus dipertahankan sampai kapan pun. Kita harus sama-sama melangkah dalam irama yang sepadan. Bila tidak, ada yang merasa tertinggal, dan akibatnya Indonesia sakit-sakitan. Ini kan problem lama, yang tanpa terasa terus berlangsung hingga era yang disebut reformasi ini.

Kenapa masalah disharmonisasi ternyata masih menjadi ganjalan hingga era reformasi ini ?

“ Era reformasi atau apa pun namanya, ternyata kan sekedar ganti nama saja. Situasinya masih sama. Dulu memang ada di masyarakat kita, yang bila anaknya sakit-sakitan, lalu ganti nama, seolah penyebab sakitnya adalah masalah nama. Anak bangsa kita yang beragam juga butuh kebijakan yang tak bisa di pukul rata. Mungkin kita harus menerima ke Indonesia-an kita dari dua sisi. Di satu sisi ada yang menerima hal ini sebagai karunia Ilahi, sedangkan di sisi lain barangkali ada yang mengangghap keberagaman sebagai kutukan dewata. Tapi bila kita tak mampu merangkai , keberagaman ini malah akan berubah menjadi kecemasan tersendiri.”

Situasinya, apakah ke Indonesia-an kita tak mampu lagi mengikat sebagai kesatuan dari dalam dan tak lagi menjadi suatu keniscayaan?

“ Tidak juga. Perjalanan kebangsaan kita kan harus dilihat sebagai wawasan pencarian dan penemuan. Dari suatu bangsa yang di jajah, kita merdeka karena suatu perlawanan. Kita memang harus mengawali perjalanan kebangsaan seperti itu. Terminologi kebangsaan kita memang harus dilihat sebagai terminologi perjuangan. Bukan terminology antropologis atau etimologis, seperti pada masa awal kata Indonesia di temukan.”

Jadi benar juga ya, bila kata Indonesia tadinya memang bukan sebagai kata nama sebuah bangsa…?

“ Kata Indonesia ditemukan oleh J.R. Logan di tahun 1848, dan secara umum di pakai untuk menyebutkan bangsa-bangsa yang berdiam dari wilayah Campa hingga Melayu-Polynesia, sampai Prof Adolf Bastian menggunakan untuk menyebut daerah seputar kawasan Hindia Belanda. Kemudian mahasiswa kita di Belanda mengunakan kata Indonesia sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.”

Saat di sebutkan, bahwa masih saja ada pejabat dan pemuka masyarakat yang merasa keberatan terhadap pengaruh dari luar terhadap kebudayaan bangsa kita, Remy tertawa, lalu berkata “ Itulah kepicikan sebagian dari kita. Biasanya para birokrat mengunakan isu ini untuk membangkitkan patos nasionalisme yang tak jelas, seakan-akan semua yang ada dalam budaya kita asli milik kita. Padahal jelas bangsa kita sendiri bukanlah bangsa asli tempat ini. Nenek moyang kita adalah imigran yang berdatangan dari Hindia Belakang, Campa dan Vietnam segala, yang lantas kawin-mawin dengan berbagai budaya dari India, Cina, Arab, dan sebagainya. Itulah makna Indo, yang berarti campuran. Kita harus menerima ke Indo-an kita dalam Indonesia sebagai kekayaan yang patut disyukuri.

Termasuk yang Anda uraikan bahwa sembilan dari sepuluh kata kita yang ternyata asing itu ,ermasuk kekayaan yang memperunik bahasa kita ?

“ Benar sekali. Tahukah kita bahwa kata Minggu dalam bahasa Indonesia ternyata berasal dari bahasa Perancis ? Bahkan kata Terwelu dalam bahasa Jawa pun asalnya kata Portugis juga. Kata gedang (pisang) dalam bahasa Jawa, asalnya dari kata Belanda. Ceritanya dalam perang Diponegoro, sekelompok tentara VOC terpisah dari induknya, berhari hari mereka tak makan, saat mereka tiba di sebuah kebun pisang, saking senangnya melihat makanan, spontan saja mereka berucap “ God dank “ , yang artinya terima kasih Tuhan’. Orang Jawa menirukan ucapan ini jadi gedang, lantas menjadi nama pisang.”

Ha…ha…ha kadang lucu juga proses mencari-menemukan dalam, perjalanan sejarah kebudayaan kita. Bagaimana dengan bentuk budaya lainya, seperti musik ? Ada beberapa birokrat dan budayawan Semarang yang ngotot bahwa gambang Semarang itu musik etnis kota Semarang, padahal asalnya dari Huang mei tiauw, musik asal Cina. Begitu juga dengan keroncong, yang sempat di sebut sebagai warisan budaya yang ‘ adi luhung ’. Apa penjelasan Bang Remy?

“ Sebenarnya inilah bentuk kawin-mawin budaya tadi. Gambang kromong itu titi larasnya Cina, tapi dimainkan dengan alat musik yang berkembang di sini. Begitu juga dengan keroncong (langgam Jawa) . Alat musiknya barat, tapi roh musiknya gamelan Jawa. Karena itu unik mendengar cello yang di Eropa digesek, di sini justru di betot untuk menirukan suara kendang”.

Kalau begitu runtutlah pendapat yang menyebutkan bahwa kebudayaan nasional kita merupakan puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah ?

“ Itu pernyataan Ki Hajar Dewantara yang diucapkan beliau saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gajah Mada di tahun 1955. Bagi saya, terminologi puncak ini bisa menimbulkan ketimpangan bila daerah lain ternyata belum mencapai puncak. Kebudayaan itu secara alami berlangsung dalam akulturasi. Yang lebih maju terserap oleh yang kurang maju. Kebudayaan Jawa yang lebih lama berkembang, bisa maju dan mencapai puncak. Tapi bagaimana dengan kebudayaan Papua?.”

Masalah kebudayaan telah lama menjadi bagian dari pergumulan pemikiran Remy Sylado, yang dilahirkan sebagai Yapi Panda Abdiel Tambayong, di Makasar pada 12 Juli 1945. Walau secara formal pendidikannya hanya diselesaikan di Sekolah Tinggi Teologi Baptis di Semarang, Remy adalah seorang pembelajar yang tangguh. Selain dikenal sebagai ahli bahasa (yang menguasai dengan baik bahasa Ibrani, Yunani, Prancis, Inggria, Portugis, Belanda, Spanyol, Arab dan bahasa Cina. Bukunya; Sembilan dari Sepuluh Kata adalah Asing, mendapat perhatian luas dari masyarakat, karena membeberkan begitu banyak data dan fakta dari bahasa kita yang mengadopsi kata asing) dia juga dikenal sebagai seorang novelis jempolan. Beberapa novelnya yang mendapat sambutan hangat di masyarakat antara lain Ca Bau Kan, Sam Po Kong, Paris Van Java, dan beberapa judul lagi. Kini dia baru saja merampungkan novel tentang perdagangan perempuan (trafficking)

Saat ditanyakan apakah kegandrungan kita mengambil banyak hal dari Barat juga tercermin dari lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, yang basah kuyup oleh pengaruh Barat ( lagu ini diciptakan oleh komponis Wage Rudolf Supratman, yang sehari-hari bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, lagu ini digubah dengan menggunakan notasi Barat, direkam oleh sebuah orkestra dan diaransemen oleh J. Kleber, juga orang Eropa – yang tinggal di Jakarta – Bayu ). Remy tersenyum sebelum menjawab, “ Hal inilah yang kadang-kadang tak disadari oleh kebanyakan dari kita.” Setelah meneguk es ronde yang tersaji di depannya, Remy melanjutkan:

“ Sejak tahun 1935, sebenarnya kita sudah menggunakan system pendidikan Barat, ketika di Ambon dibuka sekolah yang pertama oleh Gubernur Antonio Cavalle yang berasal dari Portugis. Kalau anak kita begitu masuk SD sudah menyanyikan lagu Dari Barat ke Timur, dia sudah berkenalan dengan lagu Eropa, karena lagu itu judul aslinya adalah La Mersaille, dari Prancis. Coba cermati, sejak dulu hingga demam American Idol sekarang ini, kita masih menjadi tawanan budaya Barat. Jadi begitu kita bicara soal budaya pop, baik itu soal musik, film atau seni lukis, maka itu 100 % Amerika.”

“ Karena itu saya suka geli bila ada bila ada musisi rock yang berkata mau ikembali ke akar. Di mana akar budaya dia, ila sejak dulu larinya ke Barat ? Bedanya dului kita menghamba pada pengaruh Belanda, sekarang kita menghamba pada pengaruh Amerika. “

Bila kita menoleh kebelakang, akulturasi Jawa dan Cina sebenarnya sudah terjadi sejak jaman kerajaan Demak. Namun kenapa baru akhir-akhir ini saja akulturasi Cina-Jawa bisa bebas berekpresi? Apakah karena keragaman yang bersifat politis atau ekonomi ?

“ Menurut saya, jawabanya adalah masalah ekonomi yang di belokan ke arah politis. Yang merisaukan sebagian besar dari kita kan bukan perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan”.

Mungkin benar juga pendapat yang mengatakan orang muda di Singapura jinak-jinak saja karena semua kebutuhan dan fasilitas mereka telah dipenuhi oleh negara. Jadi semakinb lapar orang semakin kritis ya ?

“Iya “


Esai : Posthuman - Tubuh yang usang


Ketika orang mulai ‘membongkar pasang’ tubuhnya dengan operasi plastik atau rekayasa medis lainnya, muncul kesimpulan bahwa tubuh manusia mulai terasa usang. Namun ketika peralatan bionik dicangkokkan tubuh kita, dengan serangkaian proyek yang berniat untuk membuktikan bahwa mesin (bionik) bisa menyatu dalam tubuh manusia, maka kita berada dalam kondisi tubuh yang rawan, atau kondisi yang sekarang beken dengan istilah Posthuman
Dalam film Universal Soldier digambarkan eksperimen untuk membuat prajurit cyborg. Film Johnny Mnemonic menggambarkan situasi yang lebih radikal lagi. Data komputer yang amat besar di-download ke dalam ingatan Johnny (melalaui pembedahan salurah syaraf yang direkayasa agar bisa dicangkokkan dengan memori komputer) , yang harus segera disampaikan ke alamat penerima, sebelum data itu merembes ke dalam otaknya.
Semua ini masih sebatas cerita fiksi. Namun yang terjadi pada seorang remaja 14 tahun yang bernama Derek, adalah kisah nyata. Sebuah chip mikro komputer (ukurannya cuma sebesar beras ) dicangkokkan ke lengannya, dan dihubungkan dengan sebuah database ADS (Apllied Digital Solution) sebuah perusahaan hi tech di Florida, AS. Chip itu sendiri bermulti fungsi. Selain bisa memberikan informasi kesehatan Derek pada rumah sakit, juga bisa digunakan sebagai penyimpanan data personal Derek. Dan tentu saja chip itu sekaligus menjadi alat penentu posisi (global positioning device) yang bisa melacak ke manapun Derek berada.
Chip yang tertanam di lengan Derek memang belum menjadikan anak itu sebuah cyborg. Namun dengan sebuah chip yang tertanam di lengannya, Derek sudah menjadi anak yang ‘berbeda’. Tak saja secara fisik semata, karena tubuhnya harus diberi makna yang berbeda. Dia sedang dalam perjalanan menuju kondisi posthuman. Dalam konsep ini, tubuh tak lagi menjadi kunci utama dalam sebuah identitas biologis, namun sudah menjadi identitas ‘yang lain’. Atau dalam penjelasan Foucault, ‘tubuh pun menjadi the sosok tak berdaya (inert mass) yang dikendalikan oleh berbagai wacana yang berpusat pada pikiran’.
Karena kendali wacana-wacana seperti inilah , maka hasrat untuk menjadi tegap perkasa, langsing, cantik atau seksi kadang membuat orang rela menyakiti dirinya sendiri, melaparkan diri di luar kelaziman (diet ekstrim) , atau memacu kerja otot tubuh di luar kewajaran normal (pemakaian doping) . Hasrat untuk melebihi realitas tubuh yang alamiah ini juga membuat orang rela membelah tubuh untuk menggapai tubuh artifisial yang baru (berbagai bentuk bedah plastik). Sekat antara badan dan pikiran semakin samar dengan anggapan bahwa yang berubah bukanlah tubuh material, melainkan hanya pengertian abstrak mengenai tubuh.
Salon-salon kecantikan semakin sibuk menawarkan mantera baru : pelayanan menghilangkan kerut wajah seketika, atau mencegah penuaan dini, seolah-olah mereka bisa menghentikan atau membalikkan laju sang waktu. Berbagai klinik pria juga menawarkan pemasangan protesa yang ditanam dalam kelamin pria, sehingga dia bisa ereksi kapan saja hanya dengan memencet tombol yang mengalirkan cairan ke batang phallus. Bisa on / off semaunya tanpa memikirkan bahayanya bila ‘mesin seks’ yang tertanam di tubuhnya itu mogok bekerja.
Dalam konsep pemikiran posthuman memang tak ada lagi perbedaan penting atau pemisahan mutlak antara eksistendi tubuh dengan simulasi komputer, atau penempelan daging dan pengeratan tulang. Batasan antara organisme biologis dan mekanisme sibernetika sudah jalin menjalin. Orang menjadi bangga merayakan kepalsuannya, dengan menyelenggarakan Miss Artificial Beauty ( Ratu Kecantikan Buatan ), di Beijing , Desember 2004 silam,- di mana para pesertanya secara khusus adalah para perempuan yang sudah mempercantik dirinya dengan operasi plastik. .

Tubuh yang tak bahagia
Di sisi lain kita berhadapan dengan fakta , bahwa sekarang ini merupakan era baru ’kebangkitan tubuh’ sebagai bagian integral dari identitas moderen. Sayangnya gambaran ini kadang tidak tampil sepenuhnya, karena seperti yang dikatakan Foucault dalam The Care of The Self (1986), di mana ‘tubuh-tubuh yang tak bahagia’ (unhappy bodies ) semakin tampil nyata sebagai tubuh yang rawan . Chris Shilling, dalam The Body and Difference, juga mengamati bila sekarang memiliki tubuh sehat saja tidaklah cukup. Karena orang tak saja terhisap ke dalam berbagai aktifitas yang membuat tubuh sehat, tapi juga membentuk tubuh seperti ukiran yang diinginkan dalam sebuah patung, baik dengan bina raga atau operasi plastik.
Bagai Narsisus yang tergila-gila pada dirinya sendiri, kini semakin banyak perempuan yang memandang pantulan dirinya dalam cermin dan menemukan betapa dirinya dikuasai berbagai keinginan tampil secantik model dalam iklan televisi, walau sebenarnya betapa gampang kamera berdusta. Karenanya penampilan, keharusan tampak menawan dan fitness pun menjadi salah satu ‘kewajiban sosial’ demi sebuah citra tunggal kecantikan : ramping dan cantik. Karena itulah mereka berusaha sekeras mungkin, bersenam selama mungkin dan makan sesedikit mungkin.
Ide untuk memiliki tubuh yang prima, akhirnya malah menjajah tubuh itu sendiri, dan faktanya menunjukkan berbagai bentuk hasrat yang serba berlebihan (hyper desire ), setelah bisa mengencangkan lagi pipi yang kempot, semua bagian tubuh pun ingin dirombak : membesarkan - mengecilkan payudara, pinggang, paha, betis,- bahkan hingga restrukturasi virginitas.
Dalam sudut pandang kajian budaya, kita percaya bahwa pola pikiran masyarakat
terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas memang ikut menjelma sebagai persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik
adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Bahkan menurut Marcel Mauss, salah satu cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling naturaldari manusia, yang dapat dipelajaridengan cara yang
berbeda sesuai dengan kultur masing-masing
Mike Featherstone (dalam The Body in Consumer Culture), juga memilah pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar. Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh bagi kepentingan kesehatan dan fisiknya,- sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).
Dalam pandangan Featherstone, kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam ternyata sekaligus menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Karena itu, dalam kebudayaan konsumen tubuh dinyatakan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.
Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen juga didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan televisi sekarang ini merupakan kreator utama bagi pembentukan citra tersebut. ( Heru Emka )


Esai 2 : Dongeng Perlawanan Salman Rushdie

Di balik berbagai dongeng ternama yang sarat dengan jalinan fantasi yang membahagiakan kanak-kanak, kadang membayang kenyataan pahit dari peristiwa yang tak mebahagiakan penulisnya. Kisah para binatang dalam dongeng karya Beatrix Potter, yang berjuang melepaskan diri dari claustrophobia petaka lingkungan, ternyata merupakan cerminan kegelisahannya untuk melepaskan diri dari perilaku represif orang tua di era Viktorian. Tak heran bila karakter Peter Pan ciptaan J. M. Barrie tampil sebagai alter ego penulisnya, yang diam-diam ‘menolak dewasa’ sebagai aksi protes karena berbagai tindakan pengekangan yang dilakukan oleh orang tuanya dulu.
Begitu juga dengan Haroun and the Sea of Stories ( Harun dan Samudera Dongengan) karya Salman Rushdie yang memiliki semua sisi dari dongeng fantasi, sebelum menyadari bahwa sebelumnya seorang pemimpin spiritual yang memiliki pengikut di berbagai penjuru dunia menghalalkan darah si pengarang untuk dialirkan. Di permukaan,. Haroun and the Sea of Stories adalah kisah yang hidup dengan denyut fantasi yang tak henti membukakan wilayah baru bagi penjelajahan imajinasi yang mengasyikkan. Latar belakang plot yang bisa jadi merupakan penafsiran ulang tema Kisah Seribu Satu Malam, di mana Sinbad terbawa nasib untuk melakukan berbagai penjelajahan yang mendebarkan ke berbagai wilayah yang asing dan ajaib, tempat di mana dia menemukan sekutu gaib untuk melawan mahluk aneh yang jahat.
Namun kehidupan ini seakan ditakdirkan untuk dipenuhi oleh berbagai hal yang berlawanan. Kisah fiksi yang muncul dari kebebasan imajinasi, terkadang berbenturan dengan sensor, yang ironisnya sering terperangkap dalam penafsiran kebenaran yang juga digambarkan oleh imajinasi secara metaforis. Karena itulah Jorge Louis Borges juga menyebut sensora sebagai sumber segala metafora ( Cencorship is mother of all metaphors ) seraya menawarkan strategi literer untuk hal yang sama, bisa pula menggunakan metafora untuk melawannya.
Salman Rushdie agaknya memilih jalan yang serupa, setelah novelnya, The Satanis Verses diharamkan oleh Ayatulah Khomeni dan membuat Rushdie hidup dalam labirin persembunyian di bawah ancaman hukuman mati. Dan Rushdie ternyata tak berdiam diri, dia menjawab sensor ini dengan novelnya, karena bukankah esksistensi seorang sastrawan terletak pada karya sastra yang dihasilkannya ?
Dalam konteks inilah Rushdie menulis Haroun and the Sea Stories 1) selanjutnya disebut HatSS ) dan memilih menggunakan metafora sebagai perlawanan, sebagai ‘pasemon’ terhadap sensor dan kekuasaan. Bila membaca HatSS, maka bisa disimpulkan bila Rushdie menggunakan ide narasi dasar dalam Kisah Seribu Satu Malam 2).
Keterkaitan HatSS dengan Kisah Seribu Satu Malam tak saja nampak pada pemilihan nama dua tokoh utama dalam HatSS; yakni pendongeng Rashid Khalifa dan anaknya Harun, yang mirip dengan nama figur penting di balik penciptaan kisah Kisah Seribu Satu Malam, yakni Khalifah Harun Al-Rasyid, namun juga dalam konsep narasi utama tentang bagaimana pesona penuturan berbagai kisah mampu menggagalkan sebuah eksekusi.

Kontradiksi yang saling melengkapi
HatSS, secara tersirat ditujukan sebagai dongeng bagi anak lelaki Rushdie; Zafar,-sebagai sebuah kisah fantasi yang plastis, di mana dunia jin membaur dengan dunia robotik ( sesuatu yang secara logis seharusnya bertolak belakang ) namun dalam novel ini ternyata malah saling melengkapi. Cermin dari sifat kontradiktif yang justru terengkuh dalam harmoni, juga nampak dalam penggambaran Kahani, sebagai bulan kedua dari bumi, yang selama ini ‘tersembunyi’. Saya menafsirkan Kahani ini sebagai bentuk representasi Rushdie akan ‘dunia kisah dan imajinasi’ yang berlawanan dengan citra bulan sejati, yang kini telah menjadi lambang eksplorasi teknologi.
Dalam HatSS, Rushdie mengawali perlawanan simbolisnya dengan kalimat memikat, “ There was once, in the country of Alifbay, a sad city, the saddest of cities, a city so ruinously sad that it had forgotten it name.” ( Adalah sebuah negeri di Alifbay, sebuah kota yang sedih, kota yang tersedih, begitu terpuruknya kota itu dalam dukalara sehingga terlupa akan namanya ) Kemudian mengalir lancar narasi tentang kehidupan seorang anak lelaki bernama Harun, dan ayahnya; Rashid Khalifa, seorang pendongeng termashur yang mendapat julukan sebagai ‘Kaisar Omong Kosong’ ( the Shah of Blah).
Kemampuan mendongeng Rashid begitu hebat, sehingga dia tak ubahnya Orpheus, yang memainkan musik sedemikian indah, sehingga tak saja membuat para binatang patuh kepadanya, namun bahkan mampu menjinakkan kebuasan para setan di neraka (Hades). Kemahiran mendongeng Rashid tak saja nemberikan kebanggaan pada dirinya dan anaknya , Harun,- atau menjadi sumber penghasilan utama untuk menghidupi keluarganya, namun juga membuat penguasa terpikat menggunakan dongengnya demi kepentingan politis mereka. Terutama untuk memikat perhatian massa. Namun ternyata ada orang yang tak bisa hidup sepenuhnya dari imajinasi.
Suatu hari isterinya; Soraya, minggat bersama tetangga mereka bernama Senggupta, setelah lelaki ini selalu mengejek eksistensi Rahid sebagai orang yang tak berpijak pada kehidupan nyata. Harun yang merasa galau akan kepergian ibunya, tanpa sadar ikut memojokkan ayahnya, “Apa guna segala cerita yang tak sepenuhnya nyata ?
( “What’s the use of stories that aren’t even true ? “ 3). Dampak dari perasaan terguncang Rahid akan gugatan anak lelakinya ternyata begitu tak terduga. Dia tak sanggup lagi bercerita. Padahal waktu itu Rahid sedang diundang oleh seorang politisi untuk mengucapkan pidato omong kosongnya.
Dilanda penyesalan, Harun berusaha mengembalikan kemampuan ayahnya bercerita, karena bila tidak mereka berdua akan mengalami kesulitan. Bukankah pejabat di kota G membutuhkan kemampuan Rashid bercerita, atau bila tidak, ayahnya dianggap berkomplot dengan lawan politik si pejabat untuk memboikot program kampanye mereka. Bila begitu anggapan mereka, runyamlah posisi Harun dan ayahnya.
Upaya Harun berlanjut dengan sebuah perjalanan mistis untuk memulihkan kemampuan mendongeng ayahnya menuju Kahani, tempat di mana terdapat Samudera Dongengan (Sea of Stories), mata air sekaligus muara semua jenis kisah yang ada di dunia. Sesampainya di Kahani, kisah dan semuanya mengalir bebas menuju akhir cerita yang ditentukan sendiri oleh kehendak Sang Dongeng. Suasana rawan membayang karena Samudera Dongengan terancam tumpas karena diracuni oleh si jahat, Khattam-Shud.

Karakter memikat
Dalam petualangan di Kahani inilah Harun bersua dengan beberapa karakter yang memikat, seperti Iff, jin air, Butt; robot berbentuk burung bulbul, dan mahluk berbentuk ganggang yang bernama Mali, si Tukang Kebun Terapung Kelas Satu, dan sebagainya.
Maka HatSS jelaslah sebuah novel yang tak saja menyenangkan pembaca kanak-
kanak, namun juga mampu menghibur para pembaca dewasa. Misalnya dengan menampilkan seorang tokoh dengan karakter misterius yang bernama Mudra, si Pendekar Bayangan ( Shadow Warrior ), jago pedang yang tak pernah berkata-kata dan bicara dengan gerakan isyarat melalui kedua tangannya. Suara si jago pedang ini hanya bisa didengar saat dia batuk,dan terdengan sebagai "Gogogol “ atau .” Kafkafka." ( Bahkan batuk ini pun diambil dari nama dua sastrawan kelas wahid; Nikolai Gogol dan Franz Kafka)
Sang tiran, Khattam Shud, penguasa Chup, negeri gelap,- adalah figur yang Rushdie dilukiskan sebagai “Musuh besar semua kisah, termasuk bahasa itu sendiri. Dialah pangeran Kegelapan dan Seteru Pembicaraan ." " Kenapa kau begitu membenci cerita ?" tanya Harun ketika dia akhirnya berhadapan dengan sang tiran.. " Karena cerita begitu menyenangkan. Dunia ini ada bukan untuk bersenang-senang. Dunia ini ada untuk dikendalikan,” sahut Khattam-Shud. " Dan dalam setiap cerita, setiap aliran di Samudera Dongengan, terdapat sebuah dunia, sebuah dunia cerita yang tak bisa kukendalikan sepenuhnya “ ( “ And inside every single story, inside every Stream in the Ocean, there lies a world, a story-world, that I cannot Rule at all.")
Maka, untuk menyelamatkan kemampuan ayahnya bercerita, menyelamatkan kehidupan di Kahani dan keberadaan semua cerita di dunia, Harun harus menghentikan niat jahat Khattam Shud. Dalam perjalanan menuju pusat kegelapan dan kesenyapan di pusat negeri Chup, kisah HatSS pun dipenuhi adegan yang unik, dengan penggambar4an imajinatif yang lentur, sekaligus kenyal. Perjalanan Harun ke negeri Chup tak ubahnya perjalanan si kecil Dorothy dalam The Wizzard of Oz, di mana Dorothy diiringi tiga sahabat ajaib; antara lain si Manusia Kaleng dan si Singa Penakut. Dalam HatSS, Harun pun disertai tiga sahabat yang ganjil : Iff, si jin Air, lalu Mr. Butt; sopir bis aneh yang kemudian menjelma menjadi robot burung bulbul dengan kemampuan telepatis, serta Mali si mahluk ganggang yang bertugas sebagai ‘perawat jalinan arus kisah’ yang mengalir di Samudera Dongengan.

Antara Represi dan Meta-Fiksi
Setelah ‘berbasah kuyup ria’ di samudera imajinasi Salman Rushdie, marilah ‘meniti tali’ yang terentang dari dua tepi yang berseberangan; yakni hukum besi lambang kekuasaan otoritarian yang menolak kebebasan mutlak dari imajinasi dan sebaliknya dunia imajinatif yang melepaskan diri sepenuhnya dari hukum realitas, di mana semua perlambang dan dan gambaran angan-angan bebas beterbangan dengan sayap imajinasi.
Rushdie adalah sastrawan yang sejak awal memilih untuk hidup di ‘jalan pena’ dengan segala resikonya. Saat novelnya; Midnight Children tak disukai para petinggi militer di Pakistan, dia masih bisa bersikap masa bodoh. Namun ketika The Satanic Verses diterbitkan dan berbuah vonis hukuman mati dari Ayatullah Khomeini, Rushdie menghilang dalam labirin pengungsian. Namun dia tak tinggal diam, dan melawan dengan HatSS’ sebuah dongeng dimana Rushdie membiarkan perlambang dan metafora bergerilya dalam imajinasi pembaca.
Tentu ada semacam penanda yang menyiratkan arah perlawanan Salman Rushdie. Misalnya nama negeri Alifbay. Bagi saya ini merupakan perlambang Rushdie yang mengacu pada negara Iran ( Alif adalah huruf pertama dalam abjad Arab. Bay adalah teluk dalam bahasa Inggris. Maka Alibay saya tafsirkan sebagai ‘negara di kawasan Teluk yang utama, punya posisi penting dalam percaturan dunia, yakni Iran ). Dan Rushdie menegaskan perlawanannya sejak awal, ketika dia menyebut negeri utama di kawasan Teluk ini sebagai "a sad city . . . a city so ruinously sad that it had forgotten its name.” Tentu saja ini penggambaran dari sisi Rushdie semata, sebagai salah satu pihak dari kedua pihak yang berlawanan. Bahkan dalam 60 Minutes – sebuah talk show TV yang secara tak sengaja saya tonton di sebuah hotel,– Rushdie mengaku perlawanan dalam HatSS hanyalah sebatas ‘perlawanan imajiner’. HatSS yang ditulis untuk anaknya, Jafar, haruslah dibaca untuk bersenang-senang, sebagai pengembaraan batin dari kesedihan menuju suka cita. ( “ He must read it for fun, a journey from sadness to joy.")

Menekan perbedaan
Barbara Harlow, dalam Resistance Literature 4), menyatakan bahwa perlawanan adalah persoalan yang cukup mengemuka dalam kesusasteraan dunia. Dan ‘sastra yang melawan’ sebenarnya merupakan jejak panjang dari niat untuk menolak penindasan yang sejak masa awal peradaban manusia selalu melakukan intervansi dan mengupayakan tindakan yang bersifat represi bagi setiap kelompok di luar mayoritas yang berupaya untuk mengucapkan narasi yang berbeda.
Berbagai kisah epik para raja dengan segenap ksatrianya hampir selalu mendapat perlawanan tersembunyi dari cerita rakyat yang sebenarnya merupakan sisi yang berbeda dari apa yang dituliskan oleh para pujangga istana. Bahkan berbagai dongeng atau kisah-kisah binatang yang dikenal dalam sastra lama sebagai kisah pelipur lara, sebenarnya merupakan bentuk pasemon kreatif dari para penutur kisah, yang secara bijak dan jenaka mengelak dari tudingan pedang kekuasaan. ( It is a fable that seek to entertain and drive home a point without seeming to do so; it also an assertion of the writter’s deviant creative spirits that refused to allow the iron of the oppressor’s sword to enter his soul and render him impotent )
Maka dalam HatSS bertebaran apa yang oleh Strauss disebut sebagai ‘esoteric text’ yang dirancang untuk menajamkan pemikiran pembaca, dan melacak komunikasi pemikiran yang melampaui hambatan sensor 5) Dengan mencermati narasi imajinatif Rushdie dalam HatSS, kita merasakan bila dia cukup piawai mengadopsi teknik yang dipraktikkan oleh beberapa sastrawan besar sebelumnya, seperti Voltaire atau Jonathan Swift ( kisah Guliver di Negeri Liliput-nya ternyata juga merupakan sastra perlawanan terhadap resim penguasa yang diam-diam ditentangnya )
Dalam HatSS, nampak jelas bahwa ketrampilan bercerita amat memikat para penguasa, karena potensinya untuk mempengaruhi masyarakat. Itulah sebabnya seorang pendongeng ulung seperti Rashid Khalifa justru terancam keselamatannya saat dia kehilangan kemampuan berorasi saat disewa oleh penguasa untuk mengkampanyekan kebaikannya dan berceloteh tentang ‘kisah omong kosong yang indah dan melenakan.’
Italo Calvino, dalam Right and Wrong Political Uses of Literature 3) menyebutkan bila dalam setiap periode kebudayaan di sebuah negara, selalu ditemukan pertautan aneh, di mana para sastrawan menari dalam alunan irama kekuasaan, sementara yang lain menolak mengikuti irama. Dan rejim totaliter pun mendukung sastra yang patuh. Itulah sebabnya Hitler membutuhkan Gerhart Hauptmann dan Soviet membutuhkan Mikhail Sholokov. Bahkan sastrawan Rusia seperti Solzhenitsyn yang melawan dengan Gulag Archipelago pun pernah menuliskan One Day in the Life of Ivan Denisovich atas permintaan Nikita Khrushchev.
Rushdie berhasil menyeberangi jalan ini. “ Kita bisa melewatkan ketidak mengerian akan makna kebenaran, yang terbentang seperti gurun maha luas. Di sana tak ada jalur jalan atau papan penunjuk arah. Tapi kita bisa menggunakan bintang sebagai pedoman. Memang semua itu hanya ada di malam hari. Namun malam adalah sesuatu yang pasti akan datang dan kita harapkan, sementara di siang hari, lebih baik kita berlindung dari kedatangan pemburu yang mengancam keselamatan, “ ujar Rushdie tentang imajinasi,yang masih diharapkan bisa menjadi penanda eksistensinya 7).

Meta-fiksi
Yang mengasyik, menelusuri jalinan narasi dalam HatSS, yang saling untai-menguntai membentuk fiksi yang mencakup banyak hal, saya pun menemukan mata rantai referensi yang jalin menjalin untuk memadukan berbagai fakta dengan imajinasi, sebagaimana laiknya sebuah meta-fiksi. Kaitan HatSS dengan Kisah Seribu Satu Malam tak saja berupa peminjaman nama Kalifah Harun Al-Rasyid sebagai nama karakter ini dongeng Rushdie, namun lebih dipertegas dengan nama rumah perahu di mana Rashid dan Harun mengawali petualangan ke Samudera Dongengan,yang diberi nama Seribu Malam ditambah Satu (HatSS hal 50)
Penggambaran karakter lain, si Anjing laut (The Walrus) misalnya. Si Pengendali Agung super-komputer yang disebut P2C2E ini dikelilingi mahluk berkepala plontos; Egghead yang mendeskripsikan diri dengan kalimat " Mereka manusia-telur—daku sang anjing laut” (“They are the eggmen--I am the walrus"). Aha! Rushdie meminjam kalimat ini dari sebuah lagu the Beatles yang berjudul "I am the Walrus" dari album mereka yang berjudul Magical Mystery Tour.


(Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya )

Catatan kaki :
Saya menggunakan versi paperback edition terbitan Penguin, 1999.
Saya membacanya dari edisi bahasa Indonesia yang diterbitkan Mizan, dalam empat jilid, 1998.
Haroun an the Sea Stories, Penguin, 1999, hal 20
Harlow, Barbara, Resistance Literature ( New York, Methurn, 1987)
Harlow, Resistance Literature – hal 52.
Dalam The Literature Machine : Essays, London, Picador, 1989
Cundy, C. Salman Rushdie, Manchester University Press, 1996



SAJAK – SAJAK :

AFRIZAL MALNA :


HARI LIBUR KOLAM RENANG

Potretmu bersama keluargamu masih terbayang di kolam renang, seperti kamar berisi air.
Kenapa kamar berisi air dan ada potretmu di situ. Ibumu yang mengenakan kebaya tersenyum lebar sambil menggendongmu waktu bayi. Kenapa ada bayi yang digendong di kamar yang penuh berisi air. Riak air membuat gambar-gambar baru di sekeliling potretmu. Lalu orang-orang lain berenang-renang di atasnya. Riak-riak air tidak menggambar lagi. Riak-riak air membelah-belah tubuh mereka, membuat kolam seperti penuh dengan tubuh mereka yang telah menjadi air. Kenapa ada air seperti pisau dalam kolam renang. Air membuat warna biru pada potongan punggungku. Matahari melayang-layang seperti penyu di dasar kolam. Penyu yang kepalanya tidak berani keluar dari tubuhnya. Dasar kolam membungkus kakiku dengan warna hijau seperti kepala anjing berwarna hijau. Air seperti kepala anjing yang keluar dari dasar sungai. Aih, hari libur di kolam renang, hari libur untuk tubuh-tubuh di kolam renang. Bekas ciuman masih berhari libur juga di kolam renang. Bekas ciuman masih berhari libur juga di kamar mandi. Aih, orang itu bisa masuk ke dalam air dan bisa keluar dari air di hari libur. Aku mencium bau kaporit. Ada bayang-bayang awan di atas dengkulmu, di antara 5 detik dari tumitku. Aih, kepala anjing, kepala penyu tidak sama dengan kepalaku di hari libur.



SUMBU KOMPOR DI LUBANG TELINGA

Ada warna kuning memancar di jangungku. Kenapa kau datang terlalu cepat, dan menggunakan kuping berwarna kuning ? Tidak. Aku tidak datang dan tidak terlalu cepat dan tidak menggunakan kuping berwarna kuning. Aku hanya warna kuning di jantungmu. Kenapa kau memanggilku seperti itu, seperti membiarkan jarum waktu memasukkan sumbu kompor ke dalam lubang telingaku. Beri aku waktu satu menit lagi untuk menyalakan korek api. Beri aku waktu untuk membersihkan kakiku sebelum pergi. Sebentar saja untuk membeli satu botol minyak tanah. Sebentar saja untuk melihat api menerangi lubang telingaku yang gelap. Biar aku melihat jarum waktu yang jatuh dalam lubang yang gelap. Tidak. Aku tidak membiarkan kamu pergi. Aku juga tidak membiarkan kamu datang. Aku hanya sedang melihat sumbu kompor yang terbakar di lubang telingamu. Cahayanya menerangi seluruh ketakutan yang membuat 100 tahun dalam lubang gelap.




DUA BUAH LAMPU NEON

Aku bergerak cepat. Telapak tanganku, jari-jari tanganku, obeng, kabel listrik untuk menerangi lorong di samping rumah. Dua buah lampu neon aku pasang. Kabelnya masih menjuntai seperti usus babi berwarna merah. Beberapa kali aku hilang di lorong itu. Tetangga-tetangga mencariku. Mereka pikir aku sedang pergi keluar pergi. Mereka tidak berpikir begitu. Mereka pikir aku ada dalam selimut mahluk halus. Mereka tidak berpikir begitu. Mereka tidak berpikir apa-apa tentang diriku. Tapi mereka masih mencium bau tubuhku di dinding tembok rumah bercampur bau santan. Mereka pikir aku pohon kelapa yang tumbuh di tembok tumah. Ya, mereka berpikir. Berpikir tentang tembok yang dibuat dari santan kelapa. Dan dua buah lampu neon di pasang untuk menerangi lorong itu. Kabelnya berjuntai seperti usus babi berwarna merah. Tapi dua lampu neon itu tidak bisa menerangi isi tembok, tempat orang-orang hilang tak pernah ditemukan lagi. Tembok yang lembab seperti bibir gelas minummu.



PENARI TOPENG

Penari topeng itu membuat topeng dari wajahnya sendiri. Dan menunggu hingga siang hari wajahnya berubah menjadi topeng. Dan menunggu lagi hingga sore hari topeng itu memiliki mata untuk melihat anjing dan ayam berlarian. Topeng itu memandang isi perut anjing dan ayam. Penonton tak tahu kalau penari topeng itu melihat isi perut anjing dan ayam. Penonton tak tahu kalau di balik topeng itu ada yang bermain judi mempertaruhkan tanahnya hingga sore hari. Dan menunggu lagi hingga malam hari tanahnya berubah menjadi topeng. Musik tariannya ribut sekali dalam isi perut anjing dan ayam. Pukul 8 malam penari topeng itu akan menari di Denpasar. Sesajen telah disiapkan untuk membuka topeng itu menjelang pukul 8 malam. Pukul 8 malam anjing dan ayam mulai membenturkan kepala mereka ke dinding belakang panggung pertunjukan. Pukul 8 malam mesin cetak begitu bising di atas panggung pertunjukan. Mencetak pantai, mencetak pura, mencetak dewa, . Penari topeng menunggu lagi hingga para tamu tertidur nyenyak. Dan berjaga lagi di depan pintu hingga pagi hari. Aduh, Jepang, Itali, aduh, Australi, Amerika, Korea, aduh, Jerman, Indonesia, Prancis, aduh, jangan membuat pesta makan malam dalam topengku. Aku hanya menari untuk para dewa.


DI HALAMAN BELAKANG

Pagi ini aku memijat punggungmu. Minyak kayu putih dan balsem juga. Halaman belakang tubuhmu yang hanya melihat bagian belakang dari dunia yang dilalui. Bagian belakang yang diciptakan dari seluruh perjalanan mundur. Punggungmu, balsem dan minyak kayu putih juga tak tahu, perjalanan mundur ke belakang atau ke depan. Dunia di belakang selalu menjauh dan mengecil. Detail-detailnya kemudian menjelma lagi saat hujan turun. Saat kebun kacang mulai berdaun. Tapi aku pusing, katamu. Pusing yang tak berdaun. Dan aku herus kembali ke halaman belakang dari leher dan kepalamu. Tak pernah ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur, katamu. Kebun kacang juga tidak berjalan mundur. Tidak meninggalkan tanah dan mencari kursi di taman. Hayo, sayangku, kita membuat hari esok di halaman belakang. Kita melihat waktu bergerak seperti kebun kacang di halaman belakang.


AFRIZAL MALNA, penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957. Dia pernah membacakan puisi-puisinya di berbagai kota di daratan Eropa, sambil memberikan ceramah-ceramah kebudayaan. Selain bergabung dengan berbagai grup kesenian, juga pernah bergabung dengan Urban Poor Concortium (UPC). Kini dia menetap di Yogjakarta.



HERU EMKA :


BANJARAN DOSA

penyair adalah Adam
yang beratus kali dijelmakan
dan mengembara dalam diam
dan menuliskan sajak-sajaknya
dari getah pohon dosa.
penyair juga Adam
yang memberi warna pada kelam
agar segala di hidup ini
jadi beragam
penyair juga Adam
yang memberi suara pada diam, memberi
pemberontakan pada jemu dan segala pasungan


“ mulut kesunyian menjerit resah. aku enggan berdamai dengan kehampaan “

“ itukah kegundahanmu ? Sungguh kampungan!”

“ Kau kah itu yang bicara lagi dalam tidurMu ?”

“ Akulah sang Pemangku yang ada di hatimu
tidur adalah jaga Ku, diam adalah bicara Ku “

“ Aku rindu kata-kata, bukan kesenyapan, dan aku jemu
bercakap dengan isyarat kepada-Mu “

“ bila kau bijak, Adam, inilah firdausmu : sunyaruri “

“ aku lebih suka terjebask kata-kata. kelu telah menjadi rindu dendam
beratus windu, bisu memeram geram selaksa waktu “

penyair juga Adam, yang menghayati
kejatuhan, penyair juga Adam yang berulang kali
diciptakan dalam takdir yang berlainan.
sajaknya bagai ayam jantan yang ditetaskan
naga penunggu hutan. itulah, kata-kata yang membara
meresahkan tidurnya dan membakar satu demi satu
mimpinya : pulang dari pengasingan..

“ lihat lagi wajahmu, Adam…”

-“ luasnya diam menyusut di keriuhan,
aku lelap di sela sibuk dan nyalang di dasar
lamunan. dan aku mulai cemas pada bahasa diam “

“ semua filsuf ingin mengabur di sunyaruri, meniti
jembatan awan ke tempat sempurna “

“ tidak! aku menolak !
aku rindu kata dan caci-maki
walau terulang lagi sejarah wal
manusia dosa

sunyaruri riuh rendah dalam bahasa sepi
langit bercakap senyap dengan udara hampa
sekejap cuaca berganti seribu kali
sukma Adam menggigil , tubuhnya bergetar
mengguncang jantung, menghajar nalar
mencipta air bah, yang membanjiri bumi
dari pori-pori
melabrak semua yang ada, menghanyutkan ke
samudera.

“ Tuhan
jangan jadikan aku Adam di hari penciptaan
tidak ! aku menolak ! biar kuhanya manusia saja
yang rindu kawan, meradang lawan
tidak! aku insan jelata, yang butuh tubu8h cinta
gemar bertengkar dan cium mesra pacar
hidup dan dosan terasa sungguh mahal harganya
karena di sana pernah ada semua yang kini tiada
bagai malaikat, aku ingin tumbuh sayap
agar bisa melarikan diri ini dari dusta
aku ingin menyerah
menaklukkan diri pada keramaian
wahai suara; puji dan caci
belenggulah aku
yang bosan diburu bisu
aku jengan terherat senyap
senyap selalu membawa hawa asing
daerah lain – di balik kerdip mata
suara dan kata :
maut !




Lagu Muara
1
di sinilah aku, kekasihku di tepi batas kebenaran laut luas sepanjang waktu, tak henti aku menunggu kabar-Mu dari hulu
senandung ku hanya percik ombak dan teriak burung camar kesepian keteduhan hutan - Mu yang rindang tak pernah menaungiku
di sini kunanti : kapan pasang - Mu tiba selalu ingin kutahu : kabar- Mu dari hulu aku hanya muara : endapan lumpur dan sarang malaria betapa kurindu : bening mata air-Mu

Penyair dan Pelukis - fur E -
barangkali paletmu mengering suatu hari kamu gantikan dengan kenangan yang tak terhapuskan
barangkali bukan sapuan warna tapi masa silam sedang kanvas di depanmu menjelma impian
pelukis dan penyair sama menyandang beban kenangan sama dihajar kerinduan
gambarmu bisa saja garang namun hatimu tetap perempuan mata air kelembutan
( dan medan kita sama : kesepian )
begini saja, bila kamu melukis lagi padang bunga yang sunyi sepi kalau boleh kutambahkan ; kuda jantan yang lepas tambatan !




Lagu Putih - farewell, empty dream -
selamat malam dara, masihkah tidurmu dihiasi banyak impian ? aku masih teringat padamu dalam semua perjalanan
pandangmu yang tetap bersinar didukung senyum yang malu ( di luar gerimis tiba menghantar cuaca yang kelabu )
inilah percakapan kita : getar senyap di daunan yang menggigil dalam lebat hujan percakapan kita : saling mencari apa yang tersimpan di sudut hati
selamat malan, kelembutan selamat malam, keheningan bila hari telah larut bagi jiwa mengendap tersisa : kenangan kita

ailia + matahariku
ailia, ailia, matahariku pergi mengembara dan aku tertinggal............ di sudut stasiun-stasiun kujenguk ruang di sibuk pelabuhan-pelabuhan kusapa diam di puncak malam, kulemparkan kegundahanku padamu
rinduku memancar deras, ailia, dari mata air dihatiku. akulah layang-layang berpusing di lidah topan, biar putus benang biar terhempas hilang, kukejar kamu matahariku
kukayuh perahu, ailia, kurengkuh dayung nestapaku ayo laju perahu laju, beranjaklah dari lubuk-lubuk yang tak punya makna. ayo laju perahu laju, jangan karam karena rindu, jangan kandas di awal duka, lajulah laju perahuku, hidupku
perahuku melewati kota-kota, ailia, singgah di sekian ribu asrama, perahuku bertolak dari kampung-kampung dan berlabuh di sepanjang jalan. tergeletak di hari-hari penat, mengenang kemarin kupinjam hangatmu, ailia, pengusir sisa dingin semalam lalu pagi datang lagi, fajar lahir lagi kau bersorak, ailia, bersama hanyut ke bisik kagum tapi bukan aku, ailia, matahariku tak pernah nampak wajar, selalu tersamar. hanya hangatnya meraayap ke sudut jauh hatiku.
dari mata air rinduku perahuku menuju muara MU ailia + Matahariku



Jejak kenangan


tak cuma waktu -
benua pun telah memisahkan
potret suram di album
hanya macet pada saluran ingatan
pada hari lamban
dan hilang warna

pada jam-jam biasa
aku sering mencarimu
di antara sibuk jalanan
atau menengok di sela waktu
yang meletakkanmu pada kapal
yang melaju

aku yakin
kau bagai kembang api
di malam tahun baru
melimpah riang bagai busa sampanye
di tengah pesta
hari-hari mu di negeri salju
akan penuh boneka, ucapan selamat
dan karangan bunga

sedikit sunyi tersisa
di kartu pos berwarna :
Museum nelson di Buckler’s Hard

lalu kalimat yang jadi asing
bagai sajak yang gagal memanggil kenangan.


Heru Emka, penyair kelahiran Semarang, 30 Oktober. Dia pernah membacakan puisi-puisinya di Taman Ismail Marzuki dan di beberapa desa. Puisinya terhimpun dalam buku yang berjudul Tanda ( Balai Pustaka, 1982), Tonggak 4 (Gramedia, Gramedia, 1987), Jejak Memanjang (Medayu Press, 1993) Banjaran Adam (2005, dalam persiapan penerbitan ). Hingga kini aktif menulis di berbagai media massa.


Kajian Perempuan :
Cantik sebagai mantera abadi

Baru beberapa waktu berselang kita menjadi saksi betapa para gadis muda kita dilanda demam untuk menjadi selebriti. Ketenaran, nama besar dan hidup enak sebagai orang beken disepakati sebagai buah impian mereka yang penuh damba mencebur dalam berbagai kontes yang bisa menjadikan mereka sebagai seorang bintang secara instan. Tapi itu sekedar tren, sebatas warna-warni sebuah musim, yang akan berganti pada ragam lainnya.
Tapi hasrat untuk menjadi cantik adalah mantera abadi, yang tak pernah lekang pengaruhnya sejak awal peradaban manusia. Menarik sekali apa yang diungkapkan oleh majalah pria Salon (edisi November 2004 ) tentang kegairahan tanpa henti untuk tampil menjadi cantik dalam special section di majalah ini : History of Beauty. Dalam artikel panjang ini secara menarik dikisahkan mitos keindahan para dewi kecantikan dari Ratu Helena (Helen of Troy), Cleopatra hingga para selebritis belia Hollywood seperti Liv Tyler .
Ratu Helena yang menjadi biang keladi pecahnya Perang Troya yang berdarah itu, dianggap sebagai wanita yang memiliki ‘kecantikan berbisa’, ‘le femme fatale’ ( si cantik yang mematikan) dengan sorot mata indah yang mengandung bius, seperti digambarkan oleh pujangga Homerus. Cleopatra menduduki peringkat kedua dengan resep istimewa mandi susu plus madu, yang masih diadopsi oleh para wanita sekarang ini. Kemudian para dewi tahun enam puluhan yang bentuk tubuh seindah Venus seperti Raquel Welch, hingga citra dewi muda Hollywood yang dipandang mewakili kecantikan alami, jauh dari rekayasa fisik secara medis, yakni Liv Tyler.
Namun menurut saya, yang menarik bukan apa atau siapa yang menghiasi deret galeri para dewi kecantikan versi Salon ( yang bisa saja disusun ulang oleh redaksi media lainnya ) namun penjelasan bahwa kecantikan , walaupun tetap menjadi mantera memikat bagi setiap wanita di mana saja, telah bergeser maknanya, dari masa ke masa. Kecantikan yang semula dikagum sebagai seni keindahan ( art of beauty , yang barangkali mewakili tahap pemikiran mitik ) bergeser sebagai ‘teknologi keindahan’ (science of beauty) yang mewujud lewat teknologi kecantikan artificial seperti bedah plastik, implan sel hidup atau terapi ozon dan sebagaianya.
Dan bagai para pendamba kecantikan, ‘science of beauty’ bahkan mejadi mantera baru, dengan ‘kuil-kuil baru’ berbagai salon kecantikan yang ekslusif dan mewah, dengan peralatan moderen yang menggabungkan kemampuan medis rumah sakit dengan kenyamanan pelayanan hotel berbintang lima.

Tubuh yang resah
Tubuh menjadi obyek baru bagi senirupa kecantikan, menjadi obyek utama sebuah modifikasi atas nama estetika. Dalam Body Modification, yang disunting oleh Mike Featherstone, ( Thousand Oaks, London 2000 ) - menurut saya merupakan sebuah antologi paling komprehensif yang menjelaskan tentang ‘politik tubuh’ dan hasrat abadi untuk cantik - menyebutkan, bahwa tubuh manusia akhirnya menjelma menjadi pemujaan baru dalam sudut pandang studi kebudayaan. …..( The human body is the new fetish of cultural studies.)
Dalam antologi ini, tak saja para feminis, namun juga para psikoanalis, para fenomenolog dan para antropolog, ikut mengembangkan teori yang tajam dan berbeda tentang tubuh manusia. Menjadi cantik memang lebih menyenangkan (preferable). Karena memberikan keutamaan fisik pada perempuan lebih mudah mendapatkan pasangan, pujian, atau bahkan pekerjaan. Begitu besarnya pukau mantera kecantikan sehingga membuat para wanita , dari masa ke masa, cenderung narsistis, memuja kecantikan tubuh semata.
Namun di sisi lain, kecantikan sendiri telah direduksi oleh kepentingan kapitalisme. Versi dan defenisi kecantikan yang begitu beragam sesuai kultur yang ada di dunia, kemudian diperas dalam sebuah defenisi yang seragam, versi media massa terkemuka seperti atau lembaga yang merasa punya wewenang untuk menentukan wanita tercantik sedunia, seperti konsep pemilihan Ratu Sejagat ( Miss World), misalnya.
Masalahnya, haruskah ada kelompok tertentu yang berhak menentukan kriteria kecantikan dan kriteria macam apakah yang pantas digunakan untuk memberi penilaian ? Dan bisakah mewakili suatu obyektifitas ? Bukankah setiap periode jaman serta masing-masing kebudayaan dan era-sosialnya memiliki standar sendiri tentang konsep kecantikan dan estetika tubuh ?
Industri global yang juga menjadikan kecantikan dan keindashan tubuh sebagai isu panas juga menunjukkan kecenderungan untuk bergerak secara homogen. Berbagai industri kosmetik moderen seperti L’Oreal, Estte Lauder, Lancome dan sebagainya, mendirikan berbagai lembaga riset di seluruh dunia bahkan dalam kepentingan untuk menyelaraskan produk bisnis mereka dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat unik, dari berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Belenggu, candu
Tak heran bila tokoh feminis postmodern seperti Julia Kristieva menganggap bahwa kecantikan sebagai rahmat sekaligua kutukan. “ Ada semacam belenggu kecanduan dalam konsep kecantikan, sehingga wanita tergoda untuk merantaikan diri dalam citra cantik, dan mengabaikan isu strategis lainya yang tak kalah penting dalam kehidupannya. Mereka menjadi boneka yang terantai dalam etalase kekaguman para pria,” ujarnya dalam Desire in Language ( Columbia University Press, 1982.)
Kita memahami kegundahan feminis yang satu ini. Gairah para wanita untuk terus melakukan perombakan atas tubuhnya sendiri melalui berbagai tindakan bedah plastik, .body piercing, berbagai program firness, rekayasa prosthetik, dan berbagai upaya lain dari proses neural implants, hingga metode pengobatan mutakhir nanoteknologi , yang atas nama fashion dalam tahun-tahun terakhir ini, telah membuat tubuh menjadi tempat yang paling aktual untuk melakukan eksperimen.
“ Bila kecantikan menjadi mantera abadi, dengan mitos-mitos yang hampa dan tak relevan abgi aktualisasi diri, maka alangkah menderitanya tubuh wanita masa kini, “ begitu keluh Kathy Davis, dalam ' "My Body is My Art":Cosmetic Surgery as Feminist Utopia'. - The European Journal of Women's Studies. No 4: pp 23-37. (1997). Dan korban mitos ini masih saja terentang dalam jarak yang begitu panjang. Dari kawasan sibuk Manhattan hingga di sebuah salon kecantikan di Depok. Muncul lagi berita tentang si anu yang menjadi korban jiwa karena efek merusak sebuah operasi bedah plastik. Si anu ini pun bisa saja tampil dalam deretan sosial yang tak terhingga. Dari hostes sebuah klab malam murahan, hingga presiden direktur sebuah perusahaan elektronik di Maryland, AS. Ah….kecantikan kadang terasa sungguh absurb…….(Gendhys Mujiati )



Cerpen : Kejahatan Hati Nurani

Karya Nadine Gordimer


Mereka saling mengamati pada saat yang sama, ketika melangkah turun dari tangga Mahkamah Agung pada hari ketiga pengadilan itu. Di saat itu, kebetulan saja para penonton datang untuk melihat si terdakwa – melihat mereka yang bakal menanggung kurungan dinding dinding penjara karena gagasan-gagasan yang ada di kepala mereka – telah memuaskan rasa ingin tahu mereka, yang memiliki kepentingan khusus mengikuti peradilan itu dari hari ke hari. Mungkin dia seorang wartawan atau perwakilan kekuatan Barat yang mengamati proses peradilan-peradilan politik dalam problematika negara-negara itu bagi kebijaksanaan luar negeri, dan melobi kembali persoalan hak asasi manusia di Eropa Barat dan Amerika.
Dia mengenakan setelan korduray dengan potongan yang tidak lazim. Tapi saat lelaki itu berbicara, jelaslah bahwa dia pun mirip perempuan itu, seorang rumahan – dia memiliki aksen dengan gaya khas membelokkan frasa yang berhubungan dengan bahasa sehari-hari. “ Apalah arti sidang ini ! Aku tak paham…Setelah dua jam mengikutinya.. Aku merasa bagai terperangkap dalam gulungan pita yang lengket – tak berdasarkan fakta..”
Wanita itu tak bersalah. Dia seorang wanita muda dengan kelembutan ekspresi tapi terlatih dengan gaya tenunan rumahan sederhana, dalam pertemuan apapun, tanpa memberi kesan sebagai anggota pusat meditasi transendental atau kelompok yang memprihatinkan lingkungan hidup atau studio desain, melainkan suatu lambang perikemanusiaan tersendiri dari mereka yang tak memiliki apa-apa dan menanggung resiko tersendiri. Satu-satunya perhiasannya, seuntai kalung mungil dari potongan -potongan kulit unta yang tertata sepanjang benang, dan bergerak ketat pada lehernya saat dia tersenyum atau mengangguk. “ Kerja pengacara memang seperti ini..Aku melihatnya dengan jelas. Beberapa hari yang pertama, hal itu merupakan urusan orang-orang yang berusaha agar setiap orang terkecoh pada sisi yang lain.”
Di akhir pekan, mereka minum kopi bersama selama rehat siang. Lelaki itu menguterakan sejumlah impresi yang naïf dari peradilan itu, namun seolah-olah menyadari sepenuhnya akan kemudahan tipuan. Mengapa negara memanggil saksi-saksi yang tak berhak dan mengatakan rezim ini menindas semangatnya dan menghalang-halangi ambisi normalnya ? Tentu saja, karena jenis kesaksian seperti itu mendukung pembelaan, biarpun hal itu merupakan kejahatan hati nurani.? Wanita itu menggeraikan rambutnya yang indah, berdesir bagai permadani yang terbuat dari bulu kambing Anggora. “ Tunggu. Tunggu. Itu demi memantapkan keyakinan. Membuktikan keterlibatannya dengan terdakwa. Pengetahuan mereka yang mendalam mengenai apa yang dikatakan dan dilakukan terdakwa, demi menyalahkan terdakwa dalam hal yang bertentangan dengan pembelaan. Tidakkah kau melihatnya ?”
“ Kini aku melihat.” Lelaki itu tersenyum sendiri. “ Saat aku di sini sebelumnya, aku tak begitu perduli dengan persoalan-persoalan politik – aktivitas politik, kukira kau sudah mengatakannya ? Itu hanya setelah saya pulang dari seberang lautan.”
Dia menanyakan apa yang dihatapkan darinya setelah beberapa dia menghilang ?
“ Hampir lima tahun. Periklanan. Lalu komputer.” “ Hapuskan hukuman yang memberi kesan tiadanya kepentingan, mengingat riwayat kerja ini telah habis kekuatannya.” Dua tahun silam aku baru merasa ingin kembali. Aku tak bisa memberi alasan yang sebenarnya pada diriku. Aku telah melakukan jenis pekerjaan yang sama di sini – sebenarnya aku sudah menempuh kursus sekolah bisnis di sebuah universitas – lalu sedikit demi sedikir aku paham kenapa aku inginkan hal itu. Pulang kembali. Nampaknya hal itu bisa dilakukan bersama problema seperti ini.”
Air mukanya menampakkan pikirannya yang berbeda, walau alis mata dan mulut mengekspresikan pengertian yang tenang. “ Aku kira semua kesaksian ini kabur bagimu. Aku tak mengira kau adalah orang yang berdiri di luar lapangan.”
Tubuhnya kurus. Genggaman tangannya yang kecil tak ubahnya perkakas yang ditaruh di atas meja etalase sebuah warung kopi. Di luar kemampuannya, mereka memainkan bungkusan gula sementara dia menjawab,” Apa yang membuatmu memikirkan hal itu ?”
“ Agaknya banyak yang kau tahu. Sepertinya kau mengalami sendiri…Atau barangkali…kau mahasiswa hukum ?”
“ Aku ? Bukan ..,” dia memberikan sambutan bersahabat setelah seteguk-dua teguk kopi,” Aku bekerja untuk korespondensi universitas.”
“ Guru”
Sambil tersenyum dia melanjutkan,” Mengajar orang-orang yang tak pernah kulihat.”
“ Tak mungkin. Kau nampak bagaikan orang yang begitu terlibat.”
Untuk pertama kalinya, perhatian basa-basi itu berubah, jadi menghangat,” Tidakkah kau berada di London ? Tak terlibat..?”Pada perjumpaan itu, dia memberikan kartu nama pada perempuan itu, dan bercerita lagi padanya.
Namanya Derek Felterman. Itu nama yang sebenarnya. Dia menghabiskan waktunya lima tahun di London. Bekerja di sebuah biro iklan lalu mempelajari ilmu komputer di sebuah perusahaan yang bonafid. Selama di London itulah dia direkrut oleh ‘orang Kedutaan’, bukan seorang diplomat, namun seorang petugas seksi keamanan internal dari negara asalnya. Tak seorangpun tahu, bagaimana polisi rahasia mengenali para calon yang diinginkan. Hal ini semisterius gairah kawin para ayam. Namun bila dicari ciri-ciri yang sesungguhnya, perekrutan agen ini nampak gamblang, tak soal seberapa dalam seseorang bisa menyembunyikan hal ini dari dirinya sendiri.
Dia tidak bekerja untuk menyelundup dalam lingkaran para pengungsi yang bersekongkol meninggalkan kampung halamannya. Hal itu sudah diputuskan bahwa dia akan pulang dengan ‘bersih’, dan bekerja pada partai politik bayangan di sebuah kampus universitas di sebuah kota pantai. Dia lantas dikirim ke utara, ke pusat industri dan logam negara, dan mengkisahkan dirinya mendapat pekerjaan komersial biasa yang tak berhubungan dengan kampus, dan sebagai pendatang baru, dia mencari kontak di mana saja : informasi tentang para majikan yang dibiarkan tergelincir, kelompok budaya sayap kiri, gelombang poster kelompok protes, galeri publik pada peristiwa pengadilan politik.
Para majikan mempercayainya untuk mengetahui bagaimana cata menjilat dirinya sendiri; yang menjadi suatu kualitas yang diinginkannya, seperti halnya wanita yang mendambakan pria dengan karakter yang bahkan di luar kemampuannya – nampak dari sebuah sudut bibirnya yang mencibir bila dia tersenyum.
Pada gilirannya, dia cepat mengenali perempuan itu – pertama sebagai suatu tipe, kemudian, di hari ketiga, saat dia mencari pembuktian tentang perempuan itu di arsip kepolisian, saat si perempuan diam-diam pergi mengunjungi teman-temannya yang berada di penjara. Yang menjalani hukuman selama tiga bulan karena menolak memberikan kesaksian dalam sebuah kasus. Aly, begitu dia menyebut dirinya sendiri. Alison Jane Ross. Ada hubungan tak langsung antara kepentingan Allison Jane Ross di pengadilan sekarang ini, dengan orang-orang yang sedang diadili, dan sudut pandangnya ini tak meniadakan kemungkinan keterlibatannya dengan pemimpin organisisasi atau kelompok aksi subversif yang ingin mencari nama.
Felterman nampak senang bersahabat dengannya. Sambil membawa kotak berat berisi buku-buku dan sebuah alat pemanggang, dia bertanya andai Aly ingin nonton drama dengannya di malam Minggu. Sayangnya dia sedang pindah rumah pada hari Sabtu, tapi siapa tahu Felterman bersedia datang dan membantu ?
Lelaki itu ada di sana tepat waktu. Keluarga kawan-kawannya diperkenalkan dengan nama kecil, memberikan bantuan ganda dengan sebuah combi tua,- station wagon yang kehilangan daya pegas, mengangkuti makanan drngan energi kasih sayang sebagai bahan bakarnya. Selesailah perpindahan dari sebuah flat ke sebuah rumah mungil dengan sebatang pohon palem tua yang mengisi seperempat bidang taman, daun-daunnya yang kering terasa mengganggu bila angin berhembus, juga suara serangga besar yang menggosok-gosokkan kakinya bersama-sama.
Bersama senandung malam makhluk itulah , mereka bercinta untuk pertama kalinya dalam sebulan ini. Walaupun Robs, Jimbo dan Ricks sama baiknya dengan Jojos, Bets dan Lils dalam hal mencium dan memeluk sahabat mereka , Aly,- namun sebagai kekasih, lelaki ini tak tergantikan. Walau faktanya, perempuan itu agak merasa canggung menjalin keintiman, seperti yang juga diperlihatkan lelaki itu padanya. Namun disana ada sebuah kamar bagi mereka berdua.
Pada awal kedekatan mereka, bahkan sebelum mereka menjadi sepasang kekasih, dia berniat menceritakan pengalamannya selama di penjara. Namun dia mengatakannya dengan kalimat basa-basi yang dangkal – selimut yang berbau antiseptik dan kucing yang selalu mengelilingi ruangan bersama pasangannya. Kini dia tak lagi bertanya tentang wanita lain pada lelaki itu, dan terkadang ada beberapa kehangatan tak terduga, rasa saling mengisi yang terpancar, kenikmatan seksual yang masih terasa, yang diakui lewat anekdot konyol, affair masa lalu, dengan wanita yang menguasai ruang dan waktu mereka.
Saat kesempatan yang baik muncul secara alami, dia pun bercerita tanpa rasa malu, dendam atau kesombongan yang sepertinya dibutuhkan setelah hidup selama tiga tahun bersama seseorang, yang pada akhirnya, kembali ke pelukan isterinya. Belakangan ini ada satu-dua affair singkat – ‘ Terkadang – tidakkah kau temukan – seorang sahabat lama yang mendadak terasa asing..? Dan keesokannya kembali sama seperti sedia kala, sepertinya tak ada yang berubah.”
“ Bukankah sahabat adalah sesuatu yang amat penting bagimu ? Maksudku setiap orang adalah sahabat, tapi kau…Kau benar-benat nelakukan apapun untuk sahabat-sahabatmu.Benar kan ? ”
Hal ini tercermin dari reaksinya yang lebih baik daripada sekedar kata belaka. Pengalaman yang dilewatkannya selama tiga bulan di penjara. Dia mengangkat ujung rambutnya yang keriting di keningnya, dan wajahnya yang berbintik nampak kontras dengan bagian yang merona di bawahnya : “ Mereka memang sahabat bagi diriku.”
“ Ini bukan masalah persahabatan saja – tentunya aku melihat para sahabat sebagai ikatan sejiwa…”
Dia memandangnya bagai seorang anak yang memandang lewat sebuah jendela pada kisah yang lain. Dia membungkuk dan menggenggam tangannya, menciumnya di kelopak mata masing-masing, dengan jenis dekapan yang senelumnya tak pernah saling mereka berikan.
Walau begitu, teman-temannya agak terabaikan juga, suatu hal yang disetujui Felterman. Lelaki itu ingin masuk dalam kelompok itu secara lebih erat, hal yang wajar bagi doa orang yang terlibat kisah cinta yang penuh gairah. Juga bisa dipahami bahwa Felterman tak punya kenalan lebih banyak daripada mereka, dia telah lima tahun meninggalkan rumah, baru dia tahun kembali ke kota pantai itu. Dia menyegarkan lagi kesenangan Aly, yang telah ditinggalkannya di masa lalu, saat dia masih menjadi siswa; bermain ski air dan mendaki. Mereka oergi bersama menonton pertunjukan teater rakyat penduduk pribumi, bagian dari kursus politik yang diberikan padanya tanpa melalui korespondensi, tanpa menyadari apa yang dilakukannya dan tanpa memberinya nama yang berlebihan.
Aly tak mengajaknya ke diskotik, melainkan melibatkan dalam kontak penting yang dilakukannya bersama sekelompok temannya dari ras dan warna kulit yang berbeda., dengan pengandaian bila Felterman berada dalam pesta-pesta perempuan itu, dia menari lebih cepat darinya, dia belajar dari orang-orang Negro bagaimana cara mendayagunakan tubuhnya untuk musik. Dalam transformasi ini, dari tempat dia minum dan mengamati Aly dan teman-temannya, perempuan itu nampak binal dan begitu menggairahkan. Terkadang dia kembali pada Felterman, bersama persembahannya : makanan dan minuman yang dibawanya.
Bulan demi bulan pun terlewatkan. Lelaki itu melihat pola-pola tertentu dalam persahabatan si wanita , hingga melebihi hidupnya bersama wanita itu, yang memasuki wilayah-wilayah terlarang dan di antara orang-orang yang dibatasi hukum pergaulan, seperti wanita yang menyebabkan dia masuk penjara, secara bertahap wanita itu mendapatkan rasa percaya diri untuk mendekatkan lelaki itu pada resiko . Tanpa pernah mendiskusikannya, namun jelas secara sensitif selalu mencoba mengukur seberapa banyak dia benar-benar ingin mengetahui ‘ mengapa dia ingin kembali melakukan ‘hal seperti ini’.
Memang lebih sulit untuk meninggalkannya, apalagi di larut malam, sendiri di bawah udara kering, hasutan beku pohon palem tua , dengan sedir daunnya yang merisaukan hati. namun walau dia tahu telah tercipta tempat baginya untuk berdiam di pondok bersama perempuan itu, dia telah kembali ke flatnya, yang lebih mirip sebuah kantor yang tak dihuni, kecuali kursi dan meja berdebu yang didudukinya untuk menulis laporan, yang hampir tak dapat dituliskan di rumah yang didiaminya bersama wanita itu.
Dia sering bicara dengan wanita itu ketika berada di penjara. Aly selalu mengawali pembicaraan pada semua topik. Namun ketika mereka baru saja menyimpan senjata lain, jauh dari jangkauan dan tak terliput penyelidikan dan terluput dari cermatnya pengawasan, dia menceritakan kisah yang sebenarnya : kenapa dia memanggung resiko, untuk siapa dan apa yang telah disepakatinya. Dengan penuh hasrat, Aly menantikan kata kunci. Dari lelaki itu.
Itu adalah sebuah kata sandi yang tak dimilikinya. Itu adalah sebuah kode yang tak diberitahukan padanya. Dan kemudian ketika malam lain tiba, dia menemukan kode itu . Malam itu juga dia berkata; “ Aku telah memata-mataimu.”
Raut wajah wanita itu terhenyak dalam sebuah momen yang terpusatkan dalam dunia binatang, di mana mahkluk yang terancam berubah menjadi bola paku atau merubah ketakutannya dengan menggelembungkan ototnya dalam sikap bertahan yang menyala-nyala.
Momen ini dengan cepat menghilang dari wajahnya saat dia melangkah. Felterman menghalangi langkahnya saat seorang lelaki bersenjata muncul di belakang punggungnya.
Perempuan itu bergerak cepat melintasi ranjang, tangannya menjangkau kepala lelaki itu, dan menjambaknya.

Terjemahan : Heru Emka. Dari kumpulan cerpen Nadine Gordimer ”CrimesofConscience”. Heinemann - African writer series-, 1991




Catatan Kecil :
Nadine Gordimer dan Kelembutan yang Membadai

Nadine Gordimer, seperti penerima Nobel lainnya; Günter Grass dan Alexander Solzhenitsyn, adalah figur yang menjulang dalam sastra dunia dan sekaligus menjadi lambang keteguhan moral bagi bangsanya. Dia menjadi teladan bagi keteguhan sikap yang gigih bertahan melawan tekanan rasisme di Afrika Selatan. Dia juga menjadi pemuka bagi toleransi, kebebasan berbicara dan pemahaman keberagaman, walaupun menghadapi tekanan politis dan tiga karya sastranya dinyatakan terlarang.
“ Menulis membuatku menyelami hidup, menembus permukaan kehidupan Afrika Selatan,” katanya. Karya sastra Nadine lahir dari pergulatan batinnya melihat penindasan terhadap kaum kulit hitam di negerinya. Namun Nadine sendiri adalah sastrawati yang anti propaganda. " I have never allowed myself to write propaganda, however strongly I have felt for the people on my side," ujarnya dalam antologi The Essential Gesture: Writing, Politics and Places.( New York: Alfred A. Knopf, 1988.)
Dalam karya-karya Nadine, semua yang terungkap jauh dari kesan gemuruh atau kegusatan yang meledak-ledak, sebaliknya rasa cinta pada tanah air dan kemanusiaan diungkapkan dengan halus dan tidak serta-merta. Seperti sastrawan lainnya; Alan Paton dan JM Coetzee, Gordimer mampu menyajikan gambaran dramatis negerinya, kekerasan yang dilakukan oleh rezim yang razis, suasana negara totaliter yang serba mengungkung. Serta suasana yang membuat orang saling mengingkari hati nurani, saling menghianati dan memata-matai.
Tak heran bila dalam novel-novelnya seperti The Conservationist (1974) dan Burger's Daughter (1979) karakter yang ditampilkannya akrab dengan pembuangan dan pengasingan. Dia menggugat dunia mapan kaum kulit putih, dan mengajak mereka untuk mempertanyakan kepantasan moral dari penerapan politik Apartheid yang ada. Nadine Gordimer membidik semua ini dengan gaya bertuturnya yang lembut, dia melenggang dengan narasi yang kaya akan detil, yang membuatnya unggul, baik dalam karya novel atau cerita-cerita pendeknya.
City Lover’s (1975) adalah salah satu noveletnya yang mengisahkan bagaimana percintaan sepasang manusia yang berbeda warna kulitnya direnggutkan oleh peraturan penguasa. Berkisah tentang seorang geolog Austria yang kesepian dan menjalin hubungan dengan perempuan berkulit hitam, pegawai sebuah supermarket, yang lembut dan pemalu. Mereka segera saling mencinta dan menemukan hari baru yang jauh lebih bermakna, dan saling mengisi kekurangan masing-masing, yang sebelumnya tak terasa.
Tak saja dalam hasrat mencinta dan dicinta, namun juga dalam keseharian masing-masing.
Si kekasih perempuan tak saja menampilkan kelembutan cinta saat mereka tidur bersama, namun juga kaya perhatian ; selalu membawakan makanan kesukaan kekasihnya, dan menjahitkan kancing bajunya. Sedangkan si kekasih lelaki menunjukkan perhatian dengan membelikan hadiah, mengajari mengetik dan memperbaiki kemampuan berbahasa Inggris perempuan yang dicintainya. Yang lebih penting lagi, menunjukkan keteguhan sikap untuk mencintai pacar kulit hitamnya, walau apapun yang terjadi. Itulah sebabnya polisi menggerebek mereka di suatu malam, karena undang=undang pemerintah melarang hubungan antar ras.
Karya sastra Gordimer selalu merupakan kesaksian pada keyakinannya akan kekuatan rasa kemanusiaan dan kemampuannya untuk mengatasi apa yang disebutnya sebagai ‘kekerasan penderitaan’ (‘the violence of pain’) walau penderitaan itu secara bertubi-tubi dimunculkan (dilembagakan) oleh negara. Dalam cerita pendeknya yang berjudul Kejahatan Hati Nurani ( Crimes of Conscience), Nadine mengisahkan bagaimana seorang lelaki tega menghianati kekasihnya, bahkan memperalat cinta untuk memata-matai aktivitas politik kekasihnya, lalu menjebak dan menjebloskannya ke penjara. “ Politik apartheid tak saja memisahkan hak hidup sesama manusia, namun juga secara sistematis meracuni mereka dengan gagasan keunggulan ras, memberi peluang bagi penghianatan terhadap cinta dan kemanusiaan itu sendiri,” tutur Nadine dalam The Guardian.

Hutang budi tak terbayar
Lewat karya sastranya, Nadine tak henti menyuarakan, bahwa pemerintah Apartheid Afrika Selatan harus menyadari kesalahannya, memandang tendah kaum kulit hitam. “ Mereka harusnya berterima kasih karena menumpang di tanah air saudaranya yang berkulit hitam. Secara sosial, budaya dan geografis, kita jelas berhutang budi yang tak terbayar pada mereka,” ujar Nadine lagi. Hal ini digambarkan dengan bagus dalam novelnya; July’s People, yang berkisah tentang bagaimana seorang pelayan hitam menyelamatkan keluarga majikan kulit putihnya, membantu mereka melarikan diri dari bara api perang saudara yang melanda kota Johannesburg. July, si pembantu kulit hitam ini bahkan bersusah payah dan menempuh banyak resiko untuk melindungi keluarga majikannya, dengan membawa mereka mengungsi ke kampung halamannya.
Memang, karakter dalam novelnya seing hidup dalam baying-bayang kekerasan, dalam ancaman brutalitas yang sebelumnya tak terbayangkan. Pemisahan ras dan perbedaan kelas, konvensi kehidupan dan aturan-aturan yang membelenggu kebebasan dan hak asasi manusia yang sepertinya tak terlawan, namun di ufuk sana masah saja berpendar cahaya harapan, yang dengan misterius memberi kekuatan dari dalam untuk bertahan. Menggenggam kehidupan lebih baik di masa depan. Melalui kelembutan bahasa dan karakterisasi yang tak kenal takut, Gordimer menjadi tandingan bagi propaganda rezim Apartheid, semua yang terjadi dijantung kegelapan ini diungkapkan secara diagnostik dan tidak sentimental.
Nadine juga tak henti menekankan, bahwa siapa pun, secara individu, bila punya keberanian dan cukup niat, akan menang melawan penindasan. Karena itu janganlah sampai kehilangan harapan. Keteguhan yang tak pernah hilang dari karya Nadine Gordimer ini, setidaknya mengingatkan saya pada keteguhan melawan tirani yang absurd dalam novel Kafka; The Castle. Nadine yang dilahirkan pada 1823 ini telah lama menjadi – apa yang digambarkan oleh Seamus Heaney sebagai ‘ pejuang gerilya imajinasi’, hingga dia menjadi sastrawati Afrika Selatan yang pertama yang meraih Nobel Sastra di tahun 1991.
Nadine percaya bahwa fiksi, yang berbeda dengan fakta berita sehari-hari, bisa meningkatkan keperdulian sosial masyarakat secara permanen. Lebih dari setengah abad dia dengan tekun menghasilkan karya sastranya; tiga belas novel, lebih dari dua ratus cerpen dan beberapa buku esai. Tiga novelnya pernah diberangus oleh rezim Apartheid, sebaliknya lebih dari dua ratus esai tentang karyanya telah ditulis oleh para kritisi sastra di seluruh dunia, dan telah ditulis sepuluh buku yang membahas karya sastranya. Termasuk yang paling komprehensif seperti yang ditulis oleh Stephen Clingman; The Novels of Nadine Gordimer: History from the Inside (London: Bloomsbury, 1993). Di samping itu, karya Gordimer juga diterjemahkan dalam lebih dari tiga puluh bahasa. Nadine sendiri telah menerima lima belas gelar doktor honoris causa serta beberapa anugerah sastra di samping Nobel itu sendiri.. Dia secara pribadi juga tak pernah henti memberikan dukungan pada para penulis untuk menggunakan hati nuraninya untuk melawan ketidak adilan yang ada di mana saja. ( Emka )



Budaya Pop : Jagoan bagi si kulit hitam


Sebagian penghuni perkotaan di Indonesia pasti mengenal nama beken seperti Batman, Superman, atau Spiderman. Mereka tadi adalah para manusia digdaya (superhero) yang mencuat dari komik Amerika, yang telah lama menjadi ikon budaya pop, yang pencitraannya mencapai puncak melalui film Hollywood. Menurut ensiklopedi Wikipedia, defenisi superhero adalah : ‘ a fictional character who is noted for feats of courage and nobility, who usually has a colorful name and costume and who possesses abilities beyond those of normal human beings,’ . Maka penampilan Superman, si manusia baja, atau Batman,si pangeran Kegelapan, dengan segala kehebatannya menambah kemualiaan mereka sebagai pembasmi kejahatan, semakin mengesankan sebagai idola fantasi. Kostum atau nama mereka yang beraneka macam selalu memberi sesutu yang baru.
Uniknya, para superhero yang mewarnai budaya pop Amerika sejak tahun 1958 ini semuanya digambarkan sebagai orang kulit putih. Lihatlah para tokoh utama dalam DC Comic; Superman, Flash, Batman dan Robin, Green Lantern atau Wonder Woman,- semuanya ras kulit putih. Begitu juga tokoh utama komik Marvel; Captain America, Spiderman, Hulk, Wolverine dan Cyclop. Mereka bahkan bersatu dalam kelompok Liga Keadilan untuk ‘menyelamatkan dunia’.
Bila budaya pop menikmati kemunculan mereka sebagai kisah fantasi yang menyenangkan, kalangan masyarakat kulit hitam di AS banyak yang merasa sebal. “ Hasrat mereka untuk menjadi penguasa dunia bahkan sudah melebar ke dunia fantasi. Karena dalam dunia nyata, yang menjadi lambang supremasi dalam soal kekuatan atau menguasai kecepatan adalah kaum kulit hitam Amerika. Sepanjang sejarah dunia olah raga, tinju, atletik, basket, foot ball,- orang kulit putih tak ada apa-apanya dibanding kami,” tutur Ice Cube, penyanyi rap yang mulai beken sebagai aktor film laga.

Black Panther
Dia benar. Baru di tahun ’60-an, superhero dari ras lain muncul dalam komik Marvel, dengan tampilnya Black Panther (1966) sebagai superhero kulit hitam yang pertama, disusul oleh tampilnya Luke Cage, jagoan Afro-Amerika yang melindungi warga kulit hitam Brooklyn dari gangguan penjahat kulit putih. Blantika komik AS agaknya menyadarai kekeliruan mereka. Marvel, misalnya, di tahun 1975 segera mendisain ulang karakter para jagoannya dalam X Men dengan menampilkan tokoh baru; Storm, yang berasal dari Afrika, sebagai superhero wanita kulit hitam yang pertama.
Namun hal ini belum memuaskan seniman komik Afro-Amerika yang berkulit hitam. Denys Cowan misalnya. “ Dalam dunia komik pun kami ditempatkan dalam urutan kedua. Storm, walau digambarkan bisa menguasai cuaca, memanggil petir dan badai, namun hanya pelengkap regu saja. Lihatlah, dalam dua film X Men, dia tak kebagian peran yang menonjol. Itulah sebabnya kami menciptakan jagoan kami sendiri,” tutur Denys, yang bersama penulis Dwayne McDuffie dan enterprener Derek Dingle mendirikan Milestone Media (1993), yang meraih sukses sebagai penerbit komik yang menampilkan superhero berkulit hitam.
Herbert Gans, dalam Mass culture: the popular arts in America, menyebutkan bila sukses ini berkaitan dengan ‘hubungan saling membutuhkan antara kreator dan penggemarnya’ “ Masyarakat Asfro-Amerika membutuhkan jagoan yang menonjolkan citra mereka sebagai pria dengan karakter hypermasculine, sosok tegar yang dengan enak melabrak lawan tanpa jarak, seperti sosok jagoan layar perak yang diperagakan oleh Denzel Washington, Wesley Snipes, Mario van Peebles, Eddie Murphy, atau Chris Rock.
Dari kubu komik Marvel sendiri, sejak Februari 2005 kemarin, sepakat untuk menonjolkan ikon jagoan hitamnya yang paling terkemuka ; Black Panther, untuk diangkat ke layar perak. Dia adalah jagoan kulit hitam yang pertama dan terhebat dalam sejarah komik Amerika. Dia kuat, cerdas, kaya raya dan memerintah kerajaannya sendiri dengan bijaksana. Kehebatannya tak kalah dengan jagoan kulit putih lainnya. Bahkan dalam beberapa kisah, dia sempat mengalahkan Kapten Amerika,” ujar Axel Alonzo, seorang editor senior Marvel.
Karena itu, Marvel secara khusus akan meluncurkan lagi kisah Black Panther dalam versi baru, yang digarap oleh komikus kondang John Romita Jr. Episode yang berjudul Who is the Black Panther ini akan menjelaskan asal usul Black Panther sebagai raja sebuah kerajaan bernama Wakanda. “ Wakanda adalah sebuah surga di Afrika yang masih bebas dari pengaruh Eropa. Mereka punya kebudayaan dan teknologi yang cukup tinggi,” tutur sutradara Reggie Hudlin, yang terpilih untuk menyutradarai film Black Panther. Di film ini, para penjahat ulung seperti Klaw, Rhino, Black Knight dan Batrock berencana menyerbu Wakanda untuk menaklukkan Black Panther dan menguasai negeri yang kaya dengan logam berharga, sehebat uranium. “ Tentu saja Black Panther mampu menaklikkan semua tantangan, walau dia berhadapan dengan senjata canggih para penjahat serta kekuatan super para serdadu bayaran seperti Black Knight atau Batroc,” tutur Reggie Hudlin.
Sebagai karakter fiksi dalam komik Marvel, Black Panther diciptakan oleh Stan Lee dan Jack Kirby,. Jagoan berkostum macan kumbang ini pertama kali muncul dalam edisi Fantastic Four # 52 (Juli 1966). Naluri bisnis Stan Lee memang jempolan, karena memunculkan karakter Black Panther bersamaan dengan maraknya gerakan politik kaum kulit hitam AS, serta naik daunnya Partai Black Panther. Tak heran bila kemunculan tokoh Black Panther disambut hangat masyarakat Afro-Amerika AS. Hasilnya, komik Marvel menemukan segmen pembaca yang lebih luas.



Supremasi Afrika
Jeffrey A. Brown, dalam Black superheroes, Milestone comics, and their fans. (University Press of Mississippi, 2001), menyebutkan bila para eksekutif di komik Marvel punya kemampuan jitu untuk meramu antara perhitungan bisnis, prediksi politis dan dan naluri promotor tinju. “ Mereka selalu mencoba mengadu para tokoh fiksi mereka, yang diciptakan dengan mewakili suatu tipikal masyarakat tertentu. Dan orang merasakan sensasi semu ketika penduduk Roma luruh dalam pertarungan para gladiatornya.. Para jagoan berkulit hitam ini amat antusian untuk tampil agar bisa mengembalikan supremasi Afrika, yang karena ‘kecelakaan sejarah’ terjebak dalam penjajahan kaum kulit putih.”
Karena Black Panther punya banyak penggemar, maka jagoan ini dibuatkan serial khusus dalam Jungle Action, yang ilustrasinya digarap sendiri oleh komikus legendaris, Jack Kirby, yang secara khusus malah menggarap Black Panther sebagai sebuah biografi fiksional. Tokoh yang berada di balik kostum Black Panther adalah T’Challa, raja kerajaan fiktif yang bernama Wakanda, yang buminya menyimpan logam ajaib yang disebut vibranium ( analogi dari Afrika Selatan yang punya tambang uranium ). Logam dari angkasa luar inilah yang memberi kekuatan super bagi Black Panther disamping khasiat ramuan tradisional Afrika dari sejenis tanaman yang berbentuk seperti jantung hati.
Sebagai seorang pangeran, ternyata T’Challa cukup intelek. Dia sempat berkelana di New York dan bersahabat dengan kuartet jagoan The Fantastic Four, serta kuliah di Universitas Oxford, mendalami ilmu fisika hingga meraih gelar Ph.D. Hal ini membuat Black Panter punya martabat yang sejajar dengan superhero elit seperti The Fantasric Four, yang terdiri dari para ilmuwan terkemuka. Sepintas lalu, hal ini hanya kreasi dari imajinasi liar Stan Lee dan Jack Kirby, yang dikenal sebagai pencipta karakter manusia super seperti Spiderman atau Fantastic Four.
Namun supremasi kaum kulit hitam memang bukan sekedar kata-kata dalam buku cerita. Keunggulan fisik mereka dalam dunia olahraga, atau superioritas mereka dalam budaya – sebenarnya mereka lah yang melahirkan musik blues, rock dan jazz - bisa merubah fakta sejarah, bila selama ini mereka dinomorduakan dalam sejarah Amerika.
( Galih Asmaradana )



Film : Bush Dalam Incaran

Bicara tentang film yang mengisahkan pembunuhan seorang presiden, biasanya kita menemukan dua hal : Peristiwa yang difilmkan itu kisah fiktif ( seperti film The Day of Jackal atau The Assasination of Presiden Nixon ) atau bisa juga merupakan kilas balik dari tafsir ulang sebuah peristiwa yang telah silam. Misalnya film JFK garapan Oliver Stone, yang menafsir ulang pembunuhan misterius Presiden John F. Kennedy.
Namun film Death of a President memberi premis baru, karena film ini bergaya dokumenter (documentary-style ) yang tidak lazim - mengemas alur fiksi yang spekulatif tentang pembunuhan Presiden AS yang ke 43; George W. Bush,yang sedang memerintah AS sekarang ini. Film yang digarap secara ‘dingin’, cerdas dan menggigit, yang membuat penontonnya memahami peristiwa ini sebagai ‘reaksi’ dari rentetan aksi yang sudah dilakukan oleh Presiden Bush terhadap dunia.
Film yang ditulis dan disutradarai oleh Gabriel Range ini tentu menjadi film
sensasional, dianggap sebagai film yang ‘amat politis’ oleh kalangan pemerintahan AS,-
walau sebenarnya menampilkan skenario yang cukup ‘wajar’ , yang menyisakan pertanyaan :
Apa yang terjadi kemudian bila seorang pemimpin dunia yang paling dibenci terbunuh di
dalam lingkaran pengamanan internalnya ? Sepanjang sejarah, sebelumnya sudah ada tiga
presiden AS yang terbunuh dan CIA mewaspadai bila setiap presiden lainnya pun
menghadapi ancaman yang serupa.
Death of a President langsung menohok dengan peristiwa pembunuhan Bush dan upaya pengejaran pembunuhnya, tanpa menyingung bagaimana situasi politik – baik secara global maupun domestik kawasan AS – paska pembunuhan yang digambarkan mendorong Wakil Presiden AS sekarang ini; Dick Cheney, naik ke tampuk singgasana sebagai Presiden AS berikutnya. Peristiwa di film ini digambarkan terjadi pada bulan
Oktober 2007, dan berjalan hingga era setahun kemudian, yang ‘merubah wajah AS secara total’.
‘Saat itu’ Presiden Bush berada di Hotel Sheraton Chicago, untuk memberi sambutan pada suatu konferensi bisnis tingkat tinggi. Saat meninggalkan hotel inilah Bush ditembak dua kali dan bergegas dilarikan ke rumah sakit, di mana dia dinyatakan tewas setelah operasi darurat yang dilakukan petugas medis gagal menghentikan pendarahan hebat yang terjadi. Hukum "Patriot Act III" yang dilaksanakan setelah penembakan Bush, agaknya telah direkayasa secara politis,dalam tempo satu jam, dan Presiden Cheney beserta jajaran stafnya mencari pembenaran bagi beberapa alasan untuk mengkambinghitamkan Suriah, lalu menyerang ke sana..

Fiksi faktual
Gaya film yang oleh para kritisi film disebut sebagai gaya fiksi-faktual ini memang menjadi pilihan yang cukup favorit bagi bagi para sineas alternatif, yang berhasil diujicobakan untuk menembus kebekuan gaya sinema komersial ala Hollywood. Jenis film seperti ini biasanya tampil dalam berbagai pesta film yang menitikberatkan pencapaian yang lebih intens dalam pembuatan film, seperti arena Festival Film Cannes, Festival Film Berlin, Festival Sundance dan sebagainya. Khalayak perfilman AS sendiri seharusnya tidak terkejut dengan model penceritaan seperti Death of a President, karena sebelumnya Michael Moore dalam Fahrenheit 9/11 pernah menyajikan gaya serupa dalam tema yang berbeda, yang memprovokasi opini publik bahwa ‘President Bush mengetahui rencana serangan 11 September’ dan ‘membiarkan’ peristiwa kelam itu terjadi’.
Gaya editing rapi jali yang menyisipkan wajah anggota staff kepresidenan yang fiktif yang dipadu dengan footage dokumentasi aktifitas kepresidenan Bush yang nyata, peristiwa sehari-hari yang terjadi seputar agenda kegiatan Gedung Putih, membuat semua yang digambarkan dalam film ini seperti benar-benar terjadi. Bahkan salah satu upaya cerdik yang dilakukan Range untuk membuat peristiwa penembakan Bush seperti benar terjadi, dia menggunakan footage dari demo di Chicago dalam kunjungan Bush ke kota itu di tahun 2005, yang merupakan demo anti-Bush terbesar yang dilakukan oleh rakyatnya sendiri. Kiat seperti ini ternyata mampu menjadikan Death of a President sebagai sebuah bandingan bagi realitas yang nyata. Dan saat film ini diputar di Festival Film Cannes, dinyatakan sebagai drama yang menghentak (‘electrifying drama’) yang memberi peringatan bahwa akhir kepemimpinan seperti itu memang layak terjadi. Rangkaiana wawancara tentang pro-kontra langkah yang dilakukan Bush di bidang politik dan militer, menunjukkan kekecewaan rakyat AS pada strategi perang Bush dan politik ‘polisi dunia’ yang menjadikan AS, beserta semua rakyat dan kepentingannya berada di pusaran konflik dunia.
Namun memang pantas bila kalangan perfilman Inggris menanggapi reaksi pihak AS yang dirasa terlalu berlebihan untuk sebuah film. “ Saya menerima protes resmi dari tiga anggota Kongres AS, yang menuduh film ini sebagai provokasi politik,yang bisa mendorong persekongkolan dan niat jahat terhadap Presiden Bush. Namun tak ada alasan untuk menggunakan pikiran besi pada sebuah karya seni, yang memadu realitas yang ada dengan sebuah pengandaian, yang menjadi bentuk lain dari imajinasi, “ ujar Gabriel Range di media terkemuka di Inggris, The Guardian.

Merayakan ‘kematian’ Bush
“ Tak ada alasan untuk merasa terancam dengan film ini. Ini merupakan bentuk lain dari tanggung jawab dan pengamatan pada dunia yang kita tinggali bersama. Bisa jadi film tak memberi gagasan apapun bagi seseorang untuk menyumbangkan konsep harmoni masyarakat dunia yang dipandang ideal. Tapi bagi presiden yang baik seperti Abraham Lincoln saja terbunuh oleh seseorang dengan motif yang tidak jelas, yang bisa menimpa Bush terntu bisa saja berdasarkan setumpuk alasan, yang memang tersedia bagi Bush. Orang Irak misalnya, akan merayakan kematiannya dengan penuh suka cita,” ujarnya lagi. Di Cannes, hadirin merayakan Death of a President sebagai sebuah film dengan pendekatan yang unik, sama dengan film lainnya yang diputar di sana, seperti The Host, Pan's Labyrinth atau Rescue Dawn. Tak ada komentar yang menuding film ini sebagai propaganda politis.
Tudingan dari kubu Bush yang terlontar pada kalangan sineas Inggris, yang mempertanyakan sikap mereka sebagai ‘sekutu atau musuh dalam selimut’ dalam upaya mrlawan terorisme, ditanggapi dengan enteng. “ Film adalah bentuk kreatifitas yang takbisa dipagari oleh pendapat sempit sebuah pemerintahan. Imajinasi tak bisa dipasung dengan alasan keamanan, karena sebagai pejabat di sebuah negara yang menyebut dirinya sebagai tanah air demokrasi, bagaimana mungkin mereka punya visi yang begitu picik soal karya film. Death of a President adalah sebuah pengandaian, yang hanya bermain-main dengan fakta yang ada, “ ujar David Thomson dalam The Guardian. Dan lagi, pembuatan film fiksi-faktual seperti ini sudah menjadi ‘tradisi’ tersendiri bagi sinema Inggris. Sejak tahun ’60-an, misalnya, gaya seperti ini sudah dimunculkan oleh Peter Watkins lewat filmnya seperti The War Game dan Punishment Park, yang mengolah isu-isu sosial-politik pada masa itu.
Bahkan sebelum menggarap Death of a President , George Range sudah menyutradarai film serupa yang berjudul The Day Britain Stopped (2003) yang berkisah tentang apa yang terjadi bila tranportasi publik tak berfungsi akibat serangan teroris . Film ini sendiri mengacu pada fakta serangan bom yang menghajar jaringan kereta api dan bis kota Inggris. Sebelumnya (2002) juga membuat sebuah film doku-drama yang berjudul The Menendez Murders. Peran editor Brad Thumim, yang begitu piawai memadu gambar dari berbagai peristiwa yang sengaja dibuat sebagai fiksi dengan rangkaian adegan film dokumenter yang sesungguhnya.
Menyindir langkah AS yang menggunakan tragedi 11 September untuk menyerang Irak, Death of a President menyebutkan bila pembunuhan Bush dijadikan agenda politik tersendiri bagi kalangan tertentu di AS. Para politisi, wartawan, pejabat FBI diwawancarai dan opini mereka dipakai sebagai bagian dari kesimpulan yang menyalahkan Suriah. Lalu seorang ‘tersangka’, prajurit Suriah bernama Zikri (Hend Ayoub) ditembak mati. Saksi kunci yang mengarah pada benar tidaknya keterlibatan Suriah dalam peristiwa ini sudah dibungkam. Jurus lama bagi negara adidaya untuk membenarkan teori persekongkolan mereka . ( Emka )

Dongeng Fantastik Pan's Labyrinth
Di saat genre film horror dan fantasi dibuat dengan jalinan gaya budaya pop dan komedi pasaran, maka upaya untuk menghadirkan film dengan konsep penuturan dongengan justru tampil menyegarkan. Sutradara Guillermo Del Toro yang sebelumnya pernah mengguncang Hollywood dengan film mencekam seperti Mimic, Blade II dan Hellboy, dan memberi sentuhan humanis pada film horror seperti Cronos dan The Devil’s Backbone. Lebih dari sepuluh tahun terakhir, ternyata dia telah mengembangkan kemampuan filmografinya hingga ke tingkat master, dengan karya yang secara visual merangsang perasaan dan disisipi kecerdasan.
Seperti sutradara thriller terkemuka, Alfred Hitchcock, Del Toro dengan nyaman bermain dengan pemirsanya, sementara tanda-tanda visual, yang bisa dinikmati secara emisonal beremunculan dalam kisah sebagai metafora. Dalam filmnya yang terbaru, Pan’s Labyrinth,- yang berlatarkan suasana di Spanyol pada akhir perang saudara dia menghadirkan konsep dongeng dengan misteri yang mencekam. Diawali dengan buku dongeng terbuka, dengan suara narrator yang menuturkan kisah seorang puteri mitologi yang meninggalkan kerajaannya di Dunia Bawah untuk mengembara ke dunia manusia.
Adegan kemudian beralih ke pedesaan Spanyol, di mana sebuah kendaraan membawa si dara Ofelia (Ivana Baquero) dan bundanya Carmen (Ariadne Gil) menuju akhir perjalanan mereka.. Waktu itu, tahun 1944, dan kemenangan pasukan fasis Franco menimbulkan luka parah. Ofelia dan bundanya tiba di sebuah desa di kaki gunung Navarra untuk menemui ayah tirinya, Kapten Vidal (Sergi Lopez). Walau Vidal dengan hangat menyambut isteri dan anak tirinya, dia tak bisa menggantikan posisi ayah Ophelia, seorang penjahit desa yang sederhana dan selalu memukai gadis cilik itu dengan dongengannya.
Walau Kapten Vidal menyayangi Carmen yang sedang mengandung bayinya,dia terbawa ambisinya sebagai tentara yang berusaha menumpas habis para pemberontak yang bertahan di pegunungan. Untuk itu dia bahkan merubah rumahnya menjadi pangkalan militer yang merancang berbagai operasi pembersihan yang kejam. Ofelia yang bosan dengan suasana kekerasan ini, berteman dengan Mercedes (Maribel Verdu), kepala pelayan, yang lantas menunjukkan padanya sebuah taman kuno dengan labirin rumit di dalamnya.

Monster dunia nyata
Saat menjelajah labirin itulah Ofelia bertemu dengan mahluk aneh aneh dari Dunia Bawah (Doug Jones) yang menganggap Ofelia sebagai penjelmaan Puteri Moanna. Mahluk ganjil ini lalu mengatakan ada tiga tugas sulit yang harus dirampungkannya sebelum bulan purtama tiba, ketika pintu gaib menuju Dunia Bawah terbuka, dan dia bisa kembali ke kerajaannya untuk mendampingi ayahnya, Sang Raja Dunia Bawah, yang selama ini menantikannya.
Tentu saja Ofelia tertarik untuk menjadi seorang puteri di negeri dongeng.Apalagi dia kecewa dengan keluarga dan dunianya yang dianggapnya penuh kekejaman..Dengan kepolosan gadis muda, dia menceburkan diri dalam petualangan yang mendebarkan; mengambil kunci gaib yang ‘tersimpan’ dalam perut katak raksasa, memasuki wilayah Manusia Pucat (dimainkan oleh Doug Jones juga), seorang mahluk seram dengan mata yang ada di telapak tangannya, yang mengancam akan mengganyang siapa saja yang mencicipi makanan yang terletak di ruang pestanya, yang begitu menggoda, karena berlimpah ruah dan semuanya nampak begitu enak.
Sementara Ofelia bertualang di dunia fantasi, kondisi dunia nyata semakin genting. Bukan saja karena kondisi kesehatan ibunya, namun ibunya juga memergoki Mercedes dan dokter setempat (Alex Angulo) diam-diam membantu para pemberontak.
Apalagi Kapten Vidal yang bersumpah akan membasmi pemberontak, mulai melacak jejak mereka. Dan tibalah saat bulan purnama, ketika mahluk gaib bermunculan dari Dunia Bawah, sementara di dunia nyata, manusia, monster di dunia nyata, yang tak kalah kejamnya pun siap menumpahkan darah sesamanya.

Keberanian gadis cilik
Dalam film ini, Del Toro memperagakan kepiawaiannya merangkai ketegangan dalam bentuk-bentuk visual yang memikat. Sejak ikut meramaikan Festival Film Cannes beberapa saat yang lalu, para kritikus film seakan sepakat bahwa dilm ini merupakan pencapaian baru bagi pembuatan film – yang menjadi bentuk yang lintas genre. Produsernya; Alfonso Cuaron mengatakan bila mereka tak punya dana untuk membuat film seperti Harry Potter, mereka hanya punya imajinasi tak terbatas, dan bersyukur bahwa Del Toro mampu menjelmakan imajinasinya.
Sutradara asal Meksiko ini tak saja piawai menuliskan kisah Pan’s Labyrinth, yang menjadi kisah dongeng unik, yang memadu gaya bertutur liris dari gaya dongeng Lewis Carroll dengan plot tegang penulis kisah misteri H.P Lovecraft, dengan sentuhan kisah thriller ala Clive Barker. Namun yang pantas ditenungkan dari film ini adalah berbagai binatang dan mahluk seram dari iamjinasi yang bersifat phantasmagorical ternyata tak ada apa-apanya dibanding kekejaman perang yang menjadi realitas nyata hari demi hari.
Konflik dramatis antara kebaikan dan keburukan tak lantas menjadi klise. Akting Sergi Lopez sebagai Kapten Vidal mampu memperagakan kepribadian psikosis dengan kebrutalan terpendam, yang menjadikannya monster yang sesungguhnya di film ini.Menurut saya, kualitas aktingnya malah sepadan dengan yang diperagakan oleh Ralph Fiennes sebagai Nazi jahat dalam film Schindler's List. Pendukung lainnya, Maribel Verdu ( pernah tampil menawan dalam road movie jempolan, Y Tu Mama Tambien ), sebagai Mercedes juga menampilkan permainan dramatis. Dia terbelah oleh dilemma, haruskah membela saudaranya sebagai pemberontak, atau melindungi Ofelia dan penghuni rumah lainnya dari kekejaman tentara ? Namun yang paling pantas mendapat acungan jempol adalah Ivana Baquero, yang bermain sebagai Ofelia. Kepolosannya menghadapi dunia muram dengan sudut pandang anak-anak, serta keberaniannya menghadapi kenyataan membuat gadis cilik ini lebih ‘berani’ dari kapten Vidal. Del Toro menuliskan karakter Ofelia sebagai gadis cilik yang rapuh, namun secara fisik dan emosional berkembang pesat menjadi anak-anak yang ternyata lebih cerdas daripada orang dewasa.
Dengan bantuan juru kamera Guillermo Navarro dan perancang produksi Eugenio Caballero ( yang memungkinkan terciptanya gambar indah dan set mengesankan) Guillermo del Toro tak saja menunjukkan kepiawaiannya membuat film, namun juga kemampuan memvisualkan imajinasi terpendam tentang kjisah dongeng yang ideal. Bila dicermati benar, terasa pengaruh satrawan besar seperti Jorge Luis Borges dan Arthur Machen, yang maha piawai menuliskan narasi tak panjang tak ubahnya kalimat indah negeri dongeng. Dan Pan’s Labyrinth memang sebuah penghormatan (homage) pada semua dongeng klasik yang pernah dituliskan, dan menggetarkan anak-anak dengan para penyihir, monster, raksasa dan mahluk ganjil lainnya. (Ario Seto )Jurnal Kumandang Sastra 01
media bagi budaya alternatif dan pemikiran merdeka

































Memberdayakan Semarang


Atie Krisna – Remy Sylado – Salman Rushdie – Nadine Gordimer



Para Bentara nomor ini :


Ant Sogiarto
Chaterina Rinawati
Didiek
Heru Emka
Heru Mugiarso
Victor Roesdiyanto
Galih Asmaradana


















Diterbitkan secara independen oleh Kumandang Sastra. Redaksi menerima sumbangan tulisan, foto, sketsa, atau materi apa saja yang bisa dimuat dan bersifat tidak mengikat. Naskah bisa dialamatkan pada Sanggar Kumandang Sastra : Jalan Widoharjo 19. Semarang, E-mail : kumandangsastra@yahoo.com




Daftar Isi

1. Kata Mereka

2. Solilokui:

3. Wacana : Memberdayakan Semarang

4. Potret : Atie Krisna

5. Wawancara Remy Sylado : “ Kita masih membebek asing “

6. Esai : Post Human dan Tubuh yang Usang
Esai 2 : Dongeng Perlawanan Salman Rushdie

7. Puisi :

8. Perempuan : Kecantikan. Mantera yang abadi

9. Cerpen : Kejahatan Hati Nurani – Nadine Gordimer
Catatan Kecil : Nadine Gordimer dan Kelembutan yang Membadai

10. Budaya Pop : Jagoan bagi si Kulit Hitam
Komik Indie : Old Skull - Atonk

11. Film :
Bush dalam incaran.
Dongeng Fantastik Pan's Labyrinth

12. Resensi :

13. Biodata :









Potret : Atie Krisna :
Menyatukan kebahagiaan dengan lukisan


“ You have the power to choose life, so make the best of it.” - Gandhi

Seperti saat memasuki jenjang rumah tangga, sering muncul semcam pertanyaan, apakah kita bakal menemukan kebahagiaan di dalamnya ? Apakah yang selama ini menjadi angan-angan, apakah menjadi kenyataan ? Kemudian, setelah berhasil melewatkan beberapa puluh tahun hidup berumah tangga, dan kita beranjak memasuki usia senja, seringkali muncul pertanyaan : “ Apakah kita sudah menemukan yang terbaik dan membahagiakan dalam hidup ini ? “
Memasuki hari tua memang ibarat memasuki suatu babak berikutnya dalam kehidupan kita. Tak heran ada yang menyikapinya dengan harapan dan rasa syukur, di samping ada yang mentikapinya dengan perasaan cemas dan pesimis. Namun buat apa kita mencemaskan yang sudah berjalan sedemikian lama ? Apalagi dalam kata bijaknya yang tertera di atas, Gandhi mengatakan dalam hidup ini kita punya kekuatan untuk memilih. Jadi kenapa tidak memilih yang terbaik dari diri kita ?
Atie Krisna, ibu dari sepasang anak yang sudah beranjak dewasa, berhasil membuktikan bahwa di usia senja pun kita masih bisa menggali potensi yang terbaik dari diri kita sendiri. Pada saat Atie menemukan uban tumbuh di antara helai rambutnya, dia justru diwisuda sebagai seorang Arsitek. Pada saat perempuan berbintang Aries ini akan segera menjadi seorang nenek ( puteri sulungnya, penyanyi jazz Peppy Kamadhatu, baru saja menikah bulan lalu ) dia semakin memantapkan diri sebagai seorang pelukis. Uniknya, Atie Krisna mencapai keberhasilan ini justru dengan jalan yang menyimpang jauh dari jalur sukses yang ditempuh para perempuan pada umumnya : menjadi wanita karir dan menjauh dari segala kegiatan rumah tangga sehari-hari.
Atie justru meraih keberhasilan ini dari semangatnya untuk tidak meninggalkan dunia sebagai perempuan domestik, tetap menjadi ibu rumah tangga. “ Kalau kita mau berarti, kita bisa melakukannya di mana saja. Tergantung bagaimana cara kita menggali potensi yang ada dalam diri kita. Karena itu kalau ketemu sama yang muda-muda, saya
Selalu berkata menyemangati mereka, “ Ayo, jangan sampai kalah sama orang tua seperti saya.”
Ucapan yang penuh daya dorong ini hanyalah agar mereka yang lebih muda usianya pun ikut bergerak mengoleh potensi yang ada dalam dirinya ini, sebenarnya pantas juga disikapi sebagai sebagai motivasi, yang melecut seseorang untuk mengalahkan tantangan dalam hidupnya. Dalam blantika seni rupa di Semarang misalnya, lukisan Atie Krisna dianggap sebagai bentuk eksistensi kreatifitas dengan pencapaian teknis yang cukup menggembirakan. Ungkapan visual-artistiknya seringkali memberi penafsiran baru pada dunia domestik perempuan, seperti yang juga ditemukan pada karya pelukis Bunga Jeruk, namun dalam tema dan nafas yang berbeda.

Kompromi dengan realitas
Mungkin banyak yang setuju dengan pendapat ini : Semua orang punya sisi terbaik, dengan bentuk dan penjabaran yang paling sederhana, yaitu hal-hal apapun yang menurut pribadi masing-masing bisa dilakukan dengan baik. Baik itu berupa kemampuan, keahlian, sisi entelektual, sikap atau kepribadian yang positif. Sayangnya memang ada juga yang kurang menyadari sisi terbaik yang ada dalam dirinya. Pencapaian yang telah diraih oleh Atie Krisna mungkin hanya salah satu contoh dari sekian banyak langkah yang bisa ditempuh, karena Audrey C. Daniels dalam bukunya yang berjudul ; Bringing Out Ther Best in People : How to Apply the Astonishing Power for Positive Reinforcement, menjelaskan bahwa sisi terbaik seseorang juga bisa dimunculkan justru dari hal yang sebelumnya bermakna negatif. Misalnya orang yang tadinya penakut, bisa belajar menekan rasa takutnya dan menjadikan rasa takut itu sebagai tantangan yang harus ditaklukkan.
Sebenarnya kalau kita bisa mencapai keseimbangan antara realitas dan keinginan, tidaklah sukar untuk menemukan sisi yang baik dalam hidup kita. “ Saya bisa merasakan kebahagian bukan saja karena saya merasa dalam hidup ini ada tujuan yang harus dicapai, dalam rumah tangga misalnya ketenteraman, semuanya saling sayang satu sama lain. Namun juga perasaan bahwa kita berhasil melakukan apa yang kita inginkan, “ ujar Atie yang lukisannya mendapat apresiasi yang baik dari beberapa kritikus senirupa ibukota.
“ Mungkin kuncinya sederhana saja, kita kadang harus melakukan kompromi dengan realitas yang terjadi dalam hidup kita. Sebelum melukis saya juga sudah ‘taren’ (konfirmasi) sama keluarga. Karena semua dari kami ini kan melakukan segalanya atas dasar kompromi bersama. Seperti waktu saya mau kuliah lagi, saya tanya suami dan anak-anak, mama boleh kuliah lagi nggak ? Mama boleh melukis ? Ternyata mereka malah senang , karena dengan melukis, saya kesibukan yang bermanfaat.”
Kompromi itu juga yang membuat semua aktifitas Atie mengalir begitu saja di antara kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Bentuk pemberdayaan dirinya sebagai ibu dengan begitu tetap terasah, karena intelektualitasnya pun otomatis terangsang oleh berbagai wacana baru yang tercipta saat dia menuangkan warna-warna ke dalam kanvasnya.
“ Jadi semua asyik-asyik saja saya lakukan sebagai ibu. Jadi urusan memasak dan melukis bisa terasa seimbang. Di situ tempat masak, di sini tempat melukis. Sambil menunggu masakan matang, saya melukis. Sederhana saja kan ?,” ujarnya.

Dunia dari sudut pandang perempuan
Saat ditanyakan, kenapa dia memilih tema suasana rumah tangga sehari-hari,yang nampak wajar sekaligus lugu, dengan penonjolan bentuk visual benda rumah tangga seperti teko, sepatu dan sebagainya, Atie Krisna menjawab, “ Karena usia saya sudah kepala lima, kan tak mungkin bila saya harus pergi ke mana-mana untuk melukis. Kalau mereka yang masih muda mungkin malah lari dari rutinitas sehari-hari untuk mencari view atau objek lukisan yang bagus. Karena saya lebih senang di rumah, ya saya lukis apa saja yang ada di rumah, dan bagi saya ini merupakan sebuah dunia tersendiri, dengan penafsiran dan sudut pandang saya sebagai seorang perempuan.”
Dan ternyata, walau mengaku hanmya melukis apa yang ada di rumah tangga, lukisan Atie Krisna juga menunjukkan dimensi tafsir sosial yang lembut. Saat pembicaraan ini berlangsung di rumahnya, di dekat kami terletak sebuah lukisan seukuran 1 kali 1,5 meter, yang menampilkan sebuah poci bagus berwarna merah menyala, sementara di dekatnya tergolek tubuh anak jalanan dengan ekspresi yang membatu. Saya menanyakan judul lukisan itu, dan Atiek menjawab bila judulnya ‘Es Teh Gratis’.
Judul lukisan yang terkesan naïf ini ternyata punya wacana yang mencerminkan sikap khas perempuan di tengah isu sosial yang terasa keras, yakni kanvas dengan naluri keibuan, keinginan untuk mengasihi, yang hadir dengan halus, tanpa menjadi sebuah tonjokan kritik sosial.
“ Sebelumnya saya sering berangan-angan, bagaimana bila ada yang memberi perhatian – walau nampaknya sepele – pada mereka yang naibnya kurang beruntung seperti pemulung, gelandangan atau anak jalanan. Walau hanya teh manis gratis yang disediakan sebelum jam makan siang. “
Atie yang nama aslinya Krisnawati dan lahir dalam naungan bintang Aries ini, walau merasa dirinya agak temperamental, juga sekaligus merasa bersikap konsisten terhadap hasrat yang ingin diraihnya. Itulah sebabnya dulu ketika kuliahnya macet di semester kelima – karena ayahnya meninggal dunia -, dia berjanji suatu saat akan melanjutkan lagi.
“ Ketika anak-anak sudah besar, saya kuliah lagi. Saya tak malu jadi mahasiswa tua, dan saya lulus di tahun 1998, dalam usia 47 tahun. Sebelum lulus saya punya kelompok kerja yang berencana membuat perusahaan jasa konsultan. Namun kemudian saya pikir, dengan usia segini saya nggak sanggup bila harus ke sana-sini ikut tender dan sebagainya. Maka saya memilih melukis dan menjadikannya sebagai dunia saya,” ujar isteri seorang pria yang sabar dan penuh rasa humor bernama Sarutomo ini.

Mata hati dan kebahagiaan
Soal kebahagian itu sendiri, Atie merasa bila hal itu sebenarnya tak terlalu jauh dari kehidupan kita, asal kita membuka mata hati pasti bisa melihatnya. “ Terus terang saja, bagi saya hal-hal yang sepele saja bisa membuat saya senang. Dulu begitu ada duit sedikit, beli sepeda, rasanya sudah senang. Sejak awal kehidupan saya memang banyak hal-hal sederhana yang membahagiakan. Waktu pertama kali beli kulkas, senang sekali rasanya, sampai sekarang kulkasnya masih berfungsi lho. Padahal sudah tiga puluh tahun berselang,” katanya riang.
Bicara soal kebahagiaan, Atie percaya bila suka dan duka itu ada beserta kita, dan selalu ada dalam perjalan hidup seseorang. “ Masalahnya tinggal bagaimana cara kita menyikapinya. Bila kita memakai kaca mata hitam, ya semua yang kita lihat nampak suram. Logikanya kan begitu. Kalau soal nggak punya uang, dulu itu jadi persoalan sehari-hari. Dulu misalnya, uang yang ada cuma Rp 100,- untung masih ada beras, telur dan beberapa lagi. Waktu anak-anak minta beli bakso, saya bilang,” Sekarang kita bisa beli bakso, tapi besok kita makan nasi goring, besoknya hanya mie, besoknya lagi mie, mie lagi. Mau ?.” Ternyata anak-anak nggak mau. Jadi kita ajarkan juga agar anak-anak melihat realitas dan tidak memaksakan diri.”
Kini Atie merasa gambaran kebahagiaannya sudah lengkap. Dia punya Sarutomo, pria idaman yang menyayanginya sebagai isteri tercinta. Sedang dua anaknya; Peppy (Pissa Sesara) dan adiknya Gedo Grimaldo, sudah menikah, dengan karir masing-masing. Kini Atie mencoba merangkai kebahagiaan dalam lukisan, dengan menampilkan visinya tentang dunia perempuan. Kadang muncul juga sesuatu yang membuatnya merasa susah, namun Atie Krisna dan suaminya; Sarutomo,- seudah sepakat untuk menyikapi hidup ini dengan riang. Ketika puteri sulungnya lahir, mereka memberinya nama Pissa Sesara. “ Tahu nggak artinya ? Pisanan (pertama kali operasi) Caesar. Peppy memang lahir melalui operasi Caesar,” kata Atie, yang diikuti suara tawa suaminya.

Rumah yang teduh
Yang menarik, pertautan Atie Krisna dengan dunia senirupa Semarang , walau dinikmati secara personal, tidaklah dijalani secara individual. Kedewasaan dan nalurinya sebagai seorang perempuan seringkali membuat Atie tidak muncul sebagai figur seorang seniman yang seringkali menampilan pancaran ego dan ambisi yang kuat. Itulah sebabnya di tengah pro-kontra tentang berbagai pendapat dalam dinamika wacana dan isu senirupa di Semarang, Atie sring dipandang berada dalam posisi yang lebih netral. Dan tak jarang dia menjadi pelimpahan uneg-uneg dan cuerahan isi hati para seniman yang lebih muda usianya.
Hasrat untuk memberi ruang bagi ekspresi seniman muda yang banyak bermunculan akhir-akhir ini di Semarang, Atie merubah sebagian ruangan gerai busananya menjadi sebuah galeri alternatif yang diberi nama Galeri Bu Atie. “ Jangan samakan dengan galeri-galeri lain yang sudah mapan dan punya jaringan kolektor yang kaya. Kami hanya menampung mereka yang ingin memamerkan karyanya, atau membuat agenda kesenian dan kebudayaan lainnya. Bila butuh tempat, silakan. Bagaimanapun akan lebih baik bila selalu tersedia ruang bagi semua bentuk dan ekspresi kebudayaan, kan, “ ujarnya.
Belum banyak memang aktifitas yang terjadi di sana. Baru sebuah pameran lukisan ( Lukisan Awal Auly ) dan diskusi senirupa tentang Neo-Realisme. Namun beberapa agenda kesenian berikutnya telah disiapkan, antara lain Pameran Tunggal Agung Yuliansyah dan beberapa lagi, yang menandakan Galeri Bu Atie ini juga menjadi salah satu motor yang menggerakkan rodfa kesenian di Semarang. “ Bila diumpamakan rumah, mungkin ini bukan rumah yang megah, dengan semua perhiasaannya yang mewah. Ini hanya sebuah rumah sederhana, yang semoga menjadi rumah yang teduh, sehingga siapa pun yang menghuninya bisa merasa nyaman, damai dan bisa berkreasi semaksimal mungkin,’ ujarnya merendah hati.
Sikap mengasuh dan merengkuh yang muncul sebagai kebiasaan sehari-hari Bu Atie (begitu kalangan seniman Semarang memanggilnya ) nampak dari kesabaran dan ketulusannya dengan secara sukarela menjadi ‘juru warta informal’. SMS dari Bu Atie selalu hadir menyampaikan tak saja tiap agenda kebudayaan yang terjadi di Semarang,- namun juga informasi lain : mulai dari berita duka yang mengabarkan meninggalnya seorang seniman atau keluarganya, hingga rencana pertemuan dan sebagainya.
(Tim Kusas )



Wawancara :
Remy Sylado :
“ Kita masih membebek asing “


Pernahkah kita memperhatikan, berapa banyak kata, simbol budaya dan istilah asing singgah dalam hari-hari kita ? Di kantor, bos bicara campur aduk dengan menyebut beberapa kata asing. Di radio penyiar berceloteh sambil menyebutkan idiom dan slang bahasa asing. Cobalah nyalakan televisi, kesannya juga setali tiga uang. Tayangan berita yang dimaksudkan sebagai “ Berita Utama Hari Ini” malah diganti dengan kalimat dalam bahasa Inggris; Headline Today, sepertinya kata asing itu jauh lebih baik daripada kata-kata yang tetap dalam bahasa Indonesia. Setiap hari kata Up Next muncul dilayar kaca Metro TV, dan ditayangkan untuk menggantikan makna aslinya dalam bahasa Indonesia, yakni “ Acara berikutnya.
Itu baru soal bahasa. Belum lagi soal gaya hidup dan sebagainya. Termasuk segala sikap budaya dan bentuk expresinya. Jangan heran bila melihat seorang remaja di daerah pinggiran Kendal malah lebih fasih menyanyikan lagu terbaru Metallica. Bagi Remy Sylado, itu semua adalah bentuk dari identitas kita yang ternyata masih ‘indo’. Serba ‘setengah matang’. Dan menurut Remy, ini bukan gejala baru, namun sudah berusia ratusan tahun. Dia benar. Lihat saja selop yang di pakai para priyayi kraton, itulah bentuk adopsi sepatu (yang dari Eropa) terhadap budaya keraton ( yang mengharuskan copot alas kaki di lingkunganya ).
Sebagai seorang seniman Remy Sylado punya banyak sisi yang menarik, dengan berbagai karir yang beragam. Dia piawai sebagai wartawan, cakap sebagai aktor dan teaterawan, sebagai penyair dia sempat mengharu-biru dunia sastra Indonesia ketika mempelopori Puisi Mbeling. Sebagai seorang musisi dan penyanyi, Remy juga punya jejak yang cukup fenomenal. Album-album yang dihasilkan bersama Remy Sylado Company memang tidak laku keras, namun memberikan terobosan musikal yang berani, hingga kini album musik mereka menjadi incaran kolektor karena dianggap menimbulkan kjecenderungan tersendiri dalam blantika musik pop Indonesia. Galih Asmaradana dari Jurnal Budaya Kumandang Sastra , sempat ngobrol agak lama dengan seniman serba bisa ini, di sebuah petang. Berikut ini adalah petikan hasil obrolan dengan Remy, tentang identitas budaya dan pengaruh budaya pop dalam hidup kita.:

Hampir semua yang ada pada masyarakat kita ini diadopsi dari bangsa dan bangsa asing. Bahkan anda beberkan bila sembilan dari sepuluh kata bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Lantas adakah yang bisa kita nyatakan sebagai orisinalitas kita ?

“ Rasanya kita terpaksa berhadapan dengan kenyataan bahwa yang orisinal dari kita adalah ketidak orisinalan itu. Adakah yang bisa benar-benar di pikirkan sebagai keaslian kita ? Nama Indonesia itu sendiri kan bukan penemuan kita. Itulah sebabnya kita harus menjaga keberagaman ini dalam sebuah harmoni. Ini yang terus dipertahankan sampai kapan pun. Kita harus sama-sama melangkah dalam irama yang sepadan. Bila tidak, ada yang merasa tertinggal, dan akibatnya Indonesia sakit-sakitan. Ini kan problem lama, yang tanpa terasa terus berlangsung hingga era yang disebut reformasi ini.

Kenapa masalah disharmonisasi ternyata masih menjadi ganjalan hingga era reformasi ini ?

“ Era reformasi atau apa pun namanya, ternyata kan sekedar ganti nama saja. Situasinya masih sama. Dulu memang ada di masyarakat kita, yang bila anaknya sakit-sakitan, lalu ganti nama, seolah penyebab sakitnya adalah masalah nama. Anak bangsa kita yang beragam juga butuh kebijakan yang tak bisa di pukul rata. Mungkin kita harus menerima ke Indonesia-an kita dari dua sisi. Di satu sisi ada yang menerima hal ini sebagai karunia Ilahi, sedangkan di sisi lain barangkali ada yang mengangghap keberagaman sebagai kutukan dewata. Tapi bila kita tak mampu merangkai , keberagaman ini malah akan berubah menjadi kecemasan tersendiri.”

Situasinya, apakah ke Indonesia-an kita tak mampu lagi mengikat sebagai kesatuan dari dalam dan tak lagi menjadi suatu keniscayaan?

“ Tidak juga. Perjalanan kebangsaan kita kan harus dilihat sebagai wawasan pencarian dan penemuan. Dari suatu bangsa yang di jajah, kita merdeka karena suatu perlawanan. Kita memang harus mengawali perjalanan kebangsaan seperti itu. Terminologi kebangsaan kita memang harus dilihat sebagai terminologi perjuangan. Bukan terminology antropologis atau etimologis, seperti pada masa awal kata Indonesia di temukan.”

Jadi benar juga ya, bila kata Indonesia tadinya memang bukan sebagai kata nama sebuah bangsa…?

“ Kata Indonesia ditemukan oleh J.R. Logan di tahun 1848, dan secara umum di pakai untuk menyebutkan bangsa-bangsa yang berdiam dari wilayah Campa hingga Melayu-Polynesia, sampai Prof Adolf Bastian menggunakan untuk menyebut daerah seputar kawasan Hindia Belanda. Kemudian mahasiswa kita di Belanda mengunakan kata Indonesia sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.”

Saat di sebutkan, bahwa masih saja ada pejabat dan pemuka masyarakat yang merasa keberatan terhadap pengaruh dari luar terhadap kebudayaan bangsa kita, Remy tertawa, lalu berkata “ Itulah kepicikan sebagian dari kita. Biasanya para birokrat mengunakan isu ini untuk membangkitkan patos nasionalisme yang tak jelas, seakan-akan semua yang ada dalam budaya kita asli milik kita. Padahal jelas bangsa kita sendiri bukanlah bangsa asli tempat ini. Nenek moyang kita adalah imigran yang berdatangan dari Hindia Belakang, Campa dan Vietnam segala, yang lantas kawin-mawin dengan berbagai budaya dari India, Cina, Arab, dan sebagainya. Itulah makna Indo, yang berarti campuran. Kita harus menerima ke Indo-an kita dalam Indonesia sebagai kekayaan yang patut disyukuri.

Termasuk yang Anda uraikan bahwa sembilan dari sepuluh kata kita yang ternyata asing itu ,ermasuk kekayaan yang memperunik bahasa kita ?

“ Benar sekali. Tahukah kita bahwa kata Minggu dalam bahasa Indonesia ternyata berasal dari bahasa Perancis ? Bahkan kata Terwelu dalam bahasa Jawa pun asalnya kata Portugis juga. Kata gedang (pisang) dalam bahasa Jawa, asalnya dari kata Belanda. Ceritanya dalam perang Diponegoro, sekelompok tentara VOC terpisah dari induknya, berhari hari mereka tak makan, saat mereka tiba di sebuah kebun pisang, saking senangnya melihat makanan, spontan saja mereka berucap “ God dank “ , yang artinya terima kasih Tuhan’. Orang Jawa menirukan ucapan ini jadi gedang, lantas menjadi nama pisang.”

Ha…ha…ha kadang lucu juga proses mencari-menemukan dalam, perjalanan sejarah kebudayaan kita. Bagaimana dengan bentuk budaya lainya, seperti musik ? Ada beberapa birokrat dan budayawan Semarang yang ngotot bahwa gambang Semarang itu musik etnis kota Semarang, padahal asalnya dari Huang mei tiauw, musik asal Cina. Begitu juga dengan keroncong, yang sempat di sebut sebagai warisan budaya yang ‘ adi luhung ’. Apa penjelasan Bang Remy?

“ Sebenarnya inilah bentuk kawin-mawin budaya tadi. Gambang kromong itu titi larasnya Cina, tapi dimainkan dengan alat musik yang berkembang di sini. Begitu juga dengan keroncong (langgam Jawa) . Alat musiknya barat, tapi roh musiknya gamelan Jawa. Karena itu unik mendengar cello yang di Eropa digesek, di sini justru di betot untuk menirukan suara kendang”.

Kalau begitu runtutlah pendapat yang menyebutkan bahwa kebudayaan nasional kita merupakan puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah ?

“ Itu pernyataan Ki Hajar Dewantara yang diucapkan beliau saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gajah Mada di tahun 1955. Bagi saya, terminologi puncak ini bisa menimbulkan ketimpangan bila daerah lain ternyata belum mencapai puncak. Kebudayaan itu secara alami berlangsung dalam akulturasi. Yang lebih maju terserap oleh yang kurang maju. Kebudayaan Jawa yang lebih lama berkembang, bisa maju dan mencapai puncak. Tapi bagaimana dengan kebudayaan Papua?.”

Masalah kebudayaan telah lama menjadi bagian dari pergumulan pemikiran Remy Sylado, yang dilahirkan sebagai Yapi Panda Abdiel Tambayong, di Makasar pada 12 Juli 1945. Walau secara formal pendidikannya hanya diselesaikan di Sekolah Tinggi Teologi Baptis di Semarang, Remy adalah seorang pembelajar yang tangguh. Selain dikenal sebagai ahli bahasa (yang menguasai dengan baik bahasa Ibrani, Yunani, Prancis, Inggria, Portugis, Belanda, Spanyol, Arab dan bahasa Cina. Bukunya; Sembilan dari Sepuluh Kata adalah Asing, mendapat perhatian luas dari masyarakat, karena membeberkan begitu banyak data dan fakta dari bahasa kita yang mengadopsi kata asing) dia juga dikenal sebagai seorang novelis jempolan. Beberapa novelnya yang mendapat sambutan hangat di masyarakat antara lain Ca Bau Kan, Sam Po Kong, Paris Van Java, dan beberapa judul lagi. Kini dia baru saja merampungkan novel tentang perdagangan perempuan (trafficking)

Saat ditanyakan apakah kegandrungan kita mengambil banyak hal dari Barat juga tercermin dari lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, yang basah kuyup oleh pengaruh Barat ( lagu ini diciptakan oleh komponis Wage Rudolf Supratman, yang sehari-hari bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, lagu ini digubah dengan menggunakan notasi Barat, direkam oleh sebuah orkestra dan diaransemen oleh J. Kleber, juga orang Eropa – yang tinggal di Jakarta – Bayu ). Remy tersenyum sebelum menjawab, “ Hal inilah yang kadang-kadang tak disadari oleh kebanyakan dari kita.” Setelah meneguk es ronde yang tersaji di depannya, Remy melanjutkan:

“ Sejak tahun 1935, sebenarnya kita sudah menggunakan system pendidikan Barat, ketika di Ambon dibuka sekolah yang pertama oleh Gubernur Antonio Cavalle yang berasal dari Portugis. Kalau anak kita begitu masuk SD sudah menyanyikan lagu Dari Barat ke Timur, dia sudah berkenalan dengan lagu Eropa, karena lagu itu judul aslinya adalah La Mersaille, dari Prancis. Coba cermati, sejak dulu hingga demam American Idol sekarang ini, kita masih menjadi tawanan budaya Barat. Jadi begitu kita bicara soal budaya pop, baik itu soal musik, film atau seni lukis, maka itu 100 % Amerika.”

“ Karena itu saya suka geli bila ada bila ada musisi rock yang berkata mau ikembali ke akar. Di mana akar budaya dia, ila sejak dulu larinya ke Barat ? Bedanya dului kita menghamba pada pengaruh Belanda, sekarang kita menghamba pada pengaruh Amerika. “

Bila kita menoleh kebelakang, akulturasi Jawa dan Cina sebenarnya sudah terjadi sejak jaman kerajaan Demak. Namun kenapa baru akhir-akhir ini saja akulturasi Cina-Jawa bisa bebas berekpresi? Apakah karena keragaman yang bersifat politis atau ekonomi ?

“ Menurut saya, jawabanya adalah masalah ekonomi yang di belokan ke arah politis. Yang merisaukan sebagian besar dari kita kan bukan perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan”.

Mungkin benar juga pendapat yang mengatakan orang muda di Singapura jinak-jinak saja karena semua kebutuhan dan fasilitas mereka telah dipenuhi oleh negara. Jadi semakinb lapar orang semakin kritis ya ?

“Iya “


Esai : Posthuman - Tubuh yang usang


Ketika orang mulai ‘membongkar pasang’ tubuhnya dengan operasi plastik atau rekayasa medis lainnya, muncul kesimpulan bahwa tubuh manusia mulai terasa usang. Namun ketika peralatan bionik dicangkokkan tubuh kita, dengan serangkaian proyek yang berniat untuk membuktikan bahwa mesin (bionik) bisa menyatu dalam tubuh manusia, maka kita berada dalam kondisi tubuh yang rawan, atau kondisi yang sekarang beken dengan istilah Posthuman
Dalam film Universal Soldier digambarkan eksperimen untuk membuat prajurit cyborg. Film Johnny Mnemonic menggambarkan situasi yang lebih radikal lagi. Data komputer yang amat besar di-download ke dalam ingatan Johnny (melalaui pembedahan salurah syaraf yang direkayasa agar bisa dicangkokkan dengan memori komputer) , yang harus segera disampaikan ke alamat penerima, sebelum data itu merembes ke dalam otaknya.
Semua ini masih sebatas cerita fiksi. Namun yang terjadi pada seorang remaja 14 tahun yang bernama Derek, adalah kisah nyata. Sebuah chip mikro komputer (ukurannya cuma sebesar beras ) dicangkokkan ke lengannya, dan dihubungkan dengan sebuah database ADS (Apllied Digital Solution) sebuah perusahaan hi tech di Florida, AS. Chip itu sendiri bermulti fungsi. Selain bisa memberikan informasi kesehatan Derek pada rumah sakit, juga bisa digunakan sebagai penyimpanan data personal Derek. Dan tentu saja chip itu sekaligus menjadi alat penentu posisi (global positioning device) yang bisa melacak ke manapun Derek berada.
Chip yang tertanam di lengan Derek memang belum menjadikan anak itu sebuah cyborg. Namun dengan sebuah chip yang tertanam di lengannya, Derek sudah menjadi anak yang ‘berbeda’. Tak saja secara fisik semata, karena tubuhnya harus diberi makna yang berbeda. Dia sedang dalam perjalanan menuju kondisi posthuman. Dalam konsep ini, tubuh tak lagi menjadi kunci utama dalam sebuah identitas biologis, namun sudah menjadi identitas ‘yang lain’. Atau dalam penjelasan Foucault, ‘tubuh pun menjadi the sosok tak berdaya (inert mass) yang dikendalikan oleh berbagai wacana yang berpusat pada pikiran’.
Karena kendali wacana-wacana seperti inilah , maka hasrat untuk menjadi tegap perkasa, langsing, cantik atau seksi kadang membuat orang rela menyakiti dirinya sendiri, melaparkan diri di luar kelaziman (diet ekstrim) , atau memacu kerja otot tubuh di luar kewajaran normal (pemakaian doping) . Hasrat untuk melebihi realitas tubuh yang alamiah ini juga membuat orang rela membelah tubuh untuk menggapai tubuh artifisial yang baru (berbagai bentuk bedah plastik). Sekat antara badan dan pikiran semakin samar dengan anggapan bahwa yang berubah bukanlah tubuh material, melainkan hanya pengertian abstrak mengenai tubuh.
Salon-salon kecantikan semakin sibuk menawarkan mantera baru : pelayanan menghilangkan kerut wajah seketika, atau mencegah penuaan dini, seolah-olah mereka bisa menghentikan atau membalikkan laju sang waktu. Berbagai klinik pria juga menawarkan pemasangan protesa yang ditanam dalam kelamin pria, sehingga dia bisa ereksi kapan saja hanya dengan memencet tombol yang mengalirkan cairan ke batang phallus. Bisa on / off semaunya tanpa memikirkan bahayanya bila ‘mesin seks’ yang tertanam di tubuhnya itu mogok bekerja.
Dalam konsep pemikiran posthuman memang tak ada lagi perbedaan penting atau pemisahan mutlak antara eksistendi tubuh dengan simulasi komputer, atau penempelan daging dan pengeratan tulang. Batasan antara organisme biologis dan mekanisme sibernetika sudah jalin menjalin. Orang menjadi bangga merayakan kepalsuannya, dengan menyelenggarakan Miss Artificial Beauty ( Ratu Kecantikan Buatan ), di Beijing , Desember 2004 silam,- di mana para pesertanya secara khusus adalah para perempuan yang sudah mempercantik dirinya dengan operasi plastik. .

Tubuh yang tak bahagia
Di sisi lain kita berhadapan dengan fakta , bahwa sekarang ini merupakan era baru ’kebangkitan tubuh’ sebagai bagian integral dari identitas moderen. Sayangnya gambaran ini kadang tidak tampil sepenuhnya, karena seperti yang dikatakan Foucault dalam The Care of The Self (1986), di mana ‘tubuh-tubuh yang tak bahagia’ (unhappy bodies ) semakin tampil nyata sebagai tubuh yang rawan . Chris Shilling, dalam The Body and Difference, juga mengamati bila sekarang memiliki tubuh sehat saja tidaklah cukup. Karena orang tak saja terhisap ke dalam berbagai aktifitas yang membuat tubuh sehat, tapi juga membentuk tubuh seperti ukiran yang diinginkan dalam sebuah patung, baik dengan bina raga atau operasi plastik.
Bagai Narsisus yang tergila-gila pada dirinya sendiri, kini semakin banyak perempuan yang memandang pantulan dirinya dalam cermin dan menemukan betapa dirinya dikuasai berbagai keinginan tampil secantik model dalam iklan televisi, walau sebenarnya betapa gampang kamera berdusta. Karenanya penampilan, keharusan tampak menawan dan fitness pun menjadi salah satu ‘kewajiban sosial’ demi sebuah citra tunggal kecantikan : ramping dan cantik. Karena itulah mereka berusaha sekeras mungkin, bersenam selama mungkin dan makan sesedikit mungkin.
Ide untuk memiliki tubuh yang prima, akhirnya malah menjajah tubuh itu sendiri, dan faktanya menunjukkan berbagai bentuk hasrat yang serba berlebihan (hyper desire ), setelah bisa mengencangkan lagi pipi yang kempot, semua bagian tubuh pun ingin dirombak : membesarkan - mengecilkan payudara, pinggang, paha, betis,- bahkan hingga restrukturasi virginitas.
Dalam sudut pandang kajian budaya, kita percaya bahwa pola pikiran masyarakat
terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas memang ikut menjelma sebagai persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik
adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Bahkan menurut Marcel Mauss, salah satu cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling naturaldari manusia, yang dapat dipelajaridengan cara yang
berbeda sesuai dengan kultur masing-masing
Mike Featherstone (dalam The Body in Consumer Culture), juga memilah pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar. Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh bagi kepentingan kesehatan dan fisiknya,- sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).
Dalam pandangan Featherstone, kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam ternyata sekaligus menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Karena itu, dalam kebudayaan konsumen tubuh dinyatakan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.
Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen juga didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan televisi sekarang ini merupakan kreator utama bagi pembentukan citra tersebut. ( Heru Emka )


Esai 2 : Dongeng Perlawanan Salman Rushdie

Di balik berbagai dongeng ternama yang sarat dengan jalinan fantasi yang membahagiakan kanak-kanak, kadang membayang kenyataan pahit dari peristiwa yang tak mebahagiakan penulisnya. Kisah para binatang dalam dongeng karya Beatrix Potter, yang berjuang melepaskan diri dari claustrophobia petaka lingkungan, ternyata merupakan cerminan kegelisahannya untuk melepaskan diri dari perilaku represif orang tua di era Viktorian. Tak heran bila karakter Peter Pan ciptaan J. M. Barrie tampil sebagai alter ego penulisnya, yang diam-diam ‘menolak dewasa’ sebagai aksi protes karena berbagai tindakan pengekangan yang dilakukan oleh orang tuanya dulu.
Begitu juga dengan Haroun and the Sea of Stories ( Harun dan Samudera Dongengan) karya Salman Rushdie yang memiliki semua sisi dari dongeng fantasi, sebelum menyadari bahwa sebelumnya seorang pemimpin spiritual yang memiliki pengikut di berbagai penjuru dunia menghalalkan darah si pengarang untuk dialirkan. Di permukaan,. Haroun and the Sea of Stories adalah kisah yang hidup dengan denyut fantasi yang tak henti membukakan wilayah baru bagi penjelajahan imajinasi yang mengasyikkan. Latar belakang plot yang bisa jadi merupakan penafsiran ulang tema Kisah Seribu Satu Malam, di mana Sinbad terbawa nasib untuk melakukan berbagai penjelajahan yang mendebarkan ke berbagai wilayah yang asing dan ajaib, tempat di mana dia menemukan sekutu gaib untuk melawan mahluk aneh yang jahat.
Namun kehidupan ini seakan ditakdirkan untuk dipenuhi oleh berbagai hal yang berlawanan. Kisah fiksi yang muncul dari kebebasan imajinasi, terkadang berbenturan dengan sensor, yang ironisnya sering terperangkap dalam penafsiran kebenaran yang juga digambarkan oleh imajinasi secara metaforis. Karena itulah Jorge Louis Borges juga menyebut sensora sebagai sumber segala metafora ( Cencorship is mother of all metaphors ) seraya menawarkan strategi literer untuk hal yang sama, bisa pula menggunakan metafora untuk melawannya.
Salman Rushdie agaknya memilih jalan yang serupa, setelah novelnya, The Satanis Verses diharamkan oleh Ayatulah Khomeni dan membuat Rushdie hidup dalam labirin persembunyian di bawah ancaman hukuman mati. Dan Rushdie ternyata tak berdiam diri, dia menjawab sensor ini dengan novelnya, karena bukankah esksistensi seorang sastrawan terletak pada karya sastra yang dihasilkannya ?
Dalam konteks inilah Rushdie menulis Haroun and the Sea Stories 1) selanjutnya disebut HatSS ) dan memilih menggunakan metafora sebagai perlawanan, sebagai ‘pasemon’ terhadap sensor dan kekuasaan. Bila membaca HatSS, maka bisa disimpulkan bila Rushdie menggunakan ide narasi dasar dalam Kisah Seribu Satu Malam 2).
Keterkaitan HatSS dengan Kisah Seribu Satu Malam tak saja nampak pada pemilihan nama dua tokoh utama dalam HatSS; yakni pendongeng Rashid Khalifa dan anaknya Harun, yang mirip dengan nama figur penting di balik penciptaan kisah Kisah Seribu Satu Malam, yakni Khalifah Harun Al-Rasyid, namun juga dalam konsep narasi utama tentang bagaimana pesona penuturan berbagai kisah mampu menggagalkan sebuah eksekusi.

Kontradiksi yang saling melengkapi
HatSS, secara tersirat ditujukan sebagai dongeng bagi anak lelaki Rushdie; Zafar,-sebagai sebuah kisah fantasi yang plastis, di mana dunia jin membaur dengan dunia robotik ( sesuatu yang secara logis seharusnya bertolak belakang ) namun dalam novel ini ternyata malah saling melengkapi. Cermin dari sifat kontradiktif yang justru terengkuh dalam harmoni, juga nampak dalam penggambaran Kahani, sebagai bulan kedua dari bumi, yang selama ini ‘tersembunyi’. Saya menafsirkan Kahani ini sebagai bentuk representasi Rushdie akan ‘dunia kisah dan imajinasi’ yang berlawanan dengan citra bulan sejati, yang kini telah menjadi lambang eksplorasi teknologi.
Dalam HatSS, Rushdie mengawali perlawanan simbolisnya dengan kalimat memikat, “ There was once, in the country of Alifbay, a sad city, the saddest of cities, a city so ruinously sad that it had forgotten it name.” ( Adalah sebuah negeri di Alifbay, sebuah kota yang sedih, kota yang tersedih, begitu terpuruknya kota itu dalam dukalara sehingga terlupa akan namanya ) Kemudian mengalir lancar narasi tentang kehidupan seorang anak lelaki bernama Harun, dan ayahnya; Rashid Khalifa, seorang pendongeng termashur yang mendapat julukan sebagai ‘Kaisar Omong Kosong’ ( the Shah of Blah).
Kemampuan mendongeng Rashid begitu hebat, sehingga dia tak ubahnya Orpheus, yang memainkan musik sedemikian indah, sehingga tak saja membuat para binatang patuh kepadanya, namun bahkan mampu menjinakkan kebuasan para setan di neraka (Hades). Kemahiran mendongeng Rashid tak saja nemberikan kebanggaan pada dirinya dan anaknya , Harun,- atau menjadi sumber penghasilan utama untuk menghidupi keluarganya, namun juga membuat penguasa terpikat menggunakan dongengnya demi kepentingan politis mereka. Terutama untuk memikat perhatian massa. Namun ternyata ada orang yang tak bisa hidup sepenuhnya dari imajinasi.
Suatu hari isterinya; Soraya, minggat bersama tetangga mereka bernama Senggupta, setelah lelaki ini selalu mengejek eksistensi Rahid sebagai orang yang tak berpijak pada kehidupan nyata. Harun yang merasa galau akan kepergian ibunya, tanpa sadar ikut memojokkan ayahnya, “Apa guna segala cerita yang tak sepenuhnya nyata ?
( “What’s the use of stories that aren’t even true ? “ 3). Dampak dari perasaan terguncang Rahid akan gugatan anak lelakinya ternyata begitu tak terduga. Dia tak sanggup lagi bercerita. Padahal waktu itu Rahid sedang diundang oleh seorang politisi untuk mengucapkan pidato omong kosongnya.
Dilanda penyesalan, Harun berusaha mengembalikan kemampuan ayahnya bercerita, karena bila tidak mereka berdua akan mengalami kesulitan. Bukankah pejabat di kota G membutuhkan kemampuan Rashid bercerita, atau bila tidak, ayahnya dianggap berkomplot dengan lawan politik si pejabat untuk memboikot program kampanye mereka. Bila begitu anggapan mereka, runyamlah posisi Harun dan ayahnya.
Upaya Harun berlanjut dengan sebuah perjalanan mistis untuk memulihkan kemampuan mendongeng ayahnya menuju Kahani, tempat di mana terdapat Samudera Dongengan (Sea of Stories), mata air sekaligus muara semua jenis kisah yang ada di dunia. Sesampainya di Kahani, kisah dan semuanya mengalir bebas menuju akhir cerita yang ditentukan sendiri oleh kehendak Sang Dongeng. Suasana rawan membayang karena Samudera Dongengan terancam tumpas karena diracuni oleh si jahat, Khattam-Shud.

Karakter memikat
Dalam petualangan di Kahani inilah Harun bersua dengan beberapa karakter yang memikat, seperti Iff, jin air, Butt; robot berbentuk burung bulbul, dan mahluk berbentuk ganggang yang bernama Mali, si Tukang Kebun Terapung Kelas Satu, dan sebagainya.
Maka HatSS jelaslah sebuah novel yang tak saja menyenangkan pembaca kanak-
kanak, namun juga mampu menghibur para pembaca dewasa. Misalnya dengan menampilkan seorang tokoh dengan karakter misterius yang bernama Mudra, si Pendekar Bayangan ( Shadow Warrior ), jago pedang yang tak pernah berkata-kata dan bicara dengan gerakan isyarat melalui kedua tangannya. Suara si jago pedang ini hanya bisa didengar saat dia batuk,dan terdengan sebagai "Gogogol “ atau .” Kafkafka." ( Bahkan batuk ini pun diambil dari nama dua sastrawan kelas wahid; Nikolai Gogol dan Franz Kafka)
Sang tiran, Khattam Shud, penguasa Chup, negeri gelap,- adalah figur yang Rushdie dilukiskan sebagai “Musuh besar semua kisah, termasuk bahasa itu sendiri. Dialah pangeran Kegelapan dan Seteru Pembicaraan ." " Kenapa kau begitu membenci cerita ?" tanya Harun ketika dia akhirnya berhadapan dengan sang tiran.. " Karena cerita begitu menyenangkan. Dunia ini ada bukan untuk bersenang-senang. Dunia ini ada untuk dikendalikan,” sahut Khattam-Shud. " Dan dalam setiap cerita, setiap aliran di Samudera Dongengan, terdapat sebuah dunia, sebuah dunia cerita yang tak bisa kukendalikan sepenuhnya “ ( “ And inside every single story, inside every Stream in the Ocean, there lies a world, a story-world, that I cannot Rule at all.")
Maka, untuk menyelamatkan kemampuan ayahnya bercerita, menyelamatkan kehidupan di Kahani dan keberadaan semua cerita di dunia, Harun harus menghentikan niat jahat Khattam Shud. Dalam perjalanan menuju pusat kegelapan dan kesenyapan di pusat negeri Chup, kisah HatSS pun dipenuhi adegan yang unik, dengan penggambar4an imajinatif yang lentur, sekaligus kenyal. Perjalanan Harun ke negeri Chup tak ubahnya perjalanan si kecil Dorothy dalam The Wizzard of Oz, di mana Dorothy diiringi tiga sahabat ajaib; antara lain si Manusia Kaleng dan si Singa Penakut. Dalam HatSS, Harun pun disertai tiga sahabat yang ganjil : Iff, si jin Air, lalu Mr. Butt; sopir bis aneh yang kemudian menjelma menjadi robot burung bulbul dengan kemampuan telepatis, serta Mali si mahluk ganggang yang bertugas sebagai ‘perawat jalinan arus kisah’ yang mengalir di Samudera Dongengan.

Antara Represi dan Meta-Fiksi
Setelah ‘berbasah kuyup ria’ di samudera imajinasi Salman Rushdie, marilah ‘meniti tali’ yang terentang dari dua tepi yang berseberangan; yakni hukum besi lambang kekuasaan otoritarian yang menolak kebebasan mutlak dari imajinasi dan sebaliknya dunia imajinatif yang melepaskan diri sepenuhnya dari hukum realitas, di mana semua perlambang dan dan gambaran angan-angan bebas beterbangan dengan sayap imajinasi.
Rushdie adalah sastrawan yang sejak awal memilih untuk hidup di ‘jalan pena’ dengan segala resikonya. Saat novelnya; Midnight Children tak disukai para petinggi militer di Pakistan, dia masih bisa bersikap masa bodoh. Namun ketika The Satanic Verses diterbitkan dan berbuah vonis hukuman mati dari Ayatullah Khomeini, Rushdie menghilang dalam labirin pengungsian. Namun dia tak tinggal diam, dan melawan dengan HatSS’ sebuah dongeng dimana Rushdie membiarkan perlambang dan metafora bergerilya dalam imajinasi pembaca.
Tentu ada semacam penanda yang menyiratkan arah perlawanan Salman Rushdie. Misalnya nama negeri Alifbay. Bagi saya ini merupakan perlambang Rushdie yang mengacu pada negara Iran ( Alif adalah huruf pertama dalam abjad Arab. Bay adalah teluk dalam bahasa Inggris. Maka Alibay saya tafsirkan sebagai ‘negara di kawasan Teluk yang utama, punya posisi penting dalam percaturan dunia, yakni Iran ). Dan Rushdie menegaskan perlawanannya sejak awal, ketika dia menyebut negeri utama di kawasan Teluk ini sebagai "a sad city . . . a city so ruinously sad that it had forgotten its name.” Tentu saja ini penggambaran dari sisi Rushdie semata, sebagai salah satu pihak dari kedua pihak yang berlawanan. Bahkan dalam 60 Minutes – sebuah talk show TV yang secara tak sengaja saya tonton di sebuah hotel,– Rushdie mengaku perlawanan dalam HatSS hanyalah sebatas ‘perlawanan imajiner’. HatSS yang ditulis untuk anaknya, Jafar, haruslah dibaca untuk bersenang-senang, sebagai pengembaraan batin dari kesedihan menuju suka cita. ( “ He must read it for fun, a journey from sadness to joy.")

Menekan perbedaan
Barbara Harlow, dalam Resistance Literature 4), menyatakan bahwa perlawanan adalah persoalan yang cukup mengemuka dalam kesusasteraan dunia. Dan ‘sastra yang melawan’ sebenarnya merupakan jejak panjang dari niat untuk menolak penindasan yang sejak masa awal peradaban manusia selalu melakukan intervansi dan mengupayakan tindakan yang bersifat represi bagi setiap kelompok di luar mayoritas yang berupaya untuk mengucapkan narasi yang berbeda.
Berbagai kisah epik para raja dengan segenap ksatrianya hampir selalu mendapat perlawanan tersembunyi dari cerita rakyat yang sebenarnya merupakan sisi yang berbeda dari apa yang dituliskan oleh para pujangga istana. Bahkan berbagai dongeng atau kisah-kisah binatang yang dikenal dalam sastra lama sebagai kisah pelipur lara, sebenarnya merupakan bentuk pasemon kreatif dari para penutur kisah, yang secara bijak dan jenaka mengelak dari tudingan pedang kekuasaan. ( It is a fable that seek to entertain and drive home a point without seeming to do so; it also an assertion of the writter’s deviant creative spirits that refused to allow the iron of the oppressor’s sword to enter his soul and render him impotent )
Maka dalam HatSS bertebaran apa yang oleh Strauss disebut sebagai ‘esoteric text’ yang dirancang untuk menajamkan pemikiran pembaca, dan melacak komunikasi pemikiran yang melampaui hambatan sensor 5) Dengan mencermati narasi imajinatif Rushdie dalam HatSS, kita merasakan bila dia cukup piawai mengadopsi teknik yang dipraktikkan oleh beberapa sastrawan besar sebelumnya, seperti Voltaire atau Jonathan Swift ( kisah Guliver di Negeri Liliput-nya ternyata juga merupakan sastra perlawanan terhadap resim penguasa yang diam-diam ditentangnya )
Dalam HatSS, nampak jelas bahwa ketrampilan bercerita amat memikat para penguasa, karena potensinya untuk mempengaruhi masyarakat. Itulah sebabnya seorang pendongeng ulung seperti Rashid Khalifa justru terancam keselamatannya saat dia kehilangan kemampuan berorasi saat disewa oleh penguasa untuk mengkampanyekan kebaikannya dan berceloteh tentang ‘kisah omong kosong yang indah dan melenakan.’
Italo Calvino, dalam Right and Wrong Political Uses of Literature 3) menyebutkan bila dalam setiap periode kebudayaan di sebuah negara, selalu ditemukan pertautan aneh, di mana para sastrawan menari dalam alunan irama kekuasaan, sementara yang lain menolak mengikuti irama. Dan rejim totaliter pun mendukung sastra yang patuh. Itulah sebabnya Hitler membutuhkan Gerhart Hauptmann dan Soviet membutuhkan Mikhail Sholokov. Bahkan sastrawan Rusia seperti Solzhenitsyn yang melawan dengan Gulag Archipelago pun pernah menuliskan One Day in the Life of Ivan Denisovich atas permintaan Nikita Khrushchev.
Rushdie berhasil menyeberangi jalan ini. “ Kita bisa melewatkan ketidak mengerian akan makna kebenaran, yang terbentang seperti gurun maha luas. Di sana tak ada jalur jalan atau papan penunjuk arah. Tapi kita bisa menggunakan bintang sebagai pedoman. Memang semua itu hanya ada di malam hari. Namun malam adalah sesuatu yang pasti akan datang dan kita harapkan, sementara di siang hari, lebih baik kita berlindung dari kedatangan pemburu yang mengancam keselamatan, “ ujar Rushdie tentang imajinasi,yang masih diharapkan bisa menjadi penanda eksistensinya 7).

Meta-fiksi
Yang mengasyik, menelusuri jalinan narasi dalam HatSS, yang saling untai-menguntai membentuk fiksi yang mencakup banyak hal, saya pun menemukan mata rantai referensi yang jalin menjalin untuk memadukan berbagai fakta dengan imajinasi, sebagaimana laiknya sebuah meta-fiksi. Kaitan HatSS dengan Kisah Seribu Satu Malam tak saja berupa peminjaman nama Kalifah Harun Al-Rasyid sebagai nama karakter ini dongeng Rushdie, namun lebih dipertegas dengan nama rumah perahu di mana Rashid dan Harun mengawali petualangan ke Samudera Dongengan,yang diberi nama Seribu Malam ditambah Satu (HatSS hal 50)
Penggambaran karakter lain, si Anjing laut (The Walrus) misalnya. Si Pengendali Agung super-komputer yang disebut P2C2E ini dikelilingi mahluk berkepala plontos; Egghead yang mendeskripsikan diri dengan kalimat " Mereka manusia-telur—daku sang anjing laut” (“They are the eggmen--I am the walrus"). Aha! Rushdie meminjam kalimat ini dari sebuah lagu the Beatles yang berjudul "I am the Walrus" dari album mereka yang berjudul Magical Mystery Tour.


(Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya )

Catatan kaki :
Saya menggunakan versi paperback edition terbitan Penguin, 1999.
Saya membacanya dari edisi bahasa Indonesia yang diterbitkan Mizan, dalam empat jilid, 1998.
Haroun an the Sea Stories, Penguin, 1999, hal 20
Harlow, Barbara, Resistance Literature ( New York, Methurn, 1987)
Harlow, Resistance Literature – hal 52.
Dalam The Literature Machine : Essays, London, Picador, 1989
Cundy, C. Salman Rushdie, Manchester University Press, 1996



SAJAK – SAJAK :

AFRIZAL MALNA :


HARI LIBUR KOLAM RENANG

Potretmu bersama keluargamu masih terbayang di kolam renang, seperti kamar berisi air.
Kenapa kamar berisi air dan ada potretmu di situ. Ibumu yang mengenakan kebaya tersenyum lebar sambil menggendongmu waktu bayi. Kenapa ada bayi yang digendong di kamar yang penuh berisi air. Riak air membuat gambar-gambar baru di sekeliling potretmu. Lalu orang-orang lain berenang-renang di atasnya. Riak-riak air tidak menggambar lagi. Riak-riak air membelah-belah tubuh mereka, membuat kolam seperti penuh dengan tubuh mereka yang telah menjadi air. Kenapa ada air seperti pisau dalam kolam renang. Air membuat warna biru pada potongan punggungku. Matahari melayang-layang seperti penyu di dasar kolam. Penyu yang kepalanya tidak berani keluar dari tubuhnya. Dasar kolam membungkus kakiku dengan warna hijau seperti kepala anjing berwarna hijau. Air seperti kepala anjing yang keluar dari dasar sungai. Aih, hari libur di kolam renang, hari libur untuk tubuh-tubuh di kolam renang. Bekas ciuman masih berhari libur juga di kolam renang. Bekas ciuman masih berhari libur juga di kamar mandi. Aih, orang itu bisa masuk ke dalam air dan bisa keluar dari air di hari libur. Aku mencium bau kaporit. Ada bayang-bayang awan di atas dengkulmu, di antara 5 detik dari tumitku. Aih, kepala anjing, kepala penyu tidak sama dengan kepalaku di hari libur.



SUMBU KOMPOR DI LUBANG TELINGA

Ada warna kuning memancar di jangungku. Kenapa kau datang terlalu cepat, dan menggunakan kuping berwarna kuning ? Tidak. Aku tidak datang dan tidak terlalu cepat dan tidak menggunakan kuping berwarna kuning. Aku hanya warna kuning di jantungmu. Kenapa kau memanggilku seperti itu, seperti membiarkan jarum waktu memasukkan sumbu kompor ke dalam lubang telingaku. Beri aku waktu satu menit lagi untuk menyalakan korek api. Beri aku waktu untuk membersihkan kakiku sebelum pergi. Sebentar saja untuk membeli satu botol minyak tanah. Sebentar saja untuk melihat api menerangi lubang telingaku yang gelap. Biar aku melihat jarum waktu yang jatuh dalam lubang yang gelap. Tidak. Aku tidak membiarkan kamu pergi. Aku juga tidak membiarkan kamu datang. Aku hanya sedang melihat sumbu kompor yang terbakar di lubang telingamu. Cahayanya menerangi seluruh ketakutan yang membuat 100 tahun dalam lubang gelap.




DUA BUAH LAMPU NEON

Aku bergerak cepat. Telapak tanganku, jari-jari tanganku, obeng, kabel listrik untuk menerangi lorong di samping rumah. Dua buah lampu neon aku pasang. Kabelnya masih menjuntai seperti usus babi berwarna merah. Beberapa kali aku hilang di lorong itu. Tetangga-tetangga mencariku. Mereka pikir aku sedang pergi keluar pergi. Mereka tidak berpikir begitu. Mereka pikir aku ada dalam selimut mahluk halus. Mereka tidak berpikir begitu. Mereka tidak berpikir apa-apa tentang diriku. Tapi mereka masih mencium bau tubuhku di dinding tembok rumah bercampur bau santan. Mereka pikir aku pohon kelapa yang tumbuh di tembok tumah. Ya, mereka berpikir. Berpikir tentang tembok yang dibuat dari santan kelapa. Dan dua buah lampu neon di pasang untuk menerangi lorong itu. Kabelnya berjuntai seperti usus babi berwarna merah. Tapi dua lampu neon itu tidak bisa menerangi isi tembok, tempat orang-orang hilang tak pernah ditemukan lagi. Tembok yang lembab seperti bibir gelas minummu.



PENARI TOPENG

Penari topeng itu membuat topeng dari wajahnya sendiri. Dan menunggu hingga siang hari wajahnya berubah menjadi topeng. Dan menunggu lagi hingga sore hari topeng itu memiliki mata untuk melihat anjing dan ayam berlarian. Topeng itu memandang isi perut anjing dan ayam. Penonton tak tahu kalau penari topeng itu melihat isi perut anjing dan ayam. Penonton tak tahu kalau di balik topeng itu ada yang bermain judi mempertaruhkan tanahnya hingga sore hari. Dan menunggu lagi hingga malam hari tanahnya berubah menjadi topeng. Musik tariannya ribut sekali dalam isi perut anjing dan ayam. Pukul 8 malam penari topeng itu akan menari di Denpasar. Sesajen telah disiapkan untuk membuka topeng itu menjelang pukul 8 malam. Pukul 8 malam anjing dan ayam mulai membenturkan kepala mereka ke dinding belakang panggung pertunjukan. Pukul 8 malam mesin cetak begitu bising di atas panggung pertunjukan. Mencetak pantai, mencetak pura, mencetak dewa, . Penari topeng menunggu lagi hingga para tamu tertidur nyenyak. Dan berjaga lagi di depan pintu hingga pagi hari. Aduh, Jepang, Itali, aduh, Australi, Amerika, Korea, aduh, Jerman, Indonesia, Prancis, aduh, jangan membuat pesta makan malam dalam topengku. Aku hanya menari untuk para dewa.


DI HALAMAN BELAKANG

Pagi ini aku memijat punggungmu. Minyak kayu putih dan balsem juga. Halaman belakang tubuhmu yang hanya melihat bagian belakang dari dunia yang dilalui. Bagian belakang yang diciptakan dari seluruh perjalanan mundur. Punggungmu, balsem dan minyak kayu putih juga tak tahu, perjalanan mundur ke belakang atau ke depan. Dunia di belakang selalu menjauh dan mengecil. Detail-detailnya kemudian menjelma lagi saat hujan turun. Saat kebun kacang mulai berdaun. Tapi aku pusing, katamu. Pusing yang tak berdaun. Dan aku herus kembali ke halaman belakang dari leher dan kepalamu. Tak pernah ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur, katamu. Kebun kacang juga tidak berjalan mundur. Tidak meninggalkan tanah dan mencari kursi di taman. Hayo, sayangku, kita membuat hari esok di halaman belakang. Kita melihat waktu bergerak seperti kebun kacang di halaman belakang.


AFRIZAL MALNA, penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957. Dia pernah membacakan puisi-puisinya di berbagai kota di daratan Eropa, sambil memberikan ceramah-ceramah kebudayaan. Selain bergabung dengan berbagai grup kesenian, juga pernah bergabung dengan Urban Poor Concortium (UPC). Kini dia menetap di Yogjakarta.



HERU EMKA :


BANJARAN DOSA

penyair adalah Adam
yang beratus kali dijelmakan
dan mengembara dalam diam
dan menuliskan sajak-sajaknya
dari getah pohon dosa.
penyair juga Adam
yang memberi warna pada kelam
agar segala di hidup ini
jadi beragam
penyair juga Adam
yang memberi suara pada diam, memberi
pemberontakan pada jemu dan segala pasungan


“ mulut kesunyian menjerit resah. aku enggan berdamai dengan kehampaan “

“ itukah kegundahanmu ? Sungguh kampungan!”

“ Kau kah itu yang bicara lagi dalam tidurMu ?”

“ Akulah sang Pemangku yang ada di hatimu
tidur adalah jaga Ku, diam adalah bicara Ku “

“ Aku rindu kata-kata, bukan kesenyapan, dan aku jemu
bercakap dengan isyarat kepada-Mu “

“ bila kau bijak, Adam, inilah firdausmu : sunyaruri “

“ aku lebih suka terjebask kata-kata. kelu telah menjadi rindu dendam
beratus windu, bisu memeram geram selaksa waktu “

penyair juga Adam, yang menghayati
kejatuhan, penyair juga Adam yang berulang kali
diciptakan dalam takdir yang berlainan.
sajaknya bagai ayam jantan yang ditetaskan
naga penunggu hutan. itulah, kata-kata yang membara
meresahkan tidurnya dan membakar satu demi satu
mimpinya : pulang dari pengasingan..

“ lihat lagi wajahmu, Adam…”

-“ luasnya diam menyusut di keriuhan,
aku lelap di sela sibuk dan nyalang di dasar
lamunan. dan aku mulai cemas pada bahasa diam “

“ semua filsuf ingin mengabur di sunyaruri, meniti
jembatan awan ke tempat sempurna “

“ tidak! aku menolak !
aku rindu kata dan caci-maki
walau terulang lagi sejarah wal
manusia dosa

sunyaruri riuh rendah dalam bahasa sepi
langit bercakap senyap dengan udara hampa
sekejap cuaca berganti seribu kali
sukma Adam menggigil , tubuhnya bergetar
mengguncang jantung, menghajar nalar
mencipta air bah, yang membanjiri bumi
dari pori-pori
melabrak semua yang ada, menghanyutkan ke
samudera.

“ Tuhan
jangan jadikan aku Adam di hari penciptaan
tidak ! aku menolak ! biar kuhanya manusia saja
yang rindu kawan, meradang lawan
tidak! aku insan jelata, yang butuh tubu8h cinta
gemar bertengkar dan cium mesra pacar
hidup dan dosan terasa sungguh mahal harganya
karena di sana pernah ada semua yang kini tiada
bagai malaikat, aku ingin tumbuh sayap
agar bisa melarikan diri ini dari dusta
aku ingin menyerah
menaklukkan diri pada keramaian
wahai suara; puji dan caci
belenggulah aku
yang bosan diburu bisu
aku jengan terherat senyap
senyap selalu membawa hawa asing
daerah lain – di balik kerdip mata
suara dan kata :
maut !




Lagu Muara
1
di sinilah aku, kekasihku di tepi batas kebenaran laut luas sepanjang waktu, tak henti aku menunggu kabar-Mu dari hulu
senandung ku hanya percik ombak dan teriak burung camar kesepian keteduhan hutan - Mu yang rindang tak pernah menaungiku
di sini kunanti : kapan pasang - Mu tiba selalu ingin kutahu : kabar- Mu dari hulu aku hanya muara : endapan lumpur dan sarang malaria betapa kurindu : bening mata air-Mu

Penyair dan Pelukis - fur E -
barangkali paletmu mengering suatu hari kamu gantikan dengan kenangan yang tak terhapuskan
barangkali bukan sapuan warna tapi masa silam sedang kanvas di depanmu menjelma impian
pelukis dan penyair sama menyandang beban kenangan sama dihajar kerinduan
gambarmu bisa saja garang namun hatimu tetap perempuan mata air kelembutan
( dan medan kita sama : kesepian )
begini saja, bila kamu melukis lagi padang bunga yang sunyi sepi kalau boleh kutambahkan ; kuda jantan yang lepas tambatan !




Lagu Putih - farewell, empty dream -
selamat malam dara, masihkah tidurmu dihiasi banyak impian ? aku masih teringat padamu dalam semua perjalanan
pandangmu yang tetap bersinar didukung senyum yang malu ( di luar gerimis tiba menghantar cuaca yang kelabu )
inilah percakapan kita : getar senyap di daunan yang menggigil dalam lebat hujan percakapan kita : saling mencari apa yang tersimpan di sudut hati
selamat malan, kelembutan selamat malam, keheningan bila hari telah larut bagi jiwa mengendap tersisa : kenangan kita

ailia + matahariku
ailia, ailia, matahariku pergi mengembara dan aku tertinggal............ di sudut stasiun-stasiun kujenguk ruang di sibuk pelabuhan-pelabuhan kusapa diam di puncak malam, kulemparkan kegundahanku padamu
rinduku memancar deras, ailia, dari mata air dihatiku. akulah layang-layang berpusing di lidah topan, biar putus benang biar terhempas hilang, kukejar kamu matahariku
kukayuh perahu, ailia, kurengkuh dayung nestapaku ayo laju perahu laju, beranjaklah dari lubuk-lubuk yang tak punya makna. ayo laju perahu laju, jangan karam karena rindu, jangan kandas di awal duka, lajulah laju perahuku, hidupku
perahuku melewati kota-kota, ailia, singgah di sekian ribu asrama, perahuku bertolak dari kampung-kampung dan berlabuh di sepanjang jalan. tergeletak di hari-hari penat, mengenang kemarin kupinjam hangatmu, ailia, pengusir sisa dingin semalam lalu pagi datang lagi, fajar lahir lagi kau bersorak, ailia, bersama hanyut ke bisik kagum tapi bukan aku, ailia, matahariku tak pernah nampak wajar, selalu tersamar. hanya hangatnya meraayap ke sudut jauh hatiku.
dari mata air rinduku perahuku menuju muara MU ailia + Matahariku



Jejak kenangan


tak cuma waktu -
benua pun telah memisahkan
potret suram di album
hanya macet pada saluran ingatan
pada hari lamban
dan hilang warna

pada jam-jam biasa
aku sering mencarimu
di antara sibuk jalanan
atau menengok di sela waktu
yang meletakkanmu pada kapal
yang melaju

aku yakin
kau bagai kembang api
di malam tahun baru
melimpah riang bagai busa sampanye
di tengah pesta
hari-hari mu di negeri salju
akan penuh boneka, ucapan selamat
dan karangan bunga

sedikit sunyi tersisa
di kartu pos berwarna :
Museum nelson di Buckler’s Hard

lalu kalimat yang jadi asing
bagai sajak yang gagal memanggil kenangan.


Heru Emka, penyair kelahiran Semarang, 30 Oktober. Dia pernah membacakan puisi-puisinya di Taman Ismail Marzuki dan di beberapa desa. Puisinya terhimpun dalam buku yang berjudul Tanda ( Balai Pustaka, 1982), Tonggak 4 (Gramedia, Gramedia, 1987), Jejak Memanjang (Medayu Press, 1993) Banjaran Adam (2005, dalam persiapan penerbitan ). Hingga kini aktif menulis di berbagai media massa.


Kajian Perempuan :
Cantik sebagai mantera abadi

Baru beberapa waktu berselang kita menjadi saksi betapa para gadis muda kita dilanda demam untuk menjadi selebriti. Ketenaran, nama besar dan hidup enak sebagai orang beken disepakati sebagai buah impian mereka yang penuh damba mencebur dalam berbagai kontes yang bisa menjadikan mereka sebagai seorang bintang secara instan. Tapi itu sekedar tren, sebatas warna-warni sebuah musim, yang akan berganti pada ragam lainnya.
Tapi hasrat untuk menjadi cantik adalah mantera abadi, yang tak pernah lekang pengaruhnya sejak awal peradaban manusia. Menarik sekali apa yang diungkapkan oleh majalah pria Salon (edisi November 2004 ) tentang kegairahan tanpa henti untuk tampil menjadi cantik dalam special section di majalah ini : History of Beauty. Dalam artikel panjang ini secara menarik dikisahkan mitos keindahan para dewi kecantikan dari Ratu Helena (Helen of Troy), Cleopatra hingga para selebritis belia Hollywood seperti Liv Tyler .
Ratu Helena yang menjadi biang keladi pecahnya Perang Troya yang berdarah itu, dianggap sebagai wanita yang memiliki ‘kecantikan berbisa’, ‘le femme fatale’ ( si cantik yang mematikan) dengan sorot mata indah yang mengandung bius, seperti digambarkan oleh pujangga Homerus. Cleopatra menduduki peringkat kedua dengan resep istimewa mandi susu plus madu, yang masih diadopsi oleh para wanita sekarang ini. Kemudian para dewi tahun enam puluhan yang bentuk tubuh seindah Venus seperti Raquel Welch, hingga citra dewi muda Hollywood yang dipandang mewakili kecantikan alami, jauh dari rekayasa fisik secara medis, yakni Liv Tyler.
Namun menurut saya, yang menarik bukan apa atau siapa yang menghiasi deret galeri para dewi kecantikan versi Salon ( yang bisa saja disusun ulang oleh redaksi media lainnya ) namun penjelasan bahwa kecantikan , walaupun tetap menjadi mantera memikat bagi setiap wanita di mana saja, telah bergeser maknanya, dari masa ke masa. Kecantikan yang semula dikagum sebagai seni keindahan ( art of beauty , yang barangkali mewakili tahap pemikiran mitik ) bergeser sebagai ‘teknologi keindahan’ (science of beauty) yang mewujud lewat teknologi kecantikan artificial seperti bedah plastik, implan sel hidup atau terapi ozon dan sebagaianya.
Dan bagai para pendamba kecantikan, ‘science of beauty’ bahkan mejadi mantera baru, dengan ‘kuil-kuil baru’ berbagai salon kecantikan yang ekslusif dan mewah, dengan peralatan moderen yang menggabungkan kemampuan medis rumah sakit dengan kenyamanan pelayanan hotel berbintang lima.

Tubuh yang resah
Tubuh menjadi obyek baru bagi senirupa kecantikan, menjadi obyek utama sebuah modifikasi atas nama estetika. Dalam Body Modification, yang disunting oleh Mike Featherstone, ( Thousand Oaks, London 2000 ) - menurut saya merupakan sebuah antologi paling komprehensif yang menjelaskan tentang ‘politik tubuh’ dan hasrat abadi untuk cantik - menyebutkan, bahwa tubuh manusia akhirnya menjelma menjadi pemujaan baru dalam sudut pandang studi kebudayaan. …..( The human body is the new fetish of cultural studies.)
Dalam antologi ini, tak saja para feminis, namun juga para psikoanalis, para fenomenolog dan para antropolog, ikut mengembangkan teori yang tajam dan berbeda tentang tubuh manusia. Menjadi cantik memang lebih menyenangkan (preferable). Karena memberikan keutamaan fisik pada perempuan lebih mudah mendapatkan pasangan, pujian, atau bahkan pekerjaan. Begitu besarnya pukau mantera kecantikan sehingga membuat para wanita , dari masa ke masa, cenderung narsistis, memuja kecantikan tubuh semata.
Namun di sisi lain, kecantikan sendiri telah direduksi oleh kepentingan kapitalisme. Versi dan defenisi kecantikan yang begitu beragam sesuai kultur yang ada di dunia, kemudian diperas dalam sebuah defenisi yang seragam, versi media massa terkemuka seperti atau lembaga yang merasa punya wewenang untuk menentukan wanita tercantik sedunia, seperti konsep pemilihan Ratu Sejagat ( Miss World), misalnya.
Masalahnya, haruskah ada kelompok tertentu yang berhak menentukan kriteria kecantikan dan kriteria macam apakah yang pantas digunakan untuk memberi penilaian ? Dan bisakah mewakili suatu obyektifitas ? Bukankah setiap periode jaman serta masing-masing kebudayaan dan era-sosialnya memiliki standar sendiri tentang konsep kecantikan dan estetika tubuh ?
Industri global yang juga menjadikan kecantikan dan keindashan tubuh sebagai isu panas juga menunjukkan kecenderungan untuk bergerak secara homogen. Berbagai industri kosmetik moderen seperti L’Oreal, Estte Lauder, Lancome dan sebagainya, mendirikan berbagai lembaga riset di seluruh dunia bahkan dalam kepentingan untuk menyelaraskan produk bisnis mereka dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat unik, dari berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Belenggu, candu
Tak heran bila tokoh feminis postmodern seperti Julia Kristieva menganggap bahwa kecantikan sebagai rahmat sekaligua kutukan. “ Ada semacam belenggu kecanduan dalam konsep kecantikan, sehingga wanita tergoda untuk merantaikan diri dalam citra cantik, dan mengabaikan isu strategis lainya yang tak kalah penting dalam kehidupannya. Mereka menjadi boneka yang terantai dalam etalase kekaguman para pria,” ujarnya dalam Desire in Language ( Columbia University Press, 1982.)
Kita memahami kegundahan feminis yang satu ini. Gairah para wanita untuk terus melakukan perombakan atas tubuhnya sendiri melalui berbagai tindakan bedah plastik, .body piercing, berbagai program firness, rekayasa prosthetik, dan berbagai upaya lain dari proses neural implants, hingga metode pengobatan mutakhir nanoteknologi , yang atas nama fashion dalam tahun-tahun terakhir ini, telah membuat tubuh menjadi tempat yang paling aktual untuk melakukan eksperimen.
“ Bila kecantikan menjadi mantera abadi, dengan mitos-mitos yang hampa dan tak relevan abgi aktualisasi diri, maka alangkah menderitanya tubuh wanita masa kini, “ begitu keluh Kathy Davis, dalam ' "My Body is My Art":Cosmetic Surgery as Feminist Utopia'. - The European Journal of Women's Studies. No 4: pp 23-37. (1997). Dan korban mitos ini masih saja terentang dalam jarak yang begitu panjang. Dari kawasan sibuk Manhattan hingga di sebuah salon kecantikan di Depok. Muncul lagi berita tentang si anu yang menjadi korban jiwa karena efek merusak sebuah operasi bedah plastik. Si anu ini pun bisa saja tampil dalam deretan sosial yang tak terhingga. Dari hostes sebuah klab malam murahan, hingga presiden direktur sebuah perusahaan elektronik di Maryland, AS. Ah….kecantikan kadang terasa sungguh absurb…….(Gendhys Mujiati )



Cerpen : Kejahatan Hati Nurani

Karya Nadine Gordimer


Mereka saling mengamati pada saat yang sama, ketika melangkah turun dari tangga Mahkamah Agung pada hari ketiga pengadilan itu. Di saat itu, kebetulan saja para penonton datang untuk melihat si terdakwa – melihat mereka yang bakal menanggung kurungan dinding dinding penjara karena gagasan-gagasan yang ada di kepala mereka – telah memuaskan rasa ingin tahu mereka, yang memiliki kepentingan khusus mengikuti peradilan itu dari hari ke hari. Mungkin dia seorang wartawan atau perwakilan kekuatan Barat yang mengamati proses peradilan-peradilan politik dalam problematika negara-negara itu bagi kebijaksanaan luar negeri, dan melobi kembali persoalan hak asasi manusia di Eropa Barat dan Amerika.
Dia mengenakan setelan korduray dengan potongan yang tidak lazim. Tapi saat lelaki itu berbicara, jelaslah bahwa dia pun mirip perempuan itu, seorang rumahan – dia memiliki aksen dengan gaya khas membelokkan frasa yang berhubungan dengan bahasa sehari-hari. “ Apalah arti sidang ini ! Aku tak paham…Setelah dua jam mengikutinya.. Aku merasa bagai terperangkap dalam gulungan pita yang lengket – tak berdasarkan fakta..”
Wanita itu tak bersalah. Dia seorang wanita muda dengan kelembutan ekspresi tapi terlatih dengan gaya tenunan rumahan sederhana, dalam pertemuan apapun, tanpa memberi kesan sebagai anggota pusat meditasi transendental atau kelompok yang memprihatinkan lingkungan hidup atau studio desain, melainkan suatu lambang perikemanusiaan tersendiri dari mereka yang tak memiliki apa-apa dan menanggung resiko tersendiri. Satu-satunya perhiasannya, seuntai kalung mungil dari potongan -potongan kulit unta yang tertata sepanjang benang, dan bergerak ketat pada lehernya saat dia tersenyum atau mengangguk. “ Kerja pengacara memang seperti ini..Aku melihatnya dengan jelas. Beberapa hari yang pertama, hal itu merupakan urusan orang-orang yang berusaha agar setiap orang terkecoh pada sisi yang lain.”
Di akhir pekan, mereka minum kopi bersama selama rehat siang. Lelaki itu menguterakan sejumlah impresi yang naïf dari peradilan itu, namun seolah-olah menyadari sepenuhnya akan kemudahan tipuan. Mengapa negara memanggil saksi-saksi yang tak berhak dan mengatakan rezim ini menindas semangatnya dan menghalang-halangi ambisi normalnya ? Tentu saja, karena jenis kesaksian seperti itu mendukung pembelaan, biarpun hal itu merupakan kejahatan hati nurani.? Wanita itu menggeraikan rambutnya yang indah, berdesir bagai permadani yang terbuat dari bulu kambing Anggora. “ Tunggu. Tunggu. Itu demi memantapkan keyakinan. Membuktikan keterlibatannya dengan terdakwa. Pengetahuan mereka yang mendalam mengenai apa yang dikatakan dan dilakukan terdakwa, demi menyalahkan terdakwa dalam hal yang bertentangan dengan pembelaan. Tidakkah kau melihatnya ?”
“ Kini aku melihat.” Lelaki itu tersenyum sendiri. “ Saat aku di sini sebelumnya, aku tak begitu perduli dengan persoalan-persoalan politik – aktivitas politik, kukira kau sudah mengatakannya ? Itu hanya setelah saya pulang dari seberang lautan.”
Dia menanyakan apa yang dihatapkan darinya setelah beberapa dia menghilang ?
“ Hampir lima tahun. Periklanan. Lalu komputer.” “ Hapuskan hukuman yang memberi kesan tiadanya kepentingan, mengingat riwayat kerja ini telah habis kekuatannya.” Dua tahun silam aku baru merasa ingin kembali. Aku tak bisa memberi alasan yang sebenarnya pada diriku. Aku telah melakukan jenis pekerjaan yang sama di sini – sebenarnya aku sudah menempuh kursus sekolah bisnis di sebuah universitas – lalu sedikit demi sedikir aku paham kenapa aku inginkan hal itu. Pulang kembali. Nampaknya hal itu bisa dilakukan bersama problema seperti ini.”
Air mukanya menampakkan pikirannya yang berbeda, walau alis mata dan mulut mengekspresikan pengertian yang tenang. “ Aku kira semua kesaksian ini kabur bagimu. Aku tak mengira kau adalah orang yang berdiri di luar lapangan.”
Tubuhnya kurus. Genggaman tangannya yang kecil tak ubahnya perkakas yang ditaruh di atas meja etalase sebuah warung kopi. Di luar kemampuannya, mereka memainkan bungkusan gula sementara dia menjawab,” Apa yang membuatmu memikirkan hal itu ?”
“ Agaknya banyak yang kau tahu. Sepertinya kau mengalami sendiri…Atau barangkali…kau mahasiswa hukum ?”
“ Aku ? Bukan ..,” dia memberikan sambutan bersahabat setelah seteguk-dua teguk kopi,” Aku bekerja untuk korespondensi universitas.”
“ Guru”
Sambil tersenyum dia melanjutkan,” Mengajar orang-orang yang tak pernah kulihat.”
“ Tak mungkin. Kau nampak bagaikan orang yang begitu terlibat.”
Untuk pertama kalinya, perhatian basa-basi itu berubah, jadi menghangat,” Tidakkah kau berada di London ? Tak terlibat..?”Pada perjumpaan itu, dia memberikan kartu nama pada perempuan itu, dan bercerita lagi padanya.
Namanya Derek Felterman. Itu nama yang sebenarnya. Dia menghabiskan waktunya lima tahun di London. Bekerja di sebuah biro iklan lalu mempelajari ilmu komputer di sebuah perusahaan yang bonafid. Selama di London itulah dia direkrut oleh ‘orang Kedutaan’, bukan seorang diplomat, namun seorang petugas seksi keamanan internal dari negara asalnya. Tak seorangpun tahu, bagaimana polisi rahasia mengenali para calon yang diinginkan. Hal ini semisterius gairah kawin para ayam. Namun bila dicari ciri-ciri yang sesungguhnya, perekrutan agen ini nampak gamblang, tak soal seberapa dalam seseorang bisa menyembunyikan hal ini dari dirinya sendiri.
Dia tidak bekerja untuk menyelundup dalam lingkaran para pengungsi yang bersekongkol meninggalkan kampung halamannya. Hal itu sudah diputuskan bahwa dia akan pulang dengan ‘bersih’, dan bekerja pada partai politik bayangan di sebuah kampus universitas di sebuah kota pantai. Dia lantas dikirim ke utara, ke pusat industri dan logam negara, dan mengkisahkan dirinya mendapat pekerjaan komersial biasa yang tak berhubungan dengan kampus, dan sebagai pendatang baru, dia mencari kontak di mana saja : informasi tentang para majikan yang dibiarkan tergelincir, kelompok budaya sayap kiri, gelombang poster kelompok protes, galeri publik pada peristiwa pengadilan politik.
Para majikan mempercayainya untuk mengetahui bagaimana cata menjilat dirinya sendiri; yang menjadi suatu kualitas yang diinginkannya, seperti halnya wanita yang mendambakan pria dengan karakter yang bahkan di luar kemampuannya – nampak dari sebuah sudut bibirnya yang mencibir bila dia tersenyum.
Pada gilirannya, dia cepat mengenali perempuan itu – pertama sebagai suatu tipe, kemudian, di hari ketiga, saat dia mencari pembuktian tentang perempuan itu di arsip kepolisian, saat si perempuan diam-diam pergi mengunjungi teman-temannya yang berada di penjara. Yang menjalani hukuman selama tiga bulan karena menolak memberikan kesaksian dalam sebuah kasus. Aly, begitu dia menyebut dirinya sendiri. Alison Jane Ross. Ada hubungan tak langsung antara kepentingan Allison Jane Ross di pengadilan sekarang ini, dengan orang-orang yang sedang diadili, dan sudut pandangnya ini tak meniadakan kemungkinan keterlibatannya dengan pemimpin organisisasi atau kelompok aksi subversif yang ingin mencari nama.
Felterman nampak senang bersahabat dengannya. Sambil membawa kotak berat berisi buku-buku dan sebuah alat pemanggang, dia bertanya andai Aly ingin nonton drama dengannya di malam Minggu. Sayangnya dia sedang pindah rumah pada hari Sabtu, tapi siapa tahu Felterman bersedia datang dan membantu ?
Lelaki itu ada di sana tepat waktu. Keluarga kawan-kawannya diperkenalkan dengan nama kecil, memberikan bantuan ganda dengan sebuah combi tua,- station wagon yang kehilangan daya pegas, mengangkuti makanan drngan energi kasih sayang sebagai bahan bakarnya. Selesailah perpindahan dari sebuah flat ke sebuah rumah mungil dengan sebatang pohon palem tua yang mengisi seperempat bidang taman, daun-daunnya yang kering terasa mengganggu bila angin berhembus, juga suara serangga besar yang menggosok-gosokkan kakinya bersama-sama.
Bersama senandung malam makhluk itulah , mereka bercinta untuk pertama kalinya dalam sebulan ini. Walaupun Robs, Jimbo dan Ricks sama baiknya dengan Jojos, Bets dan Lils dalam hal mencium dan memeluk sahabat mereka , Aly,- namun sebagai kekasih, lelaki ini tak tergantikan. Walau faktanya, perempuan itu agak merasa canggung menjalin keintiman, seperti yang juga diperlihatkan lelaki itu padanya. Namun disana ada sebuah kamar bagi mereka berdua.
Pada awal kedekatan mereka, bahkan sebelum mereka menjadi sepasang kekasih, dia berniat menceritakan pengalamannya selama di penjara. Namun dia mengatakannya dengan kalimat basa-basi yang dangkal – selimut yang berbau antiseptik dan kucing yang selalu mengelilingi ruangan bersama pasangannya. Kini dia tak lagi bertanya tentang wanita lain pada lelaki itu, dan terkadang ada beberapa kehangatan tak terduga, rasa saling mengisi yang terpancar, kenikmatan seksual yang masih terasa, yang diakui lewat anekdot konyol, affair masa lalu, dengan wanita yang menguasai ruang dan waktu mereka.
Saat kesempatan yang baik muncul secara alami, dia pun bercerita tanpa rasa malu, dendam atau kesombongan yang sepertinya dibutuhkan setelah hidup selama tiga tahun bersama seseorang, yang pada akhirnya, kembali ke pelukan isterinya. Belakangan ini ada satu-dua affair singkat – ‘ Terkadang – tidakkah kau temukan – seorang sahabat lama yang mendadak terasa asing..? Dan keesokannya kembali sama seperti sedia kala, sepertinya tak ada yang berubah.”
“ Bukankah sahabat adalah sesuatu yang amat penting bagimu ? Maksudku setiap orang adalah sahabat, tapi kau…Kau benar-benat nelakukan apapun untuk sahabat-sahabatmu.Benar kan ? ”
Hal ini tercermin dari reaksinya yang lebih baik daripada sekedar kata belaka. Pengalaman yang dilewatkannya selama tiga bulan di penjara. Dia mengangkat ujung rambutnya yang keriting di keningnya, dan wajahnya yang berbintik nampak kontras dengan bagian yang merona di bawahnya : “ Mereka memang sahabat bagi diriku.”
“ Ini bukan masalah persahabatan saja – tentunya aku melihat para sahabat sebagai ikatan sejiwa…”
Dia memandangnya bagai seorang anak yang memandang lewat sebuah jendela pada kisah yang lain. Dia membungkuk dan menggenggam tangannya, menciumnya di kelopak mata masing-masing, dengan jenis dekapan yang senelumnya tak pernah saling mereka berikan.
Walau begitu, teman-temannya agak terabaikan juga, suatu hal yang disetujui Felterman. Lelaki itu ingin masuk dalam kelompok itu secara lebih erat, hal yang wajar bagi doa orang yang terlibat kisah cinta yang penuh gairah. Juga bisa dipahami bahwa Felterman tak punya kenalan lebih banyak daripada mereka, dia telah lima tahun meninggalkan rumah, baru dia tahun kembali ke kota pantai itu. Dia menyegarkan lagi kesenangan Aly, yang telah ditinggalkannya di masa lalu, saat dia masih menjadi siswa; bermain ski air dan mendaki. Mereka oergi bersama menonton pertunjukan teater rakyat penduduk pribumi, bagian dari kursus politik yang diberikan padanya tanpa melalui korespondensi, tanpa menyadari apa yang dilakukannya dan tanpa memberinya nama yang berlebihan.
Aly tak mengajaknya ke diskotik, melainkan melibatkan dalam kontak penting yang dilakukannya bersama sekelompok temannya dari ras dan warna kulit yang berbeda., dengan pengandaian bila Felterman berada dalam pesta-pesta perempuan itu, dia menari lebih cepat darinya, dia belajar dari orang-orang Negro bagaimana cara mendayagunakan tubuhnya untuk musik. Dalam transformasi ini, dari tempat dia minum dan mengamati Aly dan teman-temannya, perempuan itu nampak binal dan begitu menggairahkan. Terkadang dia kembali pada Felterman, bersama persembahannya : makanan dan minuman yang dibawanya.
Bulan demi bulan pun terlewatkan. Lelaki itu melihat pola-pola tertentu dalam persahabatan si wanita , hingga melebihi hidupnya bersama wanita itu, yang memasuki wilayah-wilayah terlarang dan di antara orang-orang yang dibatasi hukum pergaulan, seperti wanita yang menyebabkan dia masuk penjara, secara bertahap wanita itu mendapatkan rasa percaya diri untuk mendekatkan lelaki itu pada resiko . Tanpa pernah mendiskusikannya, namun jelas secara sensitif selalu mencoba mengukur seberapa banyak dia benar-benar ingin mengetahui ‘ mengapa dia ingin kembali melakukan ‘hal seperti ini’.
Memang lebih sulit untuk meninggalkannya, apalagi di larut malam, sendiri di bawah udara kering, hasutan beku pohon palem tua , dengan sedir daunnya yang merisaukan hati. namun walau dia tahu telah tercipta tempat baginya untuk berdiam di pondok bersama perempuan itu, dia telah kembali ke flatnya, yang lebih mirip sebuah kantor yang tak dihuni, kecuali kursi dan meja berdebu yang didudukinya untuk menulis laporan, yang hampir tak dapat dituliskan di rumah yang didiaminya bersama wanita itu.
Dia sering bicara dengan wanita itu ketika berada di penjara. Aly selalu mengawali pembicaraan pada semua topik. Namun ketika mereka baru saja menyimpan senjata lain, jauh dari jangkauan dan tak terliput penyelidikan dan terluput dari cermatnya pengawasan, dia menceritakan kisah yang sebenarnya : kenapa dia memanggung resiko, untuk siapa dan apa yang telah disepakatinya. Dengan penuh hasrat, Aly menantikan kata kunci. Dari lelaki itu.
Itu adalah sebuah kata sandi yang tak dimilikinya. Itu adalah sebuah kode yang tak diberitahukan padanya. Dan kemudian ketika malam lain tiba, dia menemukan kode itu . Malam itu juga dia berkata; “ Aku telah memata-mataimu.”
Raut wajah wanita itu terhenyak dalam sebuah momen yang terpusatkan dalam dunia binatang, di mana mahkluk yang terancam berubah menjadi bola paku atau merubah ketakutannya dengan menggelembungkan ototnya dalam sikap bertahan yang menyala-nyala.
Momen ini dengan cepat menghilang dari wajahnya saat dia melangkah. Felterman menghalangi langkahnya saat seorang lelaki bersenjata muncul di belakang punggungnya.
Perempuan itu bergerak cepat melintasi ranjang, tangannya menjangkau kepala lelaki itu, dan menjambaknya.

Terjemahan : Heru Emka. Dari kumpulan cerpen Nadine Gordimer ”CrimesofConscience”. Heinemann - African writer series-, 1991




Catatan Kecil :
Nadine Gordimer dan Kelembutan yang Membadai

Nadine Gordimer, seperti penerima Nobel lainnya; Günter Grass dan Alexander Solzhenitsyn, adalah figur yang menjulang dalam sastra dunia dan sekaligus menjadi lambang keteguhan moral bagi bangsanya. Dia menjadi teladan bagi keteguhan sikap yang gigih bertahan melawan tekanan rasisme di Afrika Selatan. Dia juga menjadi pemuka bagi toleransi, kebebasan berbicara dan pemahaman keberagaman, walaupun menghadapi tekanan politis dan tiga karya sastranya dinyatakan terlarang.
“ Menulis membuatku menyelami hidup, menembus permukaan kehidupan Afrika Selatan,” katanya. Karya sastra Nadine lahir dari pergulatan batinnya melihat penindasan terhadap kaum kulit hitam di negerinya. Namun Nadine sendiri adalah sastrawati yang anti propaganda. " I have never allowed myself to write propaganda, however strongly I have felt for the people on my side," ujarnya dalam antologi The Essential Gesture: Writing, Politics and Places.( New York: Alfred A. Knopf, 1988.)
Dalam karya-karya Nadine, semua yang terungkap jauh dari kesan gemuruh atau kegusatan yang meledak-ledak, sebaliknya rasa cinta pada tanah air dan kemanusiaan diungkapkan dengan halus dan tidak serta-merta. Seperti sastrawan lainnya; Alan Paton dan JM Coetzee, Gordimer mampu menyajikan gambaran dramatis negerinya, kekerasan yang dilakukan oleh rezim yang razis, suasana negara totaliter yang serba mengungkung. Serta suasana yang membuat orang saling mengingkari hati nurani, saling menghianati dan memata-matai.
Tak heran bila dalam novel-novelnya seperti The Conservationist (1974) dan Burger's Daughter (1979) karakter yang ditampilkannya akrab dengan pembuangan dan pengasingan. Dia menggugat dunia mapan kaum kulit putih, dan mengajak mereka untuk mempertanyakan kepantasan moral dari penerapan politik Apartheid yang ada. Nadine Gordimer membidik semua ini dengan gaya bertuturnya yang lembut, dia melenggang dengan narasi yang kaya akan detil, yang membuatnya unggul, baik dalam karya novel atau cerita-cerita pendeknya.
City Lover’s (1975) adalah salah satu noveletnya yang mengisahkan bagaimana percintaan sepasang manusia yang berbeda warna kulitnya direnggutkan oleh peraturan penguasa. Berkisah tentang seorang geolog Austria yang kesepian dan menjalin hubungan dengan perempuan berkulit hitam, pegawai sebuah supermarket, yang lembut dan pemalu. Mereka segera saling mencinta dan menemukan hari baru yang jauh lebih bermakna, dan saling mengisi kekurangan masing-masing, yang sebelumnya tak terasa.
Tak saja dalam hasrat mencinta dan dicinta, namun juga dalam keseharian masing-masing.
Si kekasih perempuan tak saja menampilkan kelembutan cinta saat mereka tidur bersama, namun juga kaya perhatian ; selalu membawakan makanan kesukaan kekasihnya, dan menjahitkan kancing bajunya. Sedangkan si kekasih lelaki menunjukkan perhatian dengan membelikan hadiah, mengajari mengetik dan memperbaiki kemampuan berbahasa Inggris perempuan yang dicintainya. Yang lebih penting lagi, menunjukkan keteguhan sikap untuk mencintai pacar kulit hitamnya, walau apapun yang terjadi. Itulah sebabnya polisi menggerebek mereka di suatu malam, karena undang=undang pemerintah melarang hubungan antar ras.
Karya sastra Gordimer selalu merupakan kesaksian pada keyakinannya akan kekuatan rasa kemanusiaan dan kemampuannya untuk mengatasi apa yang disebutnya sebagai ‘kekerasan penderitaan’ (‘the violence of pain’) walau penderitaan itu secara bertubi-tubi dimunculkan (dilembagakan) oleh negara. Dalam cerita pendeknya yang berjudul Kejahatan Hati Nurani ( Crimes of Conscience), Nadine mengisahkan bagaimana seorang lelaki tega menghianati kekasihnya, bahkan memperalat cinta untuk memata-matai aktivitas politik kekasihnya, lalu menjebak dan menjebloskannya ke penjara. “ Politik apartheid tak saja memisahkan hak hidup sesama manusia, namun juga secara sistematis meracuni mereka dengan gagasan keunggulan ras, memberi peluang bagi penghianatan terhadap cinta dan kemanusiaan itu sendiri,” tutur Nadine dalam The Guardian.

Hutang budi tak terbayar
Lewat karya sastranya, Nadine tak henti menyuarakan, bahwa pemerintah Apartheid Afrika Selatan harus menyadari kesalahannya, memandang tendah kaum kulit hitam. “ Mereka harusnya berterima kasih karena menumpang di tanah air saudaranya yang berkulit hitam. Secara sosial, budaya dan geografis, kita jelas berhutang budi yang tak terbayar pada mereka,” ujar Nadine lagi. Hal ini digambarkan dengan bagus dalam novelnya; July’s People, yang berkisah tentang bagaimana seorang pelayan hitam menyelamatkan keluarga majikan kulit putihnya, membantu mereka melarikan diri dari bara api perang saudara yang melanda kota Johannesburg. July, si pembantu kulit hitam ini bahkan bersusah payah dan menempuh banyak resiko untuk melindungi keluarga majikannya, dengan membawa mereka mengungsi ke kampung halamannya.
Memang, karakter dalam novelnya seing hidup dalam baying-bayang kekerasan, dalam ancaman brutalitas yang sebelumnya tak terbayangkan. Pemisahan ras dan perbedaan kelas, konvensi kehidupan dan aturan-aturan yang membelenggu kebebasan dan hak asasi manusia yang sepertinya tak terlawan, namun di ufuk sana masah saja berpendar cahaya harapan, yang dengan misterius memberi kekuatan dari dalam untuk bertahan. Menggenggam kehidupan lebih baik di masa depan. Melalui kelembutan bahasa dan karakterisasi yang tak kenal takut, Gordimer menjadi tandingan bagi propaganda rezim Apartheid, semua yang terjadi dijantung kegelapan ini diungkapkan secara diagnostik dan tidak sentimental.
Nadine juga tak henti menekankan, bahwa siapa pun, secara individu, bila punya keberanian dan cukup niat, akan menang melawan penindasan. Karena itu janganlah sampai kehilangan harapan. Keteguhan yang tak pernah hilang dari karya Nadine Gordimer ini, setidaknya mengingatkan saya pada keteguhan melawan tirani yang absurd dalam novel Kafka; The Castle. Nadine yang dilahirkan pada 1823 ini telah lama menjadi – apa yang digambarkan oleh Seamus Heaney sebagai ‘ pejuang gerilya imajinasi’, hingga dia menjadi sastrawati Afrika Selatan yang pertama yang meraih Nobel Sastra di tahun 1991.
Nadine percaya bahwa fiksi, yang berbeda dengan fakta berita sehari-hari, bisa meningkatkan keperdulian sosial masyarakat secara permanen. Lebih dari setengah abad dia dengan tekun menghasilkan karya sastranya; tiga belas novel, lebih dari dua ratus cerpen dan beberapa buku esai. Tiga novelnya pernah diberangus oleh rezim Apartheid, sebaliknya lebih dari dua ratus esai tentang karyanya telah ditulis oleh para kritisi sastra di seluruh dunia, dan telah ditulis sepuluh buku yang membahas karya sastranya. Termasuk yang paling komprehensif seperti yang ditulis oleh Stephen Clingman; The Novels of Nadine Gordimer: History from the Inside (London: Bloomsbury, 1993). Di samping itu, karya Gordimer juga diterjemahkan dalam lebih dari tiga puluh bahasa. Nadine sendiri telah menerima lima belas gelar doktor honoris causa serta beberapa anugerah sastra di samping Nobel itu sendiri.. Dia secara pribadi juga tak pernah henti memberikan dukungan pada para penulis untuk menggunakan hati nuraninya untuk melawan ketidak adilan yang ada di mana saja. ( Emka )



Budaya Pop : Jagoan bagi si kulit hitam


Sebagian penghuni perkotaan di Indonesia pasti mengenal nama beken seperti Batman, Superman, atau Spiderman. Mereka tadi adalah para manusia digdaya (superhero) yang mencuat dari komik Amerika, yang telah lama menjadi ikon budaya pop, yang pencitraannya mencapai puncak melalui film Hollywood. Menurut ensiklopedi Wikipedia, defenisi superhero adalah : ‘ a fictional character who is noted for feats of courage and nobility, who usually has a colorful name and costume and who possesses abilities beyond those of normal human beings,’ . Maka penampilan Superman, si manusia baja, atau Batman,si pangeran Kegelapan, dengan segala kehebatannya menambah kemualiaan mereka sebagai pembasmi kejahatan, semakin mengesankan sebagai idola fantasi. Kostum atau nama mereka yang beraneka macam selalu memberi sesutu yang baru.
Uniknya, para superhero yang mewarnai budaya pop Amerika sejak tahun 1958 ini semuanya digambarkan sebagai orang kulit putih. Lihatlah para tokoh utama dalam DC Comic; Superman, Flash, Batman dan Robin, Green Lantern atau Wonder Woman,- semuanya ras kulit putih. Begitu juga tokoh utama komik Marvel; Captain America, Spiderman, Hulk, Wolverine dan Cyclop. Mereka bahkan bersatu dalam kelompok Liga Keadilan untuk ‘menyelamatkan dunia’.
Bila budaya pop menikmati kemunculan mereka sebagai kisah fantasi yang menyenangkan, kalangan masyarakat kulit hitam di AS banyak yang merasa sebal. “ Hasrat mereka untuk menjadi penguasa dunia bahkan sudah melebar ke dunia fantasi. Karena dalam dunia nyata, yang menjadi lambang supremasi dalam soal kekuatan atau menguasai kecepatan adalah kaum kulit hitam Amerika. Sepanjang sejarah dunia olah raga, tinju, atletik, basket, foot ball,- orang kulit putih tak ada apa-apanya dibanding kami,” tutur Ice Cube, penyanyi rap yang mulai beken sebagai aktor film laga.

Black Panther
Dia benar. Baru di tahun ’60-an, superhero dari ras lain muncul dalam komik Marvel, dengan tampilnya Black Panther (1966) sebagai superhero kulit hitam yang pertama, disusul oleh tampilnya Luke Cage, jagoan Afro-Amerika yang melindungi warga kulit hitam Brooklyn dari gangguan penjahat kulit putih. Blantika komik AS agaknya menyadarai kekeliruan mereka. Marvel, misalnya, di tahun 1975 segera mendisain ulang karakter para jagoannya dalam X Men dengan menampilkan tokoh baru; Storm, yang berasal dari Afrika, sebagai superhero wanita kulit hitam yang pertama.
Namun hal ini belum memuaskan seniman komik Afro-Amerika yang berkulit hitam. Denys Cowan misalnya. “ Dalam dunia komik pun kami ditempatkan dalam urutan kedua. Storm, walau digambarkan bisa menguasai cuaca, memanggil petir dan badai, namun hanya pelengkap regu saja. Lihatlah, dalam dua film X Men, dia tak kebagian peran yang menonjol. Itulah sebabnya kami menciptakan jagoan kami sendiri,” tutur Denys, yang bersama penulis Dwayne McDuffie dan enterprener Derek Dingle mendirikan Milestone Media (1993), yang meraih sukses sebagai penerbit komik yang menampilkan superhero berkulit hitam.
Herbert Gans, dalam Mass culture: the popular arts in America, menyebutkan bila sukses ini berkaitan dengan ‘hubungan saling membutuhkan antara kreator dan penggemarnya’ “ Masyarakat Asfro-Amerika membutuhkan jagoan yang menonjolkan citra mereka sebagai pria dengan karakter hypermasculine, sosok tegar yang dengan enak melabrak lawan tanpa jarak, seperti sosok jagoan layar perak yang diperagakan oleh Denzel Washington, Wesley Snipes, Mario van Peebles, Eddie Murphy, atau Chris Rock.
Dari kubu komik Marvel sendiri, sejak Februari 2005 kemarin, sepakat untuk menonjolkan ikon jagoan hitamnya yang paling terkemuka ; Black Panther, untuk diangkat ke layar perak. Dia adalah jagoan kulit hitam yang pertama dan terhebat dalam sejarah komik Amerika. Dia kuat, cerdas, kaya raya dan memerintah kerajaannya sendiri dengan bijaksana. Kehebatannya tak kalah dengan jagoan kulit putih lainnya. Bahkan dalam beberapa kisah, dia sempat mengalahkan Kapten Amerika,” ujar Axel Alonzo, seorang editor senior Marvel.
Karena itu, Marvel secara khusus akan meluncurkan lagi kisah Black Panther dalam versi baru, yang digarap oleh komikus kondang John Romita Jr. Episode yang berjudul Who is the Black Panther ini akan menjelaskan asal usul Black Panther sebagai raja sebuah kerajaan bernama Wakanda. “ Wakanda adalah sebuah surga di Afrika yang masih bebas dari pengaruh Eropa. Mereka punya kebudayaan dan teknologi yang cukup tinggi,” tutur sutradara Reggie Hudlin, yang terpilih untuk menyutradarai film Black Panther. Di film ini, para penjahat ulung seperti Klaw, Rhino, Black Knight dan Batrock berencana menyerbu Wakanda untuk menaklukkan Black Panther dan menguasai negeri yang kaya dengan logam berharga, sehebat uranium. “ Tentu saja Black Panther mampu menaklikkan semua tantangan, walau dia berhadapan dengan senjata canggih para penjahat serta kekuatan super para serdadu bayaran seperti Black Knight atau Batroc,” tutur Reggie Hudlin.
Sebagai karakter fiksi dalam komik Marvel, Black Panther diciptakan oleh Stan Lee dan Jack Kirby,. Jagoan berkostum macan kumbang ini pertama kali muncul dalam edisi Fantastic Four # 52 (Juli 1966). Naluri bisnis Stan Lee memang jempolan, karena memunculkan karakter Black Panther bersamaan dengan maraknya gerakan politik kaum kulit hitam AS, serta naik daunnya Partai Black Panther. Tak heran bila kemunculan tokoh Black Panther disambut hangat masyarakat Afro-Amerika AS. Hasilnya, komik Marvel menemukan segmen pembaca yang lebih luas.



Supremasi Afrika
Jeffrey A. Brown, dalam Black superheroes, Milestone comics, and their fans. (University Press of Mississippi, 2001), menyebutkan bila para eksekutif di komik Marvel punya kemampuan jitu untuk meramu antara perhitungan bisnis, prediksi politis dan dan naluri promotor tinju. “ Mereka selalu mencoba mengadu para tokoh fiksi mereka, yang diciptakan dengan mewakili suatu tipikal masyarakat tertentu. Dan orang merasakan sensasi semu ketika penduduk Roma luruh dalam pertarungan para gladiatornya.. Para jagoan berkulit hitam ini amat antusian untuk tampil agar bisa mengembalikan supremasi Afrika, yang karena ‘kecelakaan sejarah’ terjebak dalam penjajahan kaum kulit putih.”
Karena Black Panther punya banyak penggemar, maka jagoan ini dibuatkan serial khusus dalam Jungle Action, yang ilustrasinya digarap sendiri oleh komikus legendaris, Jack Kirby, yang secara khusus malah menggarap Black Panther sebagai sebuah biografi fiksional. Tokoh yang berada di balik kostum Black Panther adalah T’Challa, raja kerajaan fiktif yang bernama Wakanda, yang buminya menyimpan logam ajaib yang disebut vibranium ( analogi dari Afrika Selatan yang punya tambang uranium ). Logam dari angkasa luar inilah yang memberi kekuatan super bagi Black Panther disamping khasiat ramuan tradisional Afrika dari sejenis tanaman yang berbentuk seperti jantung hati.
Sebagai seorang pangeran, ternyata T’Challa cukup intelek. Dia sempat berkelana di New York dan bersahabat dengan kuartet jagoan The Fantastic Four, serta kuliah di Universitas Oxford, mendalami ilmu fisika hingga meraih gelar Ph.D. Hal ini membuat Black Panter punya martabat yang sejajar dengan superhero elit seperti The Fantasric Four, yang terdiri dari para ilmuwan terkemuka. Sepintas lalu, hal ini hanya kreasi dari imajinasi liar Stan Lee dan Jack Kirby, yang dikenal sebagai pencipta karakter manusia super seperti Spiderman atau Fantastic Four.
Namun supremasi kaum kulit hitam memang bukan sekedar kata-kata dalam buku cerita. Keunggulan fisik mereka dalam dunia olahraga, atau superioritas mereka dalam budaya – sebenarnya mereka lah yang melahirkan musik blues, rock dan jazz - bisa merubah fakta sejarah, bila selama ini mereka dinomorduakan dalam sejarah Amerika.
( Galih Asmaradana )



Film : Bush Dalam Incaran

Bicara tentang film yang mengisahkan pembunuhan seorang presiden, biasanya kita menemukan dua hal : Peristiwa yang difilmkan itu kisah fiktif ( seperti film The Day of Jackal atau The Assasination of Presiden Nixon ) atau bisa juga merupakan kilas balik dari tafsir ulang sebuah peristiwa yang telah silam. Misalnya film JFK garapan Oliver Stone, yang menafsir ulang pembunuhan misterius Presiden John F. Kennedy.
Namun film Death of a President memberi premis baru, karena film ini bergaya dokumenter (documentary-style ) yang tidak lazim - mengemas alur fiksi yang spekulatif tentang pembunuhan Presiden AS yang ke 43; George W. Bush,yang sedang memerintah AS sekarang ini. Film yang digarap secara ‘dingin’, cerdas dan menggigit, yang membuat penontonnya memahami peristiwa ini sebagai ‘reaksi’ dari rentetan aksi yang sudah dilakukan oleh Presiden Bush terhadap dunia.
Film yang ditulis dan disutradarai oleh Gabriel Range ini tentu menjadi film
sensasional, dianggap sebagai film yang ‘amat politis’ oleh kalangan pemerintahan AS,-
walau sebenarnya menampilkan skenario yang cukup ‘wajar’ , yang menyisakan pertanyaan :
Apa yang terjadi kemudian bila seorang pemimpin dunia yang paling dibenci terbunuh di
dalam lingkaran pengamanan internalnya ? Sepanjang sejarah, sebelumnya sudah ada tiga
presiden AS yang terbunuh dan CIA mewaspadai bila setiap presiden lainnya pun
menghadapi ancaman yang serupa.
Death of a President langsung menohok dengan peristiwa pembunuhan Bush dan upaya pengejaran pembunuhnya, tanpa menyingung bagaimana situasi politik – baik secara global maupun domestik kawasan AS – paska pembunuhan yang digambarkan mendorong Wakil Presiden AS sekarang ini; Dick Cheney, naik ke tampuk singgasana sebagai Presiden AS berikutnya. Peristiwa di film ini digambarkan terjadi pada bulan
Oktober 2007, dan berjalan hingga era setahun kemudian, yang ‘merubah wajah AS secara total’.
‘Saat itu’ Presiden Bush berada di Hotel Sheraton Chicago, untuk memberi sambutan pada suatu konferensi bisnis tingkat tinggi. Saat meninggalkan hotel inilah Bush ditembak dua kali dan bergegas dilarikan ke rumah sakit, di mana dia dinyatakan tewas setelah operasi darurat yang dilakukan petugas medis gagal menghentikan pendarahan hebat yang terjadi. Hukum "Patriot Act III" yang dilaksanakan setelah penembakan Bush, agaknya telah direkayasa secara politis,dalam tempo satu jam, dan Presiden Cheney beserta jajaran stafnya mencari pembenaran bagi beberapa alasan untuk mengkambinghitamkan Suriah, lalu menyerang ke sana..

Fiksi faktual
Gaya film yang oleh para kritisi film disebut sebagai gaya fiksi-faktual ini memang menjadi pilihan yang cukup favorit bagi bagi para sineas alternatif, yang berhasil diujicobakan untuk menembus kebekuan gaya sinema komersial ala Hollywood. Jenis film seperti ini biasanya tampil dalam berbagai pesta film yang menitikberatkan pencapaian yang lebih intens dalam pembuatan film, seperti arena Festival Film Cannes, Festival Film Berlin, Festival Sundance dan sebagainya. Khalayak perfilman AS sendiri seharusnya tidak terkejut dengan model penceritaan seperti Death of a President, karena sebelumnya Michael Moore dalam Fahrenheit 9/11 pernah menyajikan gaya serupa dalam tema yang berbeda, yang memprovokasi opini publik bahwa ‘President Bush mengetahui rencana serangan 11 September’ dan ‘membiarkan’ peristiwa kelam itu terjadi’.
Gaya editing rapi jali yang menyisipkan wajah anggota staff kepresidenan yang fiktif yang dipadu dengan footage dokumentasi aktifitas kepresidenan Bush yang nyata, peristiwa sehari-hari yang terjadi seputar agenda kegiatan Gedung Putih, membuat semua yang digambarkan dalam film ini seperti benar-benar terjadi. Bahkan salah satu upaya cerdik yang dilakukan Range untuk membuat peristiwa penembakan Bush seperti benar terjadi, dia menggunakan footage dari demo di Chicago dalam kunjungan Bush ke kota itu di tahun 2005, yang merupakan demo anti-Bush terbesar yang dilakukan oleh rakyatnya sendiri. Kiat seperti ini ternyata mampu menjadikan Death of a President sebagai sebuah bandingan bagi realitas yang nyata. Dan saat film ini diputar di Festival Film Cannes, dinyatakan sebagai drama yang menghentak (‘electrifying drama’) yang memberi peringatan bahwa akhir kepemimpinan seperti itu memang layak terjadi. Rangkaiana wawancara tentang pro-kontra langkah yang dilakukan Bush di bidang politik dan militer, menunjukkan kekecewaan rakyat AS pada strategi perang Bush dan politik ‘polisi dunia’ yang menjadikan AS, beserta semua rakyat dan kepentingannya berada di pusaran konflik dunia.
Namun memang pantas bila kalangan perfilman Inggris menanggapi reaksi pihak AS yang dirasa terlalu berlebihan untuk sebuah film. “ Saya menerima protes resmi dari tiga anggota Kongres AS, yang menuduh film ini sebagai provokasi politik,yang bisa mendorong persekongkolan dan niat jahat terhadap Presiden Bush. Namun tak ada alasan untuk menggunakan pikiran besi pada sebuah karya seni, yang memadu realitas yang ada dengan sebuah pengandaian, yang menjadi bentuk lain dari imajinasi, “ ujar Gabriel Range di media terkemuka di Inggris, The Guardian.

Merayakan ‘kematian’ Bush
“ Tak ada alasan untuk merasa terancam dengan film ini. Ini merupakan bentuk lain dari tanggung jawab dan pengamatan pada dunia yang kita tinggali bersama. Bisa jadi film tak memberi gagasan apapun bagi seseorang untuk menyumbangkan konsep harmoni masyarakat dunia yang dipandang ideal. Tapi bagi presiden yang baik seperti Abraham Lincoln saja terbunuh oleh seseorang dengan motif yang tidak jelas, yang bisa menimpa Bush terntu bisa saja berdasarkan setumpuk alasan, yang memang tersedia bagi Bush. Orang Irak misalnya, akan merayakan kematiannya dengan penuh suka cita,” ujarnya lagi. Di Cannes, hadirin merayakan Death of a President sebagai sebuah film dengan pendekatan yang unik, sama dengan film lainnya yang diputar di sana, seperti The Host, Pan's Labyrinth atau Rescue Dawn. Tak ada komentar yang menuding film ini sebagai propaganda politis.
Tudingan dari kubu Bush yang terlontar pada kalangan sineas Inggris, yang mempertanyakan sikap mereka sebagai ‘sekutu atau musuh dalam selimut’ dalam upaya mrlawan terorisme, ditanggapi dengan enteng. “ Film adalah bentuk kreatifitas yang takbisa dipagari oleh pendapat sempit sebuah pemerintahan. Imajinasi tak bisa dipasung dengan alasan keamanan, karena sebagai pejabat di sebuah negara yang menyebut dirinya sebagai tanah air demokrasi, bagaimana mungkin mereka punya visi yang begitu picik soal karya film. Death of a President adalah sebuah pengandaian, yang hanya bermain-main dengan fakta yang ada, “ ujar David Thomson dalam The Guardian. Dan lagi, pembuatan film fiksi-faktual seperti ini sudah menjadi ‘tradisi’ tersendiri bagi sinema Inggris. Sejak tahun ’60-an, misalnya, gaya seperti ini sudah dimunculkan oleh Peter Watkins lewat filmnya seperti The War Game dan Punishment Park, yang mengolah isu-isu sosial-politik pada masa itu.
Bahkan sebelum menggarap Death of a President , George Range sudah menyutradarai film serupa yang berjudul The Day Britain Stopped (2003) yang berkisah tentang apa yang terjadi bila tranportasi publik tak berfungsi akibat serangan teroris . Film ini sendiri mengacu pada fakta serangan bom yang menghajar jaringan kereta api dan bis kota Inggris. Sebelumnya (2002) juga membuat sebuah film doku-drama yang berjudul The Menendez Murders. Peran editor Brad Thumim, yang begitu piawai memadu gambar dari berbagai peristiwa yang sengaja dibuat sebagai fiksi dengan rangkaian adegan film dokumenter yang sesungguhnya.
Menyindir langkah AS yang menggunakan tragedi 11 September untuk menyerang Irak, Death of a President menyebutkan bila pembunuhan Bush dijadikan agenda politik tersendiri bagi kalangan tertentu di AS. Para politisi, wartawan, pejabat FBI diwawancarai dan opini mereka dipakai sebagai bagian dari kesimpulan yang menyalahkan Suriah. Lalu seorang ‘tersangka’, prajurit Suriah bernama Zikri (Hend Ayoub) ditembak mati. Saksi kunci yang mengarah pada benar tidaknya keterlibatan Suriah dalam peristiwa ini sudah dibungkam. Jurus lama bagi negara adidaya untuk membenarkan teori persekongkolan mereka . ( Emka )

Dongeng Fantastik Pan's Labyrinth
Di saat genre film horror dan fantasi dibuat dengan jalinan gaya budaya pop dan komedi pasaran, maka upaya untuk menghadirkan film dengan konsep penuturan dongengan justru tampil menyegarkan. Sutradara Guillermo Del Toro yang sebelumnya pernah mengguncang Hollywood dengan film mencekam seperti Mimic, Blade II dan Hellboy, dan memberi sentuhan humanis pada film horror seperti Cronos dan The Devil’s Backbone. Lebih dari sepuluh tahun terakhir, ternyata dia telah mengembangkan kemampuan filmografinya hingga ke tingkat master, dengan karya yang secara visual merangsang perasaan dan disisipi kecerdasan.
Seperti sutradara thriller terkemuka, Alfred Hitchcock, Del Toro dengan nyaman bermain dengan pemirsanya, sementara tanda-tanda visual, yang bisa dinikmati secara emisonal beremunculan dalam kisah sebagai metafora. Dalam filmnya yang terbaru, Pan’s Labyrinth,- yang berlatarkan suasana di Spanyol pada akhir perang saudara dia menghadirkan konsep dongeng dengan misteri yang mencekam. Diawali dengan buku dongeng terbuka, dengan suara narrator yang menuturkan kisah seorang puteri mitologi yang meninggalkan kerajaannya di Dunia Bawah untuk mengembara ke dunia manusia.
Adegan kemudian beralih ke pedesaan Spanyol, di mana sebuah kendaraan membawa si dara Ofelia (Ivana Baquero) dan bundanya Carmen (Ariadne Gil) menuju akhir perjalanan mereka.. Waktu itu, tahun 1944, dan kemenangan pasukan fasis Franco menimbulkan luka parah. Ofelia dan bundanya tiba di sebuah desa di kaki gunung Navarra untuk menemui ayah tirinya, Kapten Vidal (Sergi Lopez). Walau Vidal dengan hangat menyambut isteri dan anak tirinya, dia tak bisa menggantikan posisi ayah Ophelia, seorang penjahit desa yang sederhana dan selalu memukai gadis cilik itu dengan dongengannya.
Walau Kapten Vidal menyayangi Carmen yang sedang mengandung bayinya,dia terbawa ambisinya sebagai tentara yang berusaha menumpas habis para pemberontak yang bertahan di pegunungan. Untuk itu dia bahkan merubah rumahnya menjadi pangkalan militer yang merancang berbagai operasi pembersihan yang kejam. Ofelia yang bosan dengan suasana kekerasan ini, berteman dengan Mercedes (Maribel Verdu), kepala pelayan, yang lantas menunjukkan padanya sebuah taman kuno dengan labirin rumit di dalamnya.

Monster dunia nyata
Saat menjelajah labirin itulah Ofelia bertemu dengan mahluk aneh aneh dari Dunia Bawah (Doug Jones) yang menganggap Ofelia sebagai penjelmaan Puteri Moanna. Mahluk ganjil ini lalu mengatakan ada tiga tugas sulit yang harus dirampungkannya sebelum bulan purtama tiba, ketika pintu gaib menuju Dunia Bawah terbuka, dan dia bisa kembali ke kerajaannya untuk mendampingi ayahnya, Sang Raja Dunia Bawah, yang selama ini menantikannya.
Tentu saja Ofelia tertarik untuk menjadi seorang puteri di negeri dongeng.Apalagi dia kecewa dengan keluarga dan dunianya yang dianggapnya penuh kekejaman..Dengan kepolosan gadis muda, dia menceburkan diri dalam petualangan yang mendebarkan; mengambil kunci gaib yang ‘tersimpan’ dalam perut katak raksasa, memasuki wilayah Manusia Pucat (dimainkan oleh Doug Jones juga), seorang mahluk seram dengan mata yang ada di telapak tangannya, yang mengancam akan mengganyang siapa saja yang mencicipi makanan yang terletak di ruang pestanya, yang begitu menggoda, karena berlimpah ruah dan semuanya nampak begitu enak.
Sementara Ofelia bertualang di dunia fantasi, kondisi dunia nyata semakin genting. Bukan saja karena kondisi kesehatan ibunya, namun ibunya juga memergoki Mercedes dan dokter setempat (Alex Angulo) diam-diam membantu para pemberontak.
Apalagi Kapten Vidal yang bersumpah akan membasmi pemberontak, mulai melacak jejak mereka. Dan tibalah saat bulan purnama, ketika mahluk gaib bermunculan dari Dunia Bawah, sementara di dunia nyata, manusia, monster di dunia nyata, yang tak kalah kejamnya pun siap menumpahkan darah sesamanya.

Keberanian gadis cilik
Dalam film ini, Del Toro memperagakan kepiawaiannya merangkai ketegangan dalam bentuk-bentuk visual yang memikat. Sejak ikut meramaikan Festival Film Cannes beberapa saat yang lalu, para kritikus film seakan sepakat bahwa dilm ini merupakan pencapaian baru bagi pembuatan film – yang menjadi bentuk yang lintas genre. Produsernya; Alfonso Cuaron mengatakan bila mereka tak punya dana untuk membuat film seperti Harry Potter, mereka hanya punya imajinasi tak terbatas, dan bersyukur bahwa Del Toro mampu menjelmakan imajinasinya.
Sutradara asal Meksiko ini tak saja piawai menuliskan kisah Pan’s Labyrinth, yang menjadi kisah dongeng unik, yang memadu gaya bertutur liris dari gaya dongeng Lewis Carroll dengan plot tegang penulis kisah misteri H.P Lovecraft, dengan sentuhan kisah thriller ala Clive Barker. Namun yang pantas ditenungkan dari film ini adalah berbagai binatang dan mahluk seram dari iamjinasi yang bersifat phantasmagorical ternyata tak ada apa-apanya dibanding kekejaman perang yang menjadi realitas nyata hari demi hari.
Konflik dramatis antara kebaikan dan keburukan tak lantas menjadi klise. Akting Sergi Lopez sebagai Kapten Vidal mampu memperagakan kepribadian psikosis dengan kebrutalan terpendam, yang menjadikannya monster yang sesungguhnya di film ini.Menurut saya, kualitas aktingnya malah sepadan dengan yang diperagakan oleh Ralph Fiennes sebagai Nazi jahat dalam film Schindler's List. Pendukung lainnya, Maribel Verdu ( pernah tampil menawan dalam road movie jempolan, Y Tu Mama Tambien ), sebagai Mercedes juga menampilkan permainan dramatis. Dia terbelah oleh dilemma, haruskah membela saudaranya sebagai pemberontak, atau melindungi Ofelia dan penghuni rumah lainnya dari kekejaman tentara ? Namun yang paling pantas mendapat acungan jempol adalah Ivana Baquero, yang bermain sebagai Ofelia. Kepolosannya menghadapi dunia muram dengan sudut pandang anak-anak, serta keberaniannya menghadapi kenyataan membuat gadis cilik ini lebih ‘berani’ dari kapten Vidal. Del Toro menuliskan karakter Ofelia sebagai gadis cilik yang rapuh, namun secara fisik dan emosional berkembang pesat menjadi anak-anak yang ternyata lebih cerdas daripada orang dewasa.
Dengan bantuan juru kamera Guillermo Navarro dan perancang produksi Eugenio Caballero ( yang memungkinkan terciptanya gambar indah dan set mengesankan) Guillermo del Toro tak saja menunjukkan kepiawaiannya membuat film, namun juga kemampuan memvisualkan imajinasi terpendam tentang kjisah dongeng yang ideal. Bila dicermati benar, terasa pengaruh satrawan besar seperti Jorge Luis Borges dan Arthur Machen, yang maha piawai menuliskan narasi tak panjang tak ubahnya kalimat indah negeri dongeng. Dan Pan’s Labyrinth memang sebuah penghormatan (homage) pada semua dongeng klasik yang pernah dituliskan, dan menggetarkan anak-anak dengan para penyihir, monster, raksasa dan mahluk ganjil lainnya. (Ario Seto )