Rabu, 09 Januari 2008


Sajak AFRIZAL MALNA

HARI LIBUR KOLAM RENANG

Potretmu bersama keluargamu masih terbayang di kolam renang, seperti kamar berisi air.
Kenapa kamar berisi air dan ada potretmu di situ. Ibumu yang mengenakan kebaya tersenyum lebar sambil menggendongmu waktu bayi. Kenapa ada bayi yang digendong di kamar yang penuh berisi air. Riak air membuat gambar-gambar baru di sekeliling potretmu. Lalu orang-orang lain berenang-renang di atasnya. Riak-riak air tidak menggambar lagi. Riak-riak air membelah-belah tubuh mereka, membuat kolam seperti penuh dengan tubuh mereka yang telah menjadi air. Kenapa ada air seperti pisau dalam kolam renang. Air membuat warna biru pada potongan punggungku. Matahari melayang-layang seperti penyu di dasar kolam. Penyu yang kepalanya tidak berani keluar dari tubuhnya. Dasar kolam membungkus kakiku dengan warna hijau seperti kepala anjing berwarna hijau. Air seperti kepala anjing yang keluar dari dasar sungai. Aih, hari libur di kolam renang, hari libur untuk tubuh-tubuh di kolam renang. Bekas ciuman masih berhari libur juga di kolam renang. Bekas ciuman masih berhari libur juga di kamar mandi. Aih, orang itu bisa masuk ke dalam air dan bisa keluar dari air di hari libur. Aku mencium bau kaporit. Ada bayang-bayang awan di atas dengkulmu, di antara 5 detik dari tumitku. Aih, kepala anjing, kepala penyu tidak sama dengan kepalaku di hari libur.


SUMBU KOMPOR DI LUBANG TELINGA

Ada warna kuning memancar di jangungku. Kenapa kau datang terlalu cepat, dan menggunakan kuping berwarna kuning ? Tidak. Aku tidak datang dan tidak terlalu cepat dan tidak menggunakan kuping berwarna kuning. Aku hanya warna kuning di jantungmu. Kenapa kau memanggilku seperti itu, seperti membiarkan jarum waktu memasukkan sumbu kompor ke dalam lubang telingaku. Beri aku waktu satu menit lagi untuk menyalakan korek api. Beri aku waktu untuk membersihkan kakiku sebelum pergi. Sebentar saja untuk membeli satu botol minyak tanah. Sebentar saja untuk melihat api menerangi lubang telingaku yang gelap. Biar aku melihat jarum waktu yang jatuh dalam lubang yang gelap. Tidak. Aku tidak membiarkan kamu pergi. Aku juga tidak membiarkan kamu datang. Aku hanya sedang melihat sumbu kompor yang terbakar di lubang telingamu. Cahayanya menerangi seluruh ketakutan yang membuat 100 tahun dalam lubang gelap.


DUA BUAH LAMPU NEON

Aku bergerak cepat. Telapak tanganku, jari-jari tanganku, obeng, kabel listrik untuk menerangi lorong di samping rumah. Dua buah lampu neon aku pasang. Kabelnya masih menjuntai seperti usus babi berwarna merah. Beberapa kali aku hilang di lorong itu. Tetangga-tetangga mencariku. Mereka pikir aku sedang pergi keluar pergi. Mereka tidak berpikir begitu. Mereka pikir aku ada dalam selimut mahluk halus. Mereka tidak berpikir begitu. Mereka tidak berpikir apa-apa tentang diriku. Tapi mereka masih mencium bau tubuhku di dinding tembok rumah bercampur bau santan. Mereka pikir aku pohon kelapa yang tumbuh di tembok tumah. Ya, mereka berpikir. Berpikir tentang tembok yang dibuat dari santan kelapa. Dan dua buah lampu neon di pasang untuk menerangi lorong itu. Kabelnya berjuntai seperti usus babi berwarna merah. Tapi dua lampu neon itu tidak bisa menerangi isi tembok, tempat orang-orang hilang tak pernah ditemukan lagi. Tembok yang lembab seperti bibir gelas minummu.


PENARI TOPENG

Penari topeng itu membuat topeng dari wajahnya sendiri. Dan menunggu hingga siang hari wajahnya berubah menjadi topeng. Dan menunggu lagi hingga sore hari topeng itu memiliki mata untuk melihat anjing dan ayam berlarian. Topeng itu memandang isi perut anjing dan ayam. Penonton tak tahu kalau penari topeng itu melihat isi perut anjing dan ayam. Penonton tak tahu kalau di balik topeng itu ada yang bermain judi mempertaruhkan tanahnya hingga sore hari. Dan menunggu lagi hingga malam hari tanahnya berubah menjadi topeng. Musik tariannya ribut sekali dalam isi perut anjing dan ayam. Pukul 8 malam penari topeng itu akan menari di Denpasar. Sesajen telah disiapkan untuk membuka topeng itu menjelang pukul 8 malam. Pukul 8 malam anjing dan ayam mulai membenturkan kepala mereka ke dinding belakang panggung pertunjukan. Pukul 8 malam mesin cetak begitu bising di atas panggung pertunjukan. Mencetak pantai, mencetak pura, mencetak dewa, . Penari topeng menunggu lagi hingga para tamu tertidur nyenyak. Dan berjaga lagi di depan pintu hingga pagi hari. Aduh, Jepang, Itali, aduh, Australi, Amerika, Korea, aduh, Jerman, Indonesia, Prancis, aduh, jangan membuat pesta makan malam dalam topengku. Aku hanya menari untuk para dewa.


DI HALAMAN BELAKANG

Pagi ini aku memijat punggungmu. Minyak kayu putih dan balsem juga. Halaman belakang tubuhmu yang hanya melihat bagian belakang dari dunia yang dilalui. Bagian belakang yang diciptakan dari seluruh perjalanan mundur. Punggungmu, balsem dan minyak kayu putih juga tak tahu, perjalanan mundur ke belakang atau ke depan. Dunia di belakang selalu menjauh dan mengecil. Detail-detailnya kemudian menjelma lagi saat hujan turun. Saat kebun kacang mulai berdaun. Tapi aku pusing, katamu. Pusing yang tak berdaun. Dan aku herus kembali ke halaman belakang dari leher dan kepalamu. Tak pernah ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur, katamu. Kebun kacang juga tidak berjalan mundur. Tidak meninggalkan tanah dan mencari kursi di taman. Hayo, sayangku, kita membuat hari esok di halaman belakang. Kita melihat waktu bergerak seperti kebun kacang di halaman belakang.


AFRIZAL MALNA, penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957. Dia pernah membacakan puisi-puisinya di berbagai kota di daratan Eropa, sambil memberikan ceramah-ceramah kebudayaan. Selain bergabung dengan berbagai grup kesenian, juga pernah bergabung dengan Urban Poor Concortium (UPC). Kini dia menetap di Yogjakarta.

Sajak Heru Emka

ailia + matahariku

ailia, ailia, matahariku pergi mengembara dan aku tertinggal............ di sudut stasiun-stasiun kujenguk ruang di sibuk pelabuhan-pelabuhan kusapa diam di puncak malam, kulemparkan kegundahanku padamu
rinduku memancar deras, ailia, dari mata air dihatiku. akulah layang-layang berpusing di lidah topan, biar putus benang biar terhempas hilang, kukejar kamu matahariku
kukayuh perahu, ailia, kurengkuh dayung nestapaku ayo laju perahu laju, beranjaklah dari lubuk-lubuk yang tak punya makna. ayo laju perahu laju, jangan karam karena rindu, jangan kandas di awal duka, lajulah laju perahuku, hidupku
perahuku melewati kota-kota, ailia, singgah di sekian ribu asrama, perahuku bertolak dari kampung-kampung dan berlabuh di sepanjang jalan. tergeletak di hari-hari penat, mengenang kemarin kupinjam hangatmu, ailia, pengusir sisa dingin semalam lalu pagi datang lagi, fajar lahir lagi kau bersorak, ailia, bersama hanyut ke bisik kagum tapi bukan aku, ailia, matahariku tak pernah nampak wajar, selalu tersamar. hanya hangatnya meraayap ke sudut jauh hatiku.
dari mata air rinduku perahuku menuju muara MU ailia + Matahariku



Jejak kenangan

tak cuma waktu -
benua pun telah memisahkan
potret suram di album
hanya macet pada saluran ingatan
pada hari lamban
dan hilang warna

pada jam-jam biasa
aku sering mencarimu
di antara sibuk jalanan
atau menengok di sela waktu
yang meletakkanmu pada kapal
yang melaju

aku yakin
kau bagai kembang api
di malam tahun baru
melimpah riang bagai busa sampanye
di tengah pesta
hari-hari mu di negeri salju
akan penuh boneka, ucapan selamat
dan karangan bunga

sedikit sunyi tersisa
di kartu pos berwarna :
Museum nelson di Buckler’s Hard

lalu kalimat yang jadi asing
bagai sajak yang gagal memanggil kenangan.


Tidak ada komentar: