Rabu, 09 Januari 2008


Jurnal Kumandang Sastra 01
media bagi budaya alternatif dan pemikiran merdeka

Diterbitkan secara independen oleh Kumandang Sastra.
Redaksi menerima sumbangan tulisan, foto, sketsa, atau materi apa saja yang bisa dimuat dan bersifat tidak mengikat.
Naskah bisa dialamatkan pada Sanggar Kumandang Sastra : Jalan Widoharjo 19. Semarang.





Atie Krisna – Remy Sylado – Salman Rushdie – Nadine Gordimer


Para Bentara nomor ini :
Ant Sogiarto
Chaterina Rinawati
Didiek
Heru Emka
Heru Mugiarso
Victor Roesdiyanto
Galih Asmaradana


Daftar Isi

1. Potret :

Atie Krisna

2 Wawancara :

Remy Sylado : “ Kita masih membebek asing “

3 Esai : Post Human dan Tubuh yang Usang

4 Esai : Dongeng Perlawanan Salman Rushdie

5 Puisi : Afrizal Malna - Heru Emka

6 Studi Perempuan : Kecantikan. Mantera yang abadi

7. Cerpen : Kejahatan Hati Nurani – Nadine Gordimer
Catatan Kecil : Nadine Gordimer dan Kelembutan yang Membadai

8 Budaya Pop : Jagoan bagi si Kulit Hitam

9 Komik Indie :
Old Skull - Atonk

10 Film :
Bush dalam incaran.
Dongeng Fantastik Pan's Labyrinth




Potret :

Atie Krisna :
Menyatukan kebahagiaan dengan lukisan


You have the power to choose life, so make the best of it.” - Gandhi

Seperti saat memasuki jenjang rumah tangga, sering muncul semcam pertanyaan, apakah kita bakal menemukan kebahagiaan di dalamnya ? Apakah yang selama ini menjadi angan-angan, apakah menjadi kenyataan ? Kemudian, setelah berhasil melewatkan beberapa puluh tahun hidup berumah tangga, dan kita beranjak memasuki usia senja, seringkali muncul pertanyaan : “ Apakah kita sudah menemukan yang terbaik dan membahagiakan dalam hidup ini ? “

Memasuki hari tua memang ibarat memasuki suatu babak berikutnya dalam kehidupan kita. Tak heran ada yang menyikapinya dengan harapan dan rasa syukur, di samping ada yang mentikapinya dengan perasaan cemas dan pesimis. Namun buat apa kita mencemaskan yang sudah berjalan sedemikian lama ? Apalagi dalam kata bijaknya yang tertera di atas, Gandhi mengatakan dalam hidup ini kita punya kekuatan untuk memilih. Jadi kenapa tidak memilih yang terbaik dari diri kita ?

Atie Krisna, ibu dari sepasang anak yang sudah beranjak dewasa, berhasil membuktikan bahwa di usia senja pun kita masih bisa menggali potensi yang terbaik dari diri kita sendiri. Pada saat Atie menemukan uban tumbuh di antara helai rambutnya, dia justru diwisuda sebagai seorang Arsitek. Pada saat perempuan berbintang Aries ini akan segera menjadi seorang nenek ( puteri sulungnya, penyanyi jazz Peppy Kamadhatu, baru saja menikah bulan lalu ) dia semakin memantapkan diri sebagai seorang pelukis. Uniknya, Atie Krisna mencapai keberhasilan ini justru dengan jalan yang menyimpang jauh dari jalur sukses yang ditempuh para perempuan pada umumnya : menjadi wanita karir dan menjauh dari segala kegiatan rumah tangga sehari-hari.

Atie justru meraih keberhasilan ini dari semangatnya untuk tidak meninggalkan dunia sebagai perempuan domestik, tetap menjadi ibu rumah tangga. “ Kalau kita mau berarti, kita bisa melakukannya di mana saja. Tergantung bagaimana cara kita menggali potensi yang ada dalam diri kita. Karena itu kalau ketemu sama yang muda-muda, saya
Selalu berkata menyemangati mereka, “ Ayo, jangan sampai kalah sama orang tua seperti saya.”

Ucapan yang penuh daya dorong ini hanyalah agar mereka yang lebih muda usianya pun ikut bergerak mengoleh potensi yang ada dalam dirinya ini, sebenarnya pantas juga disikapi sebagai sebagai motivasi, yang melecut seseorang untuk mengalahkan tantangan dalam hidupnya. Dalam blantika seni rupa di Semarang misalnya, lukisan Atie Krisna dianggap sebagai bentuk eksistensi kreatifitas dengan pencapaian teknis yang cukup menggembirakan. Ungkapan visual-artistiknya seringkali memberi penafsiran baru pada dunia domestik perempuan, seperti yang juga ditemukan pada karya pelukis Bunga Jeruk, namun dalam tema dan nafas yang berbeda.

Kompromi dengan realitas
Mungkin banyak yang setuju dengan pendapat ini : Semua orang punya sisi terbaik, dengan bentuk dan penjabaran yang paling sederhana, yaitu hal-hal apapun yang menurut pribadi masing-masing bisa dilakukan dengan baik. Baik itu berupa kemampuan, keahlian, sisi entelektual, sikap atau kepribadian yang positif. Sayangnya memang ada juga yang kurang menyadari sisi terbaik yang ada dalam dirinya. Pencapaian yang telah diraih oleh Atie Krisna mungkin hanya salah satu contoh dari sekian banyak langkah yang bisa ditempuh, karena Audrey C. Daniels dalam bukunya yang berjudul ; Bringing Out Ther Best in People : How to Apply the Astonishing Power for Positive Reinforcement, menjelaskan bahwa sisi terbaik seseorang juga bisa dimunculkan justru dari hal yang sebelumnya bermakna negatif. Misalnya orang yang tadinya penakut, bisa belajar menekan rasa takutnya dan menjadikan rasa takut itu sebagai tantangan yang harus ditaklukkan.

Sebenarnya kalau kita bisa mencapai keseimbangan antara realitas dan keinginan, tidaklah sukar untuk menemukan sisi yang baik dalam hidup kita. “ Saya bisa merasakan kebahagian bukan saja karena saya merasa dalam hidup ini ada tujuan yang harus dicapai, dalam rumah tangga misalnya ketenteraman, semuanya saling sayang satu sama lain. Namun juga perasaan bahwa kita berhasil melakukan apa yang kita inginkan, “ ujar Atie yang lukisannya mendapat apresiasi yang baik dari beberapa kritikus senirupa ibukota.

“ Mungkin kuncinya sederhana saja, kita kadang harus melakukan kompromi dengan realitas yang terjadi dalam hidup kita. Sebelum melukis saya juga sudah ‘taren’ (konfirmasi) sama keluarga. Karena semua dari kami ini kan melakukan segalanya atas dasar kompromi bersama. Seperti waktu saya mau kuliah lagi, saya tanya suami dan anak-anak, mama boleh kuliah lagi nggak ? Mama boleh melukis ? Ternyata mereka malah senang , karena dengan melukis, saya kesibukan yang bermanfaat.”

Kompromi itu juga yang membuat semua aktifitas Atie mengalir begitu saja di antara kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Bentuk pemberdayaan dirinya sebagai ibu dengan begitu tetap terasah, karena intelektualitasnya pun otomatis terangsang oleh berbagai wacana baru yang tercipta saat dia menuangkan warna-warna ke dalam kanvasnya.
“ Jadi semua asyik-asyik saja saya lakukan sebagai ibu. Jadi urusan memasak dan melukis bisa terasa seimbang. Di situ tempat masak, di sini tempat melukis. Sambil menunggu masakan matang, saya melukis. Sederhana saja kan ?,” ujarnya.

Dunia dari sudut pandang perempuan
Saat ditanyakan, kenapa dia memilih tema suasana rumah tangga sehari-hari,yang nampak wajar sekaligus lugu, dengan penonjolan bentuk visual benda rumah tangga seperti teko, sepatu dan sebagainya, Atie Krisna menjawab, “ Karena usia saya sudah kepala lima, kan tak mungkin bila saya harus pergi ke mana-mana untuk melukis. Kalau mereka yang masih muda mungkin malah lari dari rutinitas sehari-hari untuk mencari view atau objek lukisan yang bagus. Karena saya lebih senang di rumah, ya saya lukis apa saja yang ada di rumah, dan bagi saya ini merupakan sebuah dunia tersendiri, dengan penafsiran dan sudut pandang saya sebagai seorang perempuan.”

Dan ternyata, walau mengaku hanmya melukis apa yang ada di rumah tangga, lukisan Atie Krisna juga menunjukkan dimensi tafsir sosial yang lembut. Saat pembicaraan ini berlangsung di rumahnya, di dekat kami terletak sebuah lukisan seukuran 1 kali 1,5 meter, yang menampilkan sebuah poci bagus berwarna merah menyala, sementara di dekatnya tergolek tubuh anak jalanan dengan ekspresi yang membatu. Saya menanyakan judul lukisan itu, dan Atiek menjawab bila judulnya ‘Es Teh Gratis’.

Judul lukisan yang terkesan naïf ini ternyata punya wacana yang mencerminkan sikap khas perempuan di tengah isu sosial yang terasa keras, yakni kanvas dengan naluri keibuan, keinginan untuk mengasihi, yang hadir dengan halus, tanpa menjadi sebuah tonjokan kritik sosial.

“ Sebelumnya saya sering berangan-angan, bagaimana bila ada yang memberi perhatian – walau nampaknya sepele – pada mereka yang naibnya kurang beruntung seperti pemulung, gelandangan atau anak jalanan. Walau hanya teh manis gratis yang disediakan sebelum jam makan siang. “

Atie yang nama aslinya Krisnawati dan lahir dalam naungan bintang Aries ini, walau merasa dirinya agak temperamental, juga sekaligus merasa bersikap konsisten terhadap hasrat yang ingin diraihnya. Itulah sebabnya dulu ketika kuliahnya macet di semester kelima – karena ayahnya meninggal dunia -, dia berjanji suatu saat akan melanjutkan lagi.

“ Ketika anak-anak sudah besar, saya kuliah lagi. Saya tak malu jadi mahasiswa tua, dan saya lulus di tahun 1998, dalam usia 47 tahun. Sebelum lulus saya punya kelompok kerja yang berencana membuat perusahaan jasa konsultan. Namun kemudian saya pikir, dengan usia segini saya nggak sanggup bila harus ke sana-sini ikut tender dan sebagainya. Maka saya memilih melukis dan menjadikannya sebagai dunia saya,” ujar isteri seorang pria yang sabar dan penuh rasa humor bernama Sarutomo ini.

Mata hati dan kebahagiaan
Soal kebahagian itu sendiri, Atie merasa bila hal itu sebenarnya tak terlalu jauh dari kehidupan kita, asal kita membuka mata hati pasti bisa melihatnya. “ Terus terang saja, bagi saya hal-hal yang sepele saja bisa membuat saya senang. Dulu begitu ada duit sedikit, beli sepeda, rasanya sudah senang. Sejak awal kehidupan saya memang banyak hal-hal sederhana yang membahagiakan. Waktu pertama kali beli kulkas, senang sekali rasanya, sampai sekarang kulkasnya masih berfungsi lho. Padahal sudah tiga puluh tahun berselang,” katanya riang.
Bicara soal kebahagiaan, Atie percaya bila suka dan duka itu ada beserta kita, dan selalu ada dalam perjalan hidup seseorang. “ Masalahnya tinggal bagaimana cara kita menyikapinya. Bila kita memakai kaca mata hitam, ya semua yang kita lihat nampak suram. Logikanya kan begitu. Kalau soal nggak punya uang, dulu itu jadi persoalan sehari-hari. Dulu misalnya, uang yang ada cuma Rp 100,- untung masih ada beras, telur dan beberapa lagi. Waktu anak-anak minta beli bakso, saya bilang,” Sekarang kita bisa beli bakso, tapi besok kita makan nasi goring, besoknya hanya mie, besoknya lagi mie, mie lagi. Mau ?.” Ternyata anak-anak nggak mau. Jadi kita ajarkan juga agar anak-anak melihat realitas dan tidak memaksakan diri.”

Kini Atie merasa gambaran kebahagiaannya sudah lengkap. Dia punya Sarutomo, pria idaman yang menyayanginya sebagai isteri tercinta. Sedang dua anaknya; Peppy (Pissa Sesara) dan adiknya Gedo Grimaldo, sudah menikah, dengan karir masing-masing. Kini Atie mencoba merangkai kebahagiaan dalam lukisan, dengan menampilkan visinya tentang dunia perempuan. Kadang muncul juga sesuatu yang membuatnya merasa susah, namun Atie Krisna dan suaminya; Sarutomo,- seudah sepakat untuk menyikapi hidup ini dengan riang. Ketika puteri sulungnya lahir, mereka memberinya nama Pissa Sesara. “ Tahu nggak artinya ? Pisanan (pertama kali operasi) Caesar. Peppy memang lahir melalui operasi Caesar,” kata Atie, yang diikuti suara tawa suaminya.

Rumah yang teduh
Yang menarik, pertautan Atie Krisna dengan dunia senirupa Semarang , walau dinikmati secara personal, tidaklah dijalani secara individual. Kedewasaan dan nalurinya sebagai seorang perempuan seringkali membuat Atie tidak muncul sebagai figur seorang seniman yang seringkali menampilan pancaran ego dan ambisi yang kuat. Itulah sebabnya di tengah pro-kontra tentang berbagai pendapat dalam dinamika wacana dan isu senirupa di Semarang, Atie sring dipandang berada dalam posisi yang lebih netral. Dan tak jarang dia menjadi pelimpahan uneg-uneg dan cuerahan isi hati para seniman yang lebih muda usianya.

Hasrat untuk memberi ruang bagi ekspresi seniman muda yang banyak bermunculan akhir-akhir ini di Semarang, Atie merubah sebagian ruangan gerai busananya menjadi sebuah galeri alternatif yang diberi nama Galeri Bu Atie. “ Jangan samakan dengan galeri-galeri lain yang sudah mapan dan punya jaringan kolektor yang kaya. Kami hanya menampung mereka yang ingin memamerkan karyanya, atau membuat agenda kesenian dan kebudayaan lainnya. Bila butuh tempat, silakan. Bagaimanapun akan lebih baik bila selalu tersedia ruang bagi semua bentuk dan ekspresi kebudayaan, kan, “ ujarnya.

Belum banyak memang aktifitas yang terjadi di sana. Baru sebuah pameran lukisan ( Lukisan Awal Auly ) dan diskusi senirupa tentang Neo-Realisme. Namun beberapa agenda kesenian berikutnya telah disiapkan, antara lain Pameran Tunggal Agung Yuliansyah dan beberapa lagi, yang menandakan Galeri Bu Atie ini juga menjadi salah satu motor yang menggerakkan rodfa kesenian di Semarang. “ Bila diumpamakan rumah, mungkin ini bukan rumah yang megah, dengan semua perhiasaannya yang mewah. Ini hanya sebuah rumah sederhana, yang semoga menjadi rumah yang teduh, sehingga siapa pun yang menghuninya bisa merasa nyaman, damai dan bisa berkreasi semaksimal mungkin,’ ujarnya merendah hati.

Sikap mengasuh dan merengkuh yang muncul sebagai kebiasaan sehari-hari Bu Atie (begitu kalangan seniman Semarang memanggilnya ) nampak dari kesabaran dan ketulusannya dengan secara sukarela menjadi ‘juru warta informal’. SMS dari Bu Atie selalu hadir menyampaikan tak saja tiap agenda kebudayaan yang terjadi di Semarang,- namun juga informasi lain : mulai dari berita duka yang mengabarkan meninggalnya seorang seniman atau keluarganya, hingga rencana pertemuan dan sebagainya.
(Tim Kusas )


Wawancara :
Remy Sylado :
“ Kita masih membebek asing “

Pernahkah kita memperhatikan, berapa banyak kata, simbol budaya dan istilah asing singgah dalam hari-hari kita ? Di kantor, bos bicara campur aduk dengan menyebut beberapa kata asing. Di radio penyiar berceloteh sambil menyebutkan idiom dan slang bahasa asing. Cobalah nyalakan televisi, kesannya juga setali tiga uang. Tayangan berita yang dimaksudkan sebagai “ Berita Utama Hari Ini” malah diganti dengan kalimat dalam bahasa Inggris; Headline Today, sepertinya kata asing itu jauh lebih baik daripada kata-kata yang tetap dalam bahasa Indonesia. Setiap hari kata Up Next muncul dilayar kaca Metro TV, dan ditayangkan untuk menggantikan makna aslinya dalam bahasa Indonesia, yakni “ Acara berikutnya.

Itu baru soal bahasa. Belum lagi soal gaya hidup dan sebagainya. Termasuk segala sikap budaya dan bentuk expresinya. Jangan heran bila melihat seorang remaja di daerah pinggiran Kendal malah lebih fasih menyanyikan lagu terbaru Metallica. Bagi Remy Sylado, itu semua adalah bentuk dari identitas kita yang ternyata masih ‘indo’. Serba ‘setengah matang’. Dan menurut Remy, ini bukan gejala baru, namun sudah berusia ratusan tahun. Dia benar. Lihat saja selop yang di pakai para priyayi kraton, itulah bentuk adopsi sepatu (yang dari Eropa) terhadap budaya keraton ( yang mengharuskan copot alas kaki di lingkunganya ).

Sebagai seorang seniman Remy Sylado punya banyak sisi yang menarik, dengan berbagai karir yang beragam. Dia piawai sebagai wartawan, cakap sebagai aktor dan teaterawan, sebagai penyair dia sempat mengharu-biru dunia sastra Indonesia ketika mempelopori Puisi Mbeling. Sebagai seorang musisi dan penyanyi, Remy juga punya jejak yang cukup fenomenal. Album-album yang dihasilkan bersama Remy Sylado Company memang tidak laku keras, namun memberikan terobosan musikal yang berani, hingga kini album musik mereka menjadi incaran kolektor karena dianggap menimbulkan kjecenderungan tersendiri dalam blantika musik pop Indonesia. Galih Asmaradana dari Jurnal Budaya Kumandang Sastra , sempat ngobrol agak lama dengan seniman serba bisa ini, di sebuah petang. Berikut ini adalah petikan hasil obrolan dengan Remy, tentang identitas budaya dan pengaruh budaya pop dalam hidup kita.:

Hampir semua yang ada pada masyarakat kita ini diadopsi dari bangsa dan bangsa asing. Bahkan anda beberkan bila sembilan dari sepuluh kata bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Lantas adakah yang bisa kita nyatakan sebagai orisinalitas kita ?

“ Rasanya kita terpaksa berhadapan dengan kenyataan bahwa yang orisinal dari kita adalah ketidak orisinalan itu. Adakah yang bisa benar-benar di pikirkan sebagai keaslian kita ? Nama Indonesia itu sendiri kan bukan penemuan kita. Itulah sebabnya kita harus menjaga keberagaman ini dalam sebuah harmoni. Ini yang terus dipertahankan sampai kapan pun. Kita harus sama-sama melangkah dalam irama yang sepadan. Bila tidak, ada yang merasa tertinggal, dan akibatnya Indonesia sakit-sakitan. Ini kan problem lama, yang tanpa terasa terus berlangsung hingga era yang disebut reformasi ini.

Kenapa masalah disharmonisasi ternyata masih menjadi ganjalan hingga era reformasi ini ?

“ Era reformasi atau apa pun namanya, ternyata kan sekedar ganti nama saja. Situasinya masih sama. Dulu memang ada di masyarakat kita, yang bila anaknya sakit-sakitan, lalu ganti nama, seolah penyebab sakitnya adalah masalah nama. Anak bangsa kita yang beragam juga butuh kebijakan yang tak bisa di pukul rata. Mungkin kita harus menerima ke Indonesia-an kita dari dua sisi. Di satu sisi ada yang menerima hal ini sebagai karunia Ilahi, sedangkan di sisi lain barangkali ada yang mengangghap keberagaman sebagai kutukan dewata. Tapi bila kita tak mampu merangkai , keberagaman ini malah akan berubah menjadi kecemasan tersendiri.”

Situasinya, apakah ke Indonesia-an kita tak mampu lagi mengikat sebagai kesatuan dari dalam dan tak lagi menjadi suatu keniscayaan?

“ Tidak juga. Perjalanan kebangsaan kita kan harus dilihat sebagai wawasan pencarian dan penemuan. Dari suatu bangsa yang di jajah, kita merdeka karena suatu perlawanan. Kita memang harus mengawali perjalanan kebangsaan seperti itu. Terminologi kebangsaan kita memang harus dilihat sebagai terminologi perjuangan. Bukan terminology antropologis atau etimologis, seperti pada masa awal kata Indonesia di temukan.”

Jadi benar juga ya, bila kata Indonesia tadinya memang bukan sebagai kata nama sebuah bangsa…?

“ Kata Indonesia ditemukan oleh J.R. Logan di tahun 1848, dan secara umum di pakai untuk menyebutkan bangsa-bangsa yang berdiam dari wilayah Campa hingga Melayu-Polynesia, sampai Prof Adolf Bastian menggunakan untuk menyebut daerah seputar kawasan Hindia Belanda. Kemudian mahasiswa kita di Belanda mengunakan kata Indonesia sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.”

Saat di sebutkan, bahwa masih saja ada pejabat dan pemuka masyarakat yang merasa keberatan terhadap pengaruh dari luar terhadap kebudayaan bangsa kita, Remy tertawa, lalu berkata “ Itulah kepicikan sebagian dari kita. Biasanya para birokrat mengunakan isu ini untuk membangkitkan patos nasionalisme yang tak jelas, seakan-akan semua yang ada dalam budaya kita asli milik kita. Padahal jelas bangsa kita sendiri bukanlah bangsa asli tempat ini. Nenek moyang kita adalah imigran yang berdatangan dari Hindia Belakang, Campa dan Vietnam segala, yang lantas kawin-mawin dengan berbagai budaya dari India, Cina, Arab, dan sebagainya. Itulah makna Indo, yang berarti campuran. Kita harus menerima ke Indo-an kita dalam Indonesia sebagai kekayaan yang patut disyukuri.

Termasuk yang Anda uraikan bahwa sembilan dari sepuluh kata kita yang ternyata asing itu ,ermasuk kekayaan yang memperunik bahasa kita ?

“ Benar sekali. Tahukah kita bahwa kata Minggu dalam bahasa Indonesia ternyata berasal dari bahasa Perancis ? Bahkan kata Terwelu dalam bahasa Jawa pun asalnya kata Portugis juga. Kata gedang (pisang) dalam bahasa Jawa, asalnya dari kata Belanda. Ceritanya dalam perang Diponegoro, sekelompok tentara VOC terpisah dari induknya, berhari hari mereka tak makan, saat mereka tiba di sebuah kebun pisang, saking senangnya melihat makanan, spontan saja mereka berucap “ God dank “ , yang artinya terima kasih Tuhan’. Orang Jawa menirukan ucapan ini jadi gedang, lantas menjadi nama pisang.”

Ha…ha…ha kadang lucu juga proses mencari-menemukan dalam, perjalanan sejarah kebudayaan kita. Bagaimana dengan bentuk budaya lainya, seperti musik ? Ada beberapa birokrat dan budayawan Semarang yang ngotot bahwa gambang Semarang itu musik etnis kota Semarang, padahal asalnya dari Huang mei tiauw, musik asal Cina. Begitu juga dengan keroncong, yang sempat di sebut sebagai warisan budaya yang ‘ adi luhung ’. Apa penjelasan Bang Remy?

“ Sebenarnya inilah bentuk kawin-mawin budaya tadi. Gambang kromong itu titi larasnya Cina, tapi dimainkan dengan alat musik yang berkembang di sini. Begitu juga dengan keroncong (langgam Jawa) . Alat musiknya barat, tapi roh musiknya gamelan Jawa. Karena itu unik mendengar cello yang di Eropa digesek, di sini justru di betot untuk menirukan suara kendang”.

Kalau begitu runtutlah pendapat yang menyebutkan bahwa kebudayaan nasional kita merupakan puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah ?

“ Itu pernyataan Ki Hajar Dewantara yang diucapkan beliau saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gajah Mada di tahun 1955. Bagi saya, terminologi puncak ini bisa menimbulkan ketimpangan bila daerah lain ternyata belum mencapai puncak. Kebudayaan itu secara alami berlangsung dalam akulturasi. Yang lebih maju terserap oleh yang kurang maju. Kebudayaan Jawa yang lebih lama berkembang, bisa maju dan mencapai puncak. Tapi bagaimana dengan kebudayaan Papua?.”

Masalah kebudayaan telah lama menjadi bagian dari pergumulan pemikiran Remy Sylado, yang dilahirkan sebagai Yapi Panda Abdiel Tambayong, di Makasar pada 12 Juli 1945. Walau secara formal pendidikannya hanya diselesaikan di Sekolah Tinggi Teologi Baptis di Semarang, Remy adalah seorang pembelajar yang tangguh. Selain dikenal sebagai ahli bahasa (yang menguasai dengan baik bahasa Ibrani, Yunani, Prancis, Inggria, Portugis, Belanda, Spanyol, Arab dan bahasa Cina. Bukunya; Sembilan dari Sepuluh Kata adalah Asing, mendapat perhatian luas dari masyarakat, karena membeberkan begitu banyak data dan fakta dari bahasa kita yang mengadopsi kata asing) dia juga dikenal sebagai seorang novelis jempolan. Beberapa novelnya yang mendapat sambutan hangat di masyarakat antara lain Ca Bau Kan, Sam Po Kong, Paris Van Java, dan beberapa judul lagi. Kini dia baru saja merampungkan novel tentang perdagangan perempuan (trafficking)

Saat ditanyakan apakah kegandrungan kita mengambil banyak hal dari Barat juga tercermin dari lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, yang basah kuyup oleh pengaruh Barat ( lagu ini diciptakan oleh komponis Wage Rudolf Supratman, yang sehari-hari bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, lagu ini digubah dengan menggunakan notasi Barat, direkam oleh sebuah orkestra dan diaransemen oleh J. Kleber, juga orang Eropa – yang tinggal di Jakarta – Bayu ). Remy tersenyum sebelum menjawab, “ Hal inilah yang kadang-kadang tak disadari oleh kebanyakan dari kita.” Setelah meneguk es ronde yang tersaji di depannya, Remy melanjutkan:

“ Sejak tahun 1935, sebenarnya kita sudah menggunakan system pendidikan Barat, ketika di Ambon dibuka sekolah yang pertama oleh Gubernur Antonio Cavalle yang berasal dari Portugis. Kalau anak kita begitu masuk SD sudah menyanyikan lagu Dari Barat ke Timur, dia sudah berkenalan dengan lagu Eropa, karena lagu itu judul aslinya adalah La Mersaille, dari Prancis. Coba cermati, sejak dulu hingga demam American Idol sekarang ini, kita masih menjadi tawanan budaya Barat. Jadi begitu kita bicara soal budaya pop, baik itu soal musik, film atau seni lukis, maka itu 100 % Amerika.”

“ Karena itu saya suka geli bila ada bila ada musisi rock yang berkata mau ikembali ke akar. Di mana akar budaya dia, ila sejak dulu larinya ke Barat ? Bedanya dului kita menghamba pada pengaruh Belanda, sekarang kita menghamba pada pengaruh Amerika. “

Bila kita menoleh kebelakang, akulturasi Jawa dan Cina sebenarnya sudah terjadi sejak jaman kerajaan Demak. Namun kenapa baru akhir-akhir ini saja akulturasi Cina-Jawa bisa bebas berekpresi? Apakah karena keragaman yang bersifat politis atau ekonomi ?

“ Menurut saya, jawabanya adalah masalah ekonomi yang di belokan ke arah politis. Yang merisaukan sebagian besar dari kita kan bukan perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan”.

Mungkin benar juga pendapat yang mengatakan orang muda di Singapura jinak-jinak saja karena semua kebutuhan dan fasilitas mereka telah dipenuhi oleh negara. Jadi semakinb lapar orang semakin kritis ya ?

“Iya “



Esai :

Posthuman - Tubuh yang usang



Ketika orang mulai ‘membongkar pasang’ tubuhnya dengan operasi plastik atau rekayasa medis lainnya, muncul kesimpulan bahwa tubuh manusia mulai terasa usang. Namun ketika peralatan bionik dicangkokkan tubuh kita, dengan serangkaian proyek yang berniat untuk membuktikan bahwa mesin (bionik) bisa menyatu dalam tubuh manusia, maka kita berada dalam kondisi tubuh yang rawan, atau kondisi yang sekarang beken dengan istilah Posthuman
Dalam film Universal Soldier digambarkan eksperimen untuk membuat prajurit cyborg. Film Johnny Mnemonic menggambarkan situasi yang lebih radikal lagi. Data komputer yang amat besar di-download ke dalam ingatan Johnny (melalaui pembedahan salurah syaraf yang direkayasa agar bisa dicangkokkan dengan memori komputer) , yang harus segera disampaikan ke alamat penerima, sebelum data itu merembes ke dalam otaknya.
Semua ini masih sebatas cerita fiksi. Namun yang terjadi pada seorang remaja 14 tahun yang bernama Derek, adalah kisah nyata. Sebuah chip mikro komputer (ukurannya cuma sebesar beras ) dicangkokkan ke lengannya, dan dihubungkan dengan sebuah database ADS (Apllied Digital Solution) sebuah perusahaan hi tech di Florida, AS. Chip itu sendiri bermulti fungsi. Selain bisa memberikan informasi kesehatan Derek pada rumah sakit, juga bisa digunakan sebagai penyimpanan data personal Derek. Dan tentu saja chip itu sekaligus menjadi alat penentu posisi (global positioning device) yang bisa melacak ke manapun Derek berada.
Chip yang tertanam di lengan Derek memang belum menjadikan anak itu sebuah cyborg. Namun dengan sebuah chip yang tertanam di lengannya, Derek sudah menjadi anak yang ‘berbeda’. Tak saja secara fisik semata, karena tubuhnya harus diberi makna yang berbeda. Dia sedang dalam perjalanan menuju kondisi posthuman. Dalam konsep ini, tubuh tak lagi menjadi kunci utama dalam sebuah identitas biologis, namun sudah menjadi identitas ‘yang lain’. Atau dalam penjelasan Foucault, ‘tubuh pun menjadi the sosok tak berdaya (inert mass) yang dikendalikan oleh berbagai wacana yang berpusat pada pikiran’.
Karena kendali wacana-wacana seperti inilah , maka hasrat untuk menjadi tegap perkasa, langsing, cantik atau seksi kadang membuat orang rela menyakiti dirinya sendiri, melaparkan diri di luar kelaziman (diet ekstrim) , atau memacu kerja otot tubuh di luar kewajaran normal (pemakaian doping) . Hasrat untuk melebihi realitas tubuh yang alamiah ini juga membuat orang rela membelah tubuh untuk menggapai tubuh artifisial yang baru (berbagai bentuk bedah plastik). Sekat antara badan dan pikiran semakin samar dengan anggapan bahwa yang berubah bukanlah tubuh material, melainkan hanya pengertian abstrak mengenai tubuh.
Salon-salon kecantikan semakin sibuk menawarkan mantera baru : pelayanan menghilangkan kerut wajah seketika, atau mencegah penuaan dini, seolah-olah mereka bisa menghentikan atau membalikkan laju sang waktu. Berbagai klinik pria juga menawarkan pemasangan protesa yang ditanam dalam kelamin pria, sehingga dia bisa ereksi kapan saja hanya dengan memencet tombol yang mengalirkan cairan ke batang phallus. Bisa on / off semaunya tanpa memikirkan bahayanya bila ‘mesin seks’ yang tertanam di tubuhnya itu mogok bekerja.
Dalam konsep pemikiran posthuman memang tak ada lagi perbedaan penting atau pemisahan mutlak antara eksistendi tubuh dengan simulasi komputer, atau penempelan daging dan pengeratan tulang. Batasan antara organisme biologis dan mekanisme sibernetika sudah jalin menjalin. Orang menjadi bangga merayakan kepalsuannya, dengan menyelenggarakan Miss Artificial Beauty ( Ratu Kecantikan Buatan ), di Beijing , Desember 2004 silam,- di mana para pesertanya secara khusus adalah para perempuan yang sudah mempercantik dirinya dengan operasi plastik. .

Tubuh yang tak bahagia
Di sisi lain kita berhadapan dengan fakta , bahwa sekarang ini merupakan era baru ’kebangkitan tubuh’ sebagai bagian integral dari identitas moderen. Sayangnya gambaran ini kadang tidak tampil sepenuhnya, karena seperti yang dikatakan Foucault dalam The Care of The Self (1986), di mana ‘tubuh-tubuh yang tak bahagia’ (unhappy bodies ) semakin tampil nyata sebagai tubuh yang rawan . Chris Shilling, dalam The Body and Difference, juga mengamati bila sekarang memiliki tubuh sehat saja tidaklah cukup. Karena orang tak saja terhisap ke dalam berbagai aktifitas yang membuat tubuh sehat, tapi juga membentuk tubuh seperti ukiran yang diinginkan dalam sebuah patung, baik dengan bina raga atau operasi plastik.
Bagai Narsisus yang tergila-gila pada dirinya sendiri, kini semakin banyak perempuan yang memandang pantulan dirinya dalam cermin dan menemukan betapa dirinya dikuasai berbagai keinginan tampil secantik model dalam iklan televisi, walau sebenarnya betapa gampang kamera berdusta. Karenanya penampilan, keharusan tampak menawan dan fitness pun menjadi salah satu ‘kewajiban sosial’ demi sebuah citra tunggal kecantikan : ramping dan cantik. Karena itulah mereka berusaha sekeras mungkin, bersenam selama mungkin dan makan sesedikit mungkin.
Ide untuk memiliki tubuh yang prima, akhirnya malah menjajah tubuh itu sendiri, dan faktanya menunjukkan berbagai bentuk hasrat yang serba berlebihan (hyper desire ), setelah bisa mengencangkan lagi pipi yang kempot, semua bagian tubuh pun ingin dirombak : membesarkan - mengecilkan payudara, pinggang, paha, betis,- bahkan hingga restrukturasi virginitas.
Dalam sudut pandang kajian budaya, kita percaya bahwa pola pikiran masyarakat
terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas memang ikut menjelma sebagai persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik
adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Bahkan menurut Marcel Mauss, salah satu cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling naturaldari manusia, yang dapat dipelajaridengan cara yang
berbeda sesuai dengan kultur masing-masing
Mike Featherstone (dalam The Body in Consumer Culture), juga memilah pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar. Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh bagi kepentingan kesehatan dan fisiknya,- sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).
Dalam pandangan Featherstone, kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam ternyata sekaligus menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Karena itu, dalam kebudayaan konsumen tubuh dinyatakan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.
Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen juga didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan televisi sekarang ini merupakan kreator utama bagi pembentukan citra tersebut.
( Heru Emka )

































































































































































































Tidak ada komentar: